Mengenang Guru Besar UGM Cornelis Lay: Interaksi Membentuk Karakter (2)

Mengenang Guru Besar FISIPOL Universitas Gadjah Mada Cornelis Lay, tokoh intelektual asal Kupang.

0 203

Katolikana.com — Ada hal lain yang ingin saya garis bawahi. Setelah melewati perjalanan kuliah, saya sadar ternyata pembentukan jaringan, hubungan sosial di antara berbagai kelompok masyarakat lewat interaksi kegiatan-kegiatan intern kampus maupun antarkampus cukup memainkan peran yang sangat besar dalam menggembleng kita, membentuk karakter, visi, bahkan moralitas kita. Semua itu menopang karir selanjutnya.

 

BACA JUGA: Mengenang Guru Besar UGM Cornelis Lay: Interaksi Membentuk Karakter (1)

Saya merasa, kalau tidak mempunyai relasi sosial yang luas di kalangan kawan-kawan mahasiswa di zaman kuliah, sangat sulit membayangkan saya akan bisa dengan gampang muncul di mana-mana.

Saya tekankan, kapasitas individual seseorang tanpa kemampuan membangun relasi sosial yang baik, hampir mustahil dia bisa tumbuh dan berkembang secara baik.

Kapasitas untuk mengembangkan relasi sosial itu sangat ditentukan oleh hasrat beberapa hal ada dari kita lebih mengkonsumsi banyak waktu. Kadang-kadang ada kuliah terbengkelai. Tetapi pasca kuliah, kita bisa mengejar ketertinggalan jauh lebih cepat dari orang yang sekedar kuliah.

Kepedulian terhadap banyak hal muncul secara naluriah. Ketika masih di daerah dan hidup susah, menjadi terkonsep setelah mengalami pengalaman hidup bersama kawan-kawan organisasi.

Apa sih, kenapa kita peduli orang susah, orang miskin? Kenapa harus berjuang untuk keadilan? Semua itu menemukan bentuknya secara konseptual. Justru setelah berinteraksi dengan banyak kelompok, banyak orang.

Yang lebih penting adalah proses moderasi atau pengurangan ekstrimitas kelompok yang bersifat tertutup. Seperti, merasa suku, daerah, agama sendiri yang lebih besar, lebih baik—mengalami penurunan secara bertahap.

Akhirnya, mencapai suatu fase di mana kita melihat bahwa semua orang, etnik, agama, sama penting. Semuanya sejajar. Kalau ada dialog, itu bisa dikerjakan dengan baik.

Tapi harus dipahami betul. Untuk keterlibatan awal dalam aktivitas organisasi, seseorang harus bersedia menjadi pengikut, mengikuti aturan main.

Kadang-kadang, dalam hubungan sosial itu, yang ada bukan aturan organisasi, tapi aturan-aturan sosial yang muncul. Ya, kalau beli rokok, ya beli rokok. Kalau harus di belakang, ya di belakang. Ini proses kaderisasi, proses pematangan. Luar biasa! Proses ini akhirnya membentuk kita untuk siap, menerima, mau menjadi pemimpin atau pengikut dan seterusnya.

Cornelis Lay (1998). Foto: Istimewa

 

Persahabatan, Lingkungan

Hal lain, saya kira penting juga. Misalnya, kita dapat menemukan bentuk-bentuk persahabatan yang lebih tulus, yang benar dan lebih baik. Bahkan, kalau kita bisa menjaganya, kita nggak bisa mengkhianatinya setiap saat. Saya kira, hal-hal semacam ini tidak bisa, tidak akan pernah kita dapatkan dari kuliah-kuliah, atau dari diktat-diktat.

Bagi saya, soal komitmen, loyalitas pada idealisme, atau pemihakan pada masyarakat, lebih merupakan post—pembentukan-watak yang distimulasi oleh lingkungan kita, bukan hasil dari bacaan-bacaan kita.

Hal-hal seperti ini sebenarnya, ikut menentukan perkembangan kita. Bahkan,kalau secara ‘konyol’ ya, karir kita juga akan sangat banyak ditentukan oleh alam seperti ini.

