Selesaikan Kekerasan Seksual, Gereja Katolik Didesak Susun Protokol
Katolikana.com, Jakarta — Hierarki Gereja Katolik didesak untuk segera menyusun protokol penanganan kekerasan seksual terhadap anak dan orang rentan. Sudah saatnya gereja terbuka dalam merespon persoalan kekerasan sesksual. Hal ini terungkap dalam Live Talkshow ketiga Katolikana pada Jumat (31/7) lalu.
Talkshow edisi khusus Kekerasan Seksual di Seputar Gereja Katolik ini diselenggarakan oleh Katolikana bekerja sama dengan Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM dan Kemanusiaan (KPKPHK). Talkshow ketiga ini membahas topik Kekerasan Seksual di Seputar Gereja Katolik: Menanti Protokol dan Implementasi.
Diskusi kali ini menghadirkan empat pembicara: Petrus Sunu Hardiyanta, SJ (Ketua Konferensi Pemimpin Tarekat Religius Indonesia (KOPTARI), Justina Rostiawati (Ketua DPP WKRI), RP Gading Sianipar dari Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) Keuskupan Agung Palembang, Sr. M. Margaretha FCh (SGPP Keuskupan Agung Palembang).
Dalam seri diskusi pertama dan kedua, tentang hukum negara dan kekerasan seksual di Gereja Katolik, lalu mengungkap topi cerita korban kekerasan seksual di seputar Gereja Katolik, yang mendapatkan beragam tanggapan, baik positif maupun negatif. Di antaranya, yang posistif, adalah gereja dipandang punya usaha untuk mencari jalan penyelesaian, tetapi muncul tanggapan negatif bahwa Gerej Katolik kurang merespon, bahkan terkesan menutup-nutupi atau melindungi pelaku kekerasan seksual.
Menanggapi hal ini, Romo Gading menangngapi bahwa sikap gereja sudah cukup jelas dan tegas terhadap kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan gereja. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan yang sudah dikeluarkan oleh hierarki, terutama dari Bapa Paus melalui dokumen-dokumen yang telah diterbitkan, termasuk motu proprio “Vos estis lux mundi”.
“Dari motu proprio inilah kemudian didorong, dituntut, disusunnya protokol-protokol untuk ditindaklanjuti di semua keuskupan di seluruh dunia,” ucap Romo Gading.
Hal senada diungkapkan oleh Ibu Justina Rostiawati, Ketua Presidum DPP WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia). Ia menentang kekerasan terutama kekerasan seksual pada anak. Ia mengajak masyarakat luas untuk melihat dan memperhatikan secara khusus dalam menanggulangi kekerasan seksual yang terjadi kepada anak-anak.
Secara organisatoris, kata Justina, WKRI berusaha untuk membina program revolusi mental kepada keluarga. Melalui modul yang dibentuk dalam program tersebut, diharapkan keluarga kemudian dapat mengajarkan anak-anak, sehingga anak-anak dapat belajar dari orang-tuanya.
Dalam mendampingi dan mendengarkan cerita dari korban kekerasan seksual, Suster Margaretha menambahkan bahwa orang-tua terutama ibu merupakan pihak yang patut ikut didampingi.
“Karena ketika yang terkena atau korban masih anak-anak, dia belum paham, tetapi orang-tuanya terutama ibunya jadi depresi mengingat mengingat masa depan masih panjang”, jelas Suster Margaretha.
Lambannya Implementasi Perintah Paus
Meskipun Paus Fransiskus sudah memberi tenggat waktu untuk implementasi motu proprio, proses implementasi di Indonesia masih dinilai lambat. Romo Gading menanggapi hal ini dengan menyatakan bahwa adanya keterbatasan SDM menjadi salah satu hal yang menghambat proses, terlebih banyaknya hal lain dalam gereja yang meminta untuk diprioritaskan pula.
“Permasalahannya, bagaimana lebih banyak orang yang mau terlibat, yang dengan kompetensi dan kapasitasnya itu bisa ikut memperkuat gerakan ini dalam proses penyusunannya maka secara konkrit atau sederhana”, kata Romo Gading.
Menurutnya ini akan terkait dengan keluarga-keluarga di paroki. Ia mengatakan seberapa banyak yang mau terlibat, orang-orang yang terdidik bisa memperkuat tim komisi gender. Selama ini, kendala yang dihadapi adalah adanya keterbatasan tenaga profesional yang terlibat dalam komisi gender ini.
Ketua Konferensi Tarekat Religius Indonesia (KOPTARI) Romo Petrus Sunu Hardiyanta, SJ, mengungkapkan upaya pembuatan protokol telah dilakukan sekitar 2012. Dalam pembuatan protokol itu, kata Romo Sunu, KOPTARI bekerjasama dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
“Pembuatan protokol ada dua arah, kami (KOPTARI) dan KWI dari atas, membuat awakening (bangun, supaya orang tahu ini penting), awareness (semakin sadar) yang sudah dibuat negara dengan UU PA (Undang-undang Perlindungan Anak), yang ketiga action (mendengarkan dan menanggapi),” kata Romo Sunu.
Menurut Romo Sunu, salah satu implementasi hal ini adalah Gereja mengundang semua kepala sekolah dan pastor paroki untuk mulai membuat protokol.
Protokol
Romo Gading juga menyoroti motu proprio yang telah diterbitkan Paus Fransiskus yang meminta Gereja atau Keuskupan setempat untuk menyiapkan sistem pelaporan di setiap keuskupan ketika ada kasus terjadi. Paus Fransiskus memberikan batas waktu penyusunan protokol itu pada Juni 2020.
Romo Gading mengungkapkan bahwa Gereja juga dituntut untuk menindaklanjuti laporan yang diterima sesuai dengan langkah dan instrumen yang ada dalam pedoman. Apabila sampai berhadapan dengan penyembunyian kasus, prioritas akan diberikan untuk perlindungan terhadap korban. Gereja juga harus sinkron dengan UU yang sudah ada di Indonesia.
“Gereja diserukan oleh Bapa Fransiskus juga untuk mengambil sikap mendengarkan, melindungi, merawat, menyembuhkan korban, itu menjadi pilihan yang harus diambil gereja dan bukan sebaliknya jangan sampai pimpinan gereja melindungi pelaku, menyembunyikan kemudian memindahkan” jelas Romo Gading.
Justina juga menegaskan bahwa keberpihakan terhadap korban merupakan prinsip yang penting dalam menanggulangi permasalahan kekerasan seksual.
“Ketika berpihak kepada korban maka hak untuk mendapatkan keadilan, hak mendapatkan pemulihan, dan untuk mendapat kebenaran itu akan terpenuhi” ucap Justina.
Adanya perbedaan pandangan dalam prinsip ini yang kemudian membuat implementasi menjadi sulit. “Ketika kita mengutarakan itu, penolakan cukup keras terjadi. Itu salah satu yang menjadi hambatan protokol ini lama hingga implementasi. Karena saat membuat pun kita harus punya platform yang sama, dan itu memakan waktu,” kata Justina lagi.
Simak Talkshow yang lebih lengkap dalam video ini:
Reporter: Maria Sekar Ayu

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.