Polemik Tak Ada Misa Ketika Corona

Refleksi kritis dan mendalam tentang misa di tengah wabah Corona.

0 554

Katolikana.com – Virus Corona atau lebih tepat Covid 19 benar-benar menantang kita dalam banyak hal. Muncul berbagai polemik berkaitan dengan asal mula Covid 19, kecurigaan sebagai perang senjata biologis, kebijakan penanggulangan setiap Negara dan sebagainya. Polemik tentang Covid 19 ini juga masuk dalam kehidupan menggereja. Orang bertanya-tanya; mengapa air berkat ditiadakan di pintu-pintu masuk gereja, mengapa prosesi penciuman salib diganti dengan penghormatan saja atau masing-masing orang membawa salibnya sendiri, mengapa ekaristi ditiadakan, mengapa para imam tidak merayakan ekaristi hanya karena takut terpapar Covid 19, dan lain sebagainya.

Terlepas dari beragam polemik di atas, Covid 19 mengantar kita kembali pada makna terdalam komunitas (keluarga dan gereja). Komunitas seolah mendapatkan kembali makna idealnya, yaitu, bentuk kehidupan di mana elemen kolektif menang atas individu, sikap solidaritas pada yang egois, dan dedikasi pada kepentingan atau kebaikan bersama (bonum communae).

Komunitas berasal dari bahasa Latin, communitas, turunan dari kata communis berarti “yang memenuhi perannya (munus) bersama dengan (cum) orang lain”. Pengertian ini bemakna rangkap dua. Pertama, terkait dengan kritik romantis masyarakat modern, menunjukkan bentuk kehidupan kolektif yang ditandai oleh perasaan yang mendalam tentang rasa memiliki, kepercayaan, dan dedikasi timbal balik. Makna kedua, yang bersifat deskriptif, menunjukkan sekelompok orang yang dihubungkan oleh satu atau lebih faktor (bahasa, wilayah, agama, profesi, ekonomi, politik).

Corona menghadirkan komunitas dalam makna yang pertama. Makna ini bermula dari elaborasi teoretis Ferdinand Tönnies, seorang sosiolog Jerman beraliran romantisme pada akhir abad ke-19. Ia dengan jelas memperlawankan komunitas (Gemeinschaft) dengan masyarakat modern (Gesellschaft).

Jika Gesellschaft didasarkan pada pertimbangan utilitarian atau fungsional dan karena itu hanya membangun hubungan eksternal di antara para anggotanya, berdasarkan pada bunga dan pada tujuan tertentu, Gemeinschaft adalah kesatuan hidup perasaan, emosi dan ide-ide, yang membentuk ikatan yang mendalam dan intim di antara para anggotanya. Ikatan Gemeinschaft tidak mengejar tujuan tertentu, tetapi yang berakhir pada diri mereka sendiri dan pada dedikasi bersama. Contoh ikatan komunitas seperti ini ialah keluarga, lingkungan, persahabatan. Namun telah ada juga pembicaraan tentang komunitas yang didasarkan pada kepercayaan agama (Katolik, Yahudi, Islam, Budha dan sebagainya), wilayah (komunitas gunung atau pantai), profesi (komunitas ilmiah, kedokteran, sekolah), bahasa (komunitas Ambon di Jakarta), ekonomi (sebelum Uni Eropa ada Masyarakat Ekonomi Eropa), untuk politik (komunitas negara).

Secara sederhana, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa komunitas berarti suatu hubungan di mana setiap orang memainkan perannya bersama dengan orang lain. Tidak bisa sendirian. Tanpa yang lain, peran tersebut kehilangan maknanya. Dan salah satu salah satu cara menumpas Corona ialah dengan mengambil dan membuat jarak dengan orang lain. Kita diminta untuk melakukan social disctancing.

Dr Afruz Eslami, dari Sharif university of Technology Iran mendefenisikan hal ini dengan indah sekali, “Cinta yg paling nyata sekarang adalah solider. Kita diminta untuk ambil bagian dalam penderitaan org lain. Ambil bagian yg paling masuk akal adalah mengkarantina diri seperti orang sakit. Inipun solidaritas kita dengan petugas medis, pemerintah dan petugas keamanan yang tidakk boleh lagi dibebani dengan kecerobohan kita.”

Dalam studi komunikasi, sebenarnya hal ini bukanlah hal baru. Kita kenal apa yang disebut relasi virtual atau online, yang memberi kita ilusi kedekatan. Corona sebenarnya hanya menjadikan ilusi kedekatan virtual di dunia maya menjadi nyata dalam keseharian kita; tidak bersentuhan satu sama lain, tidak bersalaman, tiada pelukan, berjarak (1 meter), tanpa kontak dengan yang lain termasuk dengan anggota keluarga di dalam rumah.

