Kisah Siswa Katolik di Sekolah Negeri: Berpikir Positif Terhadap Perbedaan Agama

Belajar hidup dalam keberagaman agama di sekolah

0 2,093

Katolikana.com – Nama saya Patricius Yoga Advenda. Saya beragama Katolik. Lahir di Mojokerto, 12 Desember 2003. Saya anak kedua dari empat bersaudara.

Saya akan berbagi kisah bagaimana menjadi siswa Katolik yang sejak kecil sekolah di lembaga Katolik kemudian sekarang di sekolah Negeri yang mayoritas teman-teman agamanya berbeda dengan saya.

Pertama, saya bersyukur kepada Tuhan Yesus karena saya bisa diterima di SMAN 2 Mojokerto. Walaupun sekarang ada sistem zonasi, tidak semua orang dengan mudah bisa masuk di SMAN 2 Mojokerto.

Bagi warga Mojokerto, SMAN 2 merupakan sekolah favorit. Sekolah ini memiliki fasilitas lengkap, berkualitas, sehingga banyak pelajar bersaing untuk masuk.

Para siswa dan orangtua siswa memburu sekolah favorit sehingga anak-anak berprestasi dan orangtuanya mampu berkumpul di lembaga ini.

Banyak prestasi yang telah ditoreh oleh sekolah ini, terakhir menjadi Juara 3 lomba perpustakaan tingkat nasional. Sekolah ini merupakan SMA Negeri bertaraf internasional yang biasa disebut Bumi Wiyata Setya Bhakti (Buwitashakti) dan Innovative School of SMANDA (Inscada).

Saya memilih sekolah di SMA Negeri 2 Mojokerto karena dua alasan. Pertama, saya ingin memiliki pengalaman dan pandangan yang lebih luas. Kedua, saya ingin memiliki akses yang lebih mudah untuk masuk di universitas negeri mengingat status yang disandang adalah A.

Mengenyam pendidikan di sekolah negeri merupakan sesuatu baru bagi saya. Selama ini kami empat bersaudara sejak TK hingga SMP di sekolah Katolik.

Pada waktu di sekolah swasta Katolik iman saya bertumbuh tanpa halangan atau rintangan yang berat. Saat ini saya sering ditanya tentang iman yang dianut  dan terkadang disindir oleh segelintir teman yang belum memahami arti sebuah keyakinan. Inilah perbedaan antara sekolah Katolik dan negeri.

Malu dan Canggung

Penulis bersama teman-teman sekelasnya di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto/Foto: Istimewa

Ada satu pengalaman yang masih tersimpan dengan baik dalam ingatanku. Ketika itu, hari Senin minggu ketiga Juni 2019, saat pertama kali masuk sekolah atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), bersama sahabat seangkatan kami dikukuhkan menjadi siswa SMA Negeri 2 Kota Mojokerto.

Dua perasaan yang sangat menghantui saat itu adalah: malu dan canggung. Dampak dari perasaan tersebut membuat saya sepertinya sulit berkomunikasi dengan teman-teman yang berasal dari berbagai SMP.

Setelah pembagian kelas, perasaan malu, canggung dan sulit berkomunikasi masih melekat pada saya dan itu yang membuat saya merasa tertinggal soal pelajaran.

Kesulitan beradaptasi ketika pertama kali menginjakkan kaki di SMA Negeri 2 adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya.

Belajar di awal masa SMA memang berbeda dengan masa SMP. Makin tinggi tingkatan makin sulit dan harus lebih mandiri. Ternyata di awal masuk SMA saya masih belum siap dan merasa kelelahan karena tugas yang makin banyak.

Tetapi saya berpikir bahwa menjalankan tuntutan ini tidak sendirian, teman-temanku juga merasakan hal yang sama. Jadi saya harus semangat. Bersama teman-teman sekelas kami saling menyemangati dan saling membantu.

Menjadi Garam dan Terang

Di kelas terdapat aneka ragam agama. Saya beruntung masuk kelas yang memiliki aneka ragam agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Hindu. 

Kami saling menghormati dan menjaga hubungan baik antaragama di kelas. Karena begitu dekatnya hubungan kami, kadang kami ungkapkan dalam bentuk candaan.

Apabila candaan berlebihan terkadang saya merasa sakit hati. Jika merasa tersinggung dua sikap yang saya tunjukkan kepada teman-teman adalah menyimpan semua persoalan itu di dalam hati dan memberi teguran agar tidak mengulangi lagi hal yang membuatku sakit hati.

Saya beruntung memiliki guru agama yang bisa tiap hari bisa ditemui. Tidak semua sekolah negeri di Mojokerto memiliki guru agama Katolik.

Setiap pagi saat doa pagi bersama pukul 06.30 dan saat pelajaran, Pak John Lobo, guru agama saya selalu mengingatkan anak didiknya agar kita menjadi terang dan garam di tengah-tengah masyarakat terutama di lingkungan sekolah melalui kata-kata, sikap dan cara hidup yang baik.

Kami selalu diberi motivasi seperti itu agar tidak menjadi anak yang minder dan pemalu, walaupun kita minoritas.

Dengan talenta yang diberikan Tuhan, kita bisa melakukan hal lebih dan luar biasa di sekolah