Papua dan Kebencian Rasisme

Bagaimana stigmatisasi Papua dibangun oleh rasialisme kolonial dan dominasi "nasionalisme ras" menjadikan Papua sebagai identitas inferior.

0 394

“Hitam kulit keriting rambut aku Papua

Hitam kulit keriting rambut aku Papua

Biar nanti langit terbelah aku Papua”

(“Tanah Papua”, Edo Kondolangit).

Edo menggambarkan secara indah ciri-ciri fisik orang-orang Papua.

Setiap manusia memiliki ciri-ciri fisik yang unik. Pada mulanya ia adalah sebuah ciri yang mengada pada dirinya sendiri. Namun, mulai sejak bangsa-bangsa Barat menginjakkan kakinya dengan superioritas ras, maka “keriting” dan “kulit hitam” segera tercabut dari dirinya.

Nasionalisme “produk kolonial NKRI” semakin memisahkannya dari kenyataan biologis dan teologis ‘kepapuan’ yang luhur dan bermartabat. “Papua” lalu perlahan menjadi sebuah fenomena identitas bukan tentang dirinya sendiri. Ideologi nasionalisme mengkonstruksinya menjadi sebuah fenomena kultural-politis dalam relasi-relasi sosial antar kelompok warga negara yang rentan didiskriminasi, dieksploitasi dan dikrimimalisasi.

Stigmatisasi yang berakar dari rasisme kolonial dan nasionalisme nation-state dalam dominasi ras tertentu membuat Papua menjadi identitas yang inferior.

Dalam identitas keindonesiaan yang dikonstruksi untuk penyeragaman, penilaian terhadap segala keberadaan ke-Papua-an selalu kembali ke politik pengkonstruksian identitas yang ideologis. Papua kemudian menjadi identitas yang tersendiri, terpisah dari narasi besar orang-orang Indonesia yang “berkulit terang”.

Jadilah ‘Papua’ adalah nama untuk sebuah wilayah di ujung Timur Indonesia, di sana hidup sebuah kaum, yang tanahnya kaya raya, tapi hak orang-orangnya dibedakan dengan yang lain; sumber dayanya melimpah tapi konflik-konflik kekerasan membuat mereka tidak dapat hidup aman dan nyaman. Dalam relasi-relasi sosio-kultural di tempat-tempat perantauan mereka adalah kaum yang rentan direndahkan.

***

Papua adalah aku, kita, mereka yang selalu dapat dengan mudah didiskriminasi dan dimarginalisasi secara sosial, politik dan kultur. Papua merefleksikan identitas yang terpinggir oleh konstruksi dan stigmatisasi identitas yang berakar dari ideologi penyeragaman demi nasionalisme yang hegemonik.

Dalam proyek pembangunan identitas hegemonik tersebut keragaman ras kemudian menjadi bukan lagi keunikan dan luhur pada dirinya. Identitas unik adalah lebel dan stigma yang setiap saat dapat menjadi alasan untuk didiskriminasi dan dimarginalisasi.

Papua merefleksikan identitas-identitas yang diburu oleh ideologi kebencian rasisme yang terkonstruksi sejak era kolonial. Di era nation-state Indonesia, identitas ini terkonstruksi sedemikian rupa dalam sejarah yang terpusat. Papua, sama dengan identitas-identitas lain yang dianggap minor (kurang penting) sehingga bukan utama atau bahkan “tidak asli”, “tidak pribumi”, adalah “yang lain”.

Papua adalah kita yang selalu terpinggir dalam identitas buatan yang tidak pernah nyata tapi hadir dalam macam-macam peristiwa tragis kemanusiaan. Kita tidak dapat menyebut sebabnya adalah “mayoritas”, sebab itu bukan identitas melainkan “angka” politis yang ideologis, juga sebagai buatan. Bukan juga karena ada agenda tertentu oleh kelompok besar berdasarkan identitas agama, suku, dan ras. Sebab, kita tidak pernah melihat ada sebuah konsolidasi permanen terorganisir dan terstruktur berdasarkan identitas-identitas itu.

Namun, kita dapat melacak kebencian-kebencian berdasarkan perbedaan identitas itu dari pemahaman dan kesadaran, baik dilegitimasi secara teologis maupun intelektual. Jauh ke belakang rasisme dihubungkan dengan perbedaan derajat dan martabat manusia secara agamis. Ia lalu dirasionalisasi sedemikiam rupa menjadi rumusan-rumusan ilmiah. Kesadaran-kesadaran yang dibentuk secara teologis atau intelektual lalu kemudian menjadi cara dan praktek berelasi yang diskriminatif.

Pada akhirnya soal rasisme mesti diselesaikan, juga sacara teologis dan intelektual terlebih dahulu baru kemudian menyusul iming-iming kesejahteraan oleh negara. Ini proyek kebudayaan. Bicara proyek kebudayaan berarti kita bicara agenda-agenda “pemerdekaan”.

Di era ini tidak ada satupun identitas yang hanya berada untuk dirinya sendiri. Sebuah identitas adalah entitas yang hadir dan mengada dalam relasinya dengan yang lain. Dengan begitu, rasisme adalah sebuah konstruksi relasi kuasa yang timpang antar identitas.

Maka dengan itu proyek pemerdekaan ini berurusan dengan sumber-sumber rasisme, yaitu ideologi kebencian yang terkonstruksi atau mengkonstruksi dirinya sebagai yang superior. Demikian halnya juga masalah diskriminasi berdasarkan agama dan gender.

Dan biasanya, untuk memulai atau melanjutkan proyek macam ini ia selalu dari pinggiran. Sebuah gerakan perjuangan bagi keadilan, perdamaian dan kesetaraan oleh orang-orang merdeka. Ia mesti melampaui jargon-jargon, janji-janji kampanye politik, bahkan proyek-proyek atas nama kesejahteraan negara.

Sesungguhnya gerakan itu adalah gerakan semua orang, semua kelompok yang berjuang untuk kemerdekaan sejati. Papua, adalah kita kaum yang tertindas, terusir dan terpinggir dari arus utama politik kekuasaan, dan macam-macam kuasa lain yang hegemonik, tak terkecuali agama yang telah kehilangan visi pembebasan.

Maka dengan itu proyek pemerdekaan ini berurusan dengan sumber-sumber rasisme, yaitu ideologi kebencian yang terkonstruksi atau mengkonstruksi dirinya sebagai yang superior. Demikian halnya juga masalah diskriminasi berdasarkan agama dan gender.

Dosen Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Penulis dan aktivis di Komunitas Mawale, Minahasa.

Leave A Reply

Your email address will not be published.