Romo Paulus Sarmono SCJ, Pastor Paroki Santo Yohanes Penginjil Bengkulu Kampanyekan Gerakan Pertanian Keluarga

Paroki Santo Yohanes Penginjil Bengkulu cukup lama tidak menggunakan bunga potong sebagai penghias altar.

0 702

Katolikana.com–Pandemi Covid-19 memunculkan berbagai permasalahan di segala sektor, mulai sektor kesehatan hingga ekonomi.

Saat para ilmuwan berpacu melawan waktu untuk segera menemukan obat atau vaksin yang ampuh melawan virus ini, bencana lain yang lebih besar sedang mengancam: kerawanan pangan.

Program Pangan Dunia atau World Food Programme (WFP) mengingatkan bahwa ancaman kelaparan yang sangat besar yang bisa menjadi pandemi ganda menyusul pandemi Covid-19.

Jika sebelumnya masalah kerawanan pangan diakibatkan tidak seimbangnya ketersediaan barang dan permintaan, kini diperparah dengan terganggunya sistem distribusi yang berdampak pada persoalan akses pangan, belum lagi ancaman gagal panen akibat perubahan iklim dan hama.

Di Indonesia, masalah akses pangan yang timbul umumnya dipengaruhi penghasilan masyarakat yang tak memadai, bahkan sekedar untuk membeli pangan pokok.

Banyak orang kehilangan pekerjaan, menyumbang andil pada menurunnya ketahanan pangan hingga masyarakat harus bergantung pada bantuan pangan dari pemerintah.

Petrus Suprapto sedang menggendong pepaya hasil kebunnya. Foto: Facebook.com/petrus.suprapto

Solusi Ada di Pekarangan Rumah

Namun tentu saja selalu ada solusi untuk setiap masalah. Ancaman bencana kelaparan yang terdengar menyeramkan, kadang solusinya cukup dekat: pekarangan rumah kita.

Solusi memanfaatkan pekajarangan rumah dilakukan oleh Petrus Suprapto, koordinator proyek pengurangan resiko bencana dan pertolongan pertama pada bencana di Yayasan Bina Vitalis Bengkulu.

Bertahun tahun bergelut dalam bidang pengurangan resiko bencana, bahkan terlibat langsung di beberapa bencana besar yang melanda Indonesia, menyadarkan Prapto bahwa dalam setiap situasi krisis, ketahanan pangan merupakan kunci utama bagi warga terdampak untuk segera pulih.

Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan secara mandiri ketika warga masyarakatnya memiliki stok pangan dari pekarangan mereka sendiri.

Petrus Suprapto di tengah-tengah tanaman pare.

“Sejak 2016, kami memulai upaya mengembangkan pertanian keluarga. Berawal dari menanam beberapa batang singkong di lahan milik Yayasan, lalu berkembang menjadi aneka macam tanaman pangan. Sekarang langkah kami ini banyak diikuti oleh warga sekitar,” tutur Prapto.

Family farming atau pertanian keluarga menjadi trend baru di masyarakat. Dipaksa untuk banyak di rumah, membuat kita punya banyak waktu luang untuk melakoni  hobi baru, salah satunya bercocok tanam.

Tidak hanya menyenangkan dan bisa mengusir stres, bercocok tanam mendatangkan banyak manfaat lain. Apalagi jika kita menanam aneka sayur dan buah-buahan, maka persediaan bahan pangan untuk kebutuhan sehari hari bisa datang dari pekarangan kita sendiri.

“Pengalaman menanam sayur dan buah di pekarangan rumah itu bermanfaat. Pertama, hemat karena sebagian kebutuhan sayur dan buah tinggal di panen dari kebun sendiri. Kedua, lebih sehat karena sayur dan buah yang dikonsumsi lebih segar dan bebas pestisida karena ditanam secara organik,” papar Prapto.

Prapto bercerita, panenan buah dan sayur yang kami tanam di pekarangan rumah ternyata melimpah.

“Kami berpikir, kenapa tidak menjualnya? Hasilnya luar biasa. Uang yang kami dapat dari penjualan sayur bisa digunakan untuk tambahan biaya sekolah anak kami,”ujar Prapto.

Vito, anak Petrus Suprapto di tengah kebun kacang.

Apa yang dilakukan Prapto menginspirasi warga sekitar untuk mengikuti jejaknya. Dia tidak segan untuk berbagi ilmu dan informasi kepada orang-orang yang baru belajar bercocok tanam.

Bagi sebagian orang, bercocok tanam di rumah kadang dianggap sulit, dengan alasan lahan terbatas, terutama yang tinggal di perkotaan.