Corona mengirimkan pesan yang jelas kepada kita: satu-satunya jalan keluar adalah timbal balik, rasa memiliki, komunitas, perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih tinggi untuk dirawat dan bahwa kita dapat saling merawat. Ini adalah tanggung jawab bersama, perasaan bahwa nasib anda tidak hanya tergantung pada Anda tetapi pada semua orang di sekitar Anda. Dan Anda bergantung pada mereka.

Maka, bagi saya, larangan (untuk berkerumun) misa bukan soal ada air berkat di pintu masuk atau tidak, apakah para pastor takut terpapar virus Covid 19 atau tidak. Larangan (untuk berkerumun) misa adalah panggilan untuk memenuhi peran saya dengan dan bersama yang lain demi kebaikan bersama.

Misa sangat penting bagi kita orang Katolik. Namun jika kenangan akan kematian, wafat dan kebangkitan Kristus dalam ekaristi, bukan mendukung kehidupan tetapi membawa kematian, iman kita menjadi amat ritual. Dan Covid 19 adalah suatu kasus dengan tingkat penyebaran virus yang juga partikular. Maka seruan “Ah kami tidak takut, misa dan sakramen akan membasmi Covid 19 adalah penghayatan iman yang buta. Padahal ekaristi sebagai puncak iman kita adalah perayaan simbolik. Tidak semua orang yang ke gereja mempunyai iman sebesar biji sesawi, artinya disposisi batin yang sama pada praktek-praktek iman.

Dengan demikian, jika kita tidak punya disposisi batin yang sama akan air berkat maupun kuasa sakramen mahakudus sebagai tanda yang menyelamatkan, kita dapat menjadi recipient dan participant bagi Covid 19. Maka bukan sukacita iman dan kehidupan yang kita bawa pulang ke rumah kita masing-masing tetapi litani kematian.

Ekaristi dan sakramen-sakramen lain sebagai perayaan simbolik ditunjukkan secara langsung oleh Paus Fransiskus dalam ziarahnya ke Basilica Maria Maggiore untuk berdoa di depan Santa Maria, Salus Populi Romani (Penyelamat orang Roma) serta berdoa di depan Salib Crocifisso di Gereja San Marcello al Corso. Pino Lorizio, Profesor Teologi Fundamental di Universitas Lateran, menyebut kunjungan paus ini “bukanlah sebuah contoh, tetapi sebuah simbol: suatu isyarat yang dibuat dalam kesunyian dan di padang pasir kota yang tertegun dan khawatir.”

Selanjutnya Lorizio menulis, “Paus mewakili kita dan mengekspresikan secara pribadi dan representatif apa yang kita semua inginkan, tetapi kita tidak bisa melakukannya. Ini adalah rasa keterwakilan: Paus Fransiskus telah mewakili kita dan mewakili kita, justru karena kita dikurung di rumah kita dan kita harus setia pada indikasi ini, yang bagi kita juga merupakan pilihan.”

Dengan demikian, kerinduan kita pada ekaristi, pada kesempatan luar biasa ini, juga dapat dimaknai sebagai kenangan iman akan gereja historis di bawah tanah, di rumah-rumah, dalam pelarian dan pengejaran. Sebagai tanda solidaritas, dengan saudara-saudara kita di pedalaman Papua atau Kalimantan yang hanya merayakan ekaristi sekali atau dua kali setahun. Jangan lupa pula, para imam yang tinggal di rumah dan tetap merayakan ekaristi, bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk seluruh gereja.

Akhirnya, tinggal di rumah adalah pilihan sarat makna. Setidaknya kita dikondisikan untuk membangun kembali keluarga dan komunitas biara kita sebagai komunitas terapeutik (yang mencoba membebaskan diri dari kecanduan gadget). Atau sebagaimana disebutkan oleh Vincenzo Marinelli, Socialutude, suatu korelasi antara dimensi sosiabilitas (socialità) dan kesendirian (solitudine), sebagai kesempatan untuk membaca (kembali) ruang-ruang utama relasi yang menyusun kehidupan kita sehari-hari; keluarga, persahabatan dan keintiman.

Pace e bene, salam damai dan segalanya baik.

Corona mengirimkan pesan yang jelas kepada kita: satu-satunya jalan keluar adalah timbal balik, rasa memiliki, komunitas, perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih tinggi untuk dirawat dan bahwa kita dapat saling merawat. Ini adalah tanggung jawab bersama, perasaan bahwa nasib anda tidak hanya tergantung pada Anda tetapi pada semua orang di sekitar Anda. Dan Anda bergantung pada mereka.

Imam Fransiskan, lahir di Mataloko, Flores pada 1987. Sebelas tahun bertugas di Papua. Kini sedang studi di Roma, Italia. Menulis buku Fenomena Papua: Esai-esai Sosial (2018, SKPKC Fransiskan Papua).

Leave A Reply

Your email address will not be published.