Yang lain saya kira, motif-motif ekonomi yang rendah dalam relasi sosial kita dalam organisasi, zaman itu. Persaingan di antara organisasi memang sangat kuat. Tetapi motif-motif ekonomi, misalnya, masuk organisasi untuk dapat uang, ikut berpengaruh. Kadang-kadang, sengketa relasi sosial dalam organisasi dimulai dari hal seperti itu.

Nah, segala proses dalam pengalaman seperti itu bisa menolong kita sehingga tidak kaget.  Banyak mahasiswa ke kampus hanya untuk kuliah. Dari ruang kuliah, langsung ke kamar belajar. Begitu terus. Lalu, ikut ujian dan selesai kuliah.

Tapi, ketika berhadapan dengan realitas konkret, dia kaget. Bisa saja karena kaget, kemudian dia mengikuti arus kegilaan yang muncul tiba-tiba. Atau, dia frustasi karena kenyataannya begitu berbeda.

Tidak seperti zaman dia kuliah, kalau kita berada dalam lingkaran organisasi, dalam berbagai bentuk diskusi dan aktivitas, akan menolong kita untuk mengenal banyak sekali realitas di masyarakat. Hal itu mungkin terjadi karena kita memiliki kesempatan pengendapan, bukan mimpi!

Mungkin, saya termasuk orang yang beruntung. Bisa melewati—dalam arti sesungguhnya—sesuatu yang belum atau tidak pernah terbayangkan ketika masih di Kupang.

Dapat anda bayangkan jika sampai tahun 1979 baru ada dua SMA Negeri di seluruh NTT: satu di Alor dan satunya lagi di Kupang. Saya dulu hidup di lingkungan yang sangat terbatas sekolahnya, gurunya pun hidup di lingkungan yang sangat terbatas sekali, apalagi fasilitasnya.

Tetapi akhirnya saya bisa memasuki sebuah dunia pergaulan yang jauh lebih besar dari sekedar dunia Universitas. Saya bertemu dengan sekian banyak orang, mulai dari ujung Aceh sampai ujung Irian. Bisa berdiskusi, beraktivitas. Saya kira, Itu merupakan pengalaman luar biasa untuk mengenal Indonesia lebih baik.

 Soal studi

Studi setiap orang harus punya prinsip. Tak ada alasan untuk gagal dalam studi. Tidak ada alasan untuk menjadi nomor 2, nomor 3 atau nomor 4.

Saya kira setiap mahasiswa siapapun juga harus punya keyakinan diri sekaligus punya motivasi. Bohong. Menjadi yang terbaik itu merupakan pilihan yang—tidak bisa tidak—harus dipenuhi. Memang untuk itu akan melibatkan banyak hal.

Zaman saya kuliah dulu ada taruhan. Misalnya kalau seorang kawan dapat nilai A, ya ditraktir sate. Ada kompetisi yang sangat sehat. Jelas itu mendorong kita untuk banyak membaca, untuk sungguh-sungguh belajar.

Lantas apakah pekerjaan kawan-kawan cuma belajar? Belajar ya belajar, tapi ada saja aktivitas umumnya, orang-orang muda pada zaman itu. Secara normal ya dilakukan. Bisa jadi main billiard sampai pagi, nonton film, pergi jalan-jalan atau ke luar kota. Semua kegiatan tetap berjalan normal. Ada waktunya sesuai kebutuhan.

Ada satu yang harus disadari dan tidak pernah bisa berubah. Pertama, tujuan kita adalah studi. Kedua, kita memang perlu bergerak dalam kerangka ideal itu. Namun kita juga harus bisa membangun relasi sosial dan mulai belajar berorganisasi.

Bagi saya itu sedikit banyak, tetapi menjadi persoalan dari setiap kehidupan kita sebagai mahasiswa. Kapan dan di manapun Anda berada.***

Moderator di Forum Academia NTT. Direktur Eksekutif IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change). Melakukan riset aksi isu petani subsisten, anak jalanan, perdagangan orang, dan pandemi Covid-19. Ia menyelesaikan studi doktoral di Departemen Sociology & Cultural Studies di University of Brimingham, Inggris. Karya tulisnya yang terbit dalam buku antologi: Tanah Ulayat, Kapitalisme dan Sikap Gereja (Oase Intim, 2015), Globalisation, the Role of the State and the Rule of Law: Human Trafficking in Eastern Indonesia (ISEAS, 2018).

Leave A Reply

Your email address will not be published.