Menurut Prapto, lahan sempit bukan hambatan untuk memulai pertanian keluarga. Banyak metode bisa digunakan. Sayuran yang kita konsumsi pun seringkali tidak memerlukan lahan yang luas.

“Sekarang pengetahuan tentang hal ini bisa diakses dengan mudah di internet. Tinggal kemauan saja untuk memulai. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan,” ujar Prapto.

Petrus Suprapto di tengah-tengah tanaman cabe.

Gerakan Berbasis Paroki

Kampanye pertanian keluarga juga dilakukan oleh Pastor Paroki Santo Yohanes Penginjil Bengkulu, Romo Paulus Sarmono SCJ.

Ketertarikan akan dunia pertanian berawal ketika bertugas di Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan tahun 2012.

Di sana para petani seringkali gagal panen karena hama dan penyakit. Bertekad untuk membantu petani, Romo Sarmono mulai belajar hingga akhirnya menemukan formula pupuk organik yang sekaligus dapat berfungsi sebagai pestisida dan fungisida alami.

Formula pupuk organik racikan Romo Sarmono merupakan hasil fermentasi dari buah mojo. Buah mojo banyak ditemukan di wilayah pinggiran Provinsi Bengkulu.

Siapa sangka buah mojo yang selama ini dianggap tidak berguna, ternyata bisa diolah menjadi pupuk dengan kandungan nutrisi yang cukup lengkap untuk tanaman.

“Selain buah mojo, banyak bahan lain seperti sabut kelapa, kulit nenas, bahkan kotoran dan urine hewan ternak dapat diolah menjadi pupuk organic,” papar Romo Sarmono.

Di pastoran, Romo Sarmono mengolah sampah rumah tangga dengan menggunakan biodigester. Hasilnya, mikroorganisme lokal (MOL) yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk cair sekaligus pestisida dan fungisida alami.

“Pupuk Organik Cair (POC) hasil karya warga pastoran cukup banyak. Sesekali kami membagikan atau kadang juga menjualnya kepada warga yang membutuhkan,” tambahnya.

Tidak berhenti pada pengolahan sampah menjadi kompos dan POC, Romo Sarmono juga giat menanam bermacam sayuran di lingkungan pastoran.

Metode yang digunakan pun bervariasi karena lahan yang tersedia terbatas. Beberapa sayuran ditanam dengan cara hidroponik namun ada pula yang ditanam menggunakan polybag.

Hasil pupuk yang diolah dari sampah dan kotoran ternak.

Tidak Menggunakan Bunga Potong

Seringkali tanaman sayuran ikut menghiasi altar gereja, terutama di saat misa perayaan besar, seperti Natal dan Paskah.

Tanaman terong dan cabai yang tengah berbuah dipasang sebagai penghias altar, bersanding dengan tanaman lain.

Paroki Santo Yohanes Penginjil Bengkulu memang cukup lama tidak menggunakan bunga potong sebagai penghias altar dan menggantikannya dengan tanaman dalam pot.

Langkah kecil ini ternyata menggerakkan umat. Tidak saja umat di kota Bengkulu, namun juga umat di stasi-stasi terpencil mulai bergerak untuk memanfaatkan pekarangan mereka.

Mari Bertindak!

Saat di rumah kita memiliki banyak waktu luang dan bisa melakukan kegiatan bermanfaat. Apalagi mungkin beberapa orang pendapatannya berkurang, bahkan kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

“Dengan bercocok tanam, terutama tanaman pangan, kita ikut membantu ketahanan pangan, minimal kebutuhan pangan sehari-hari,”ujar Romo Sarmono.

Romo Sarmono mengajak untuk memanfaatkan apapun yang ada lingkungan sekitar kita. Kita bisa mulai memilah dan mengolah sampah rumah tangga menjadi kompos atau pupuk cair dan menanam sayur atau buah di lahan rumah kita.

Menurut Romo Sarmono, jika ini bisa menjadi gerakan bersama, ini akan mendukung ketahanan pangan.

“Kita belum tahu kapan pandemi akan berakhir. Jika terjadi resiko terburuk berupa kelangkaan bahan pangan akibat pandemi berkepanjangan, kita siap dengan solusinya,” ujar Romo Sarmono.

“Mari bertindak, mulai dari hal kecil dan sederhana di rumah kita masing-masing. Jika dilakukan bersama, kita akan bisa membuat perubahan,” pungkasnya.***

Kontributor: Regina Ratna Sari, penyiar Radio Katolikana, tinggal di Bengkulu.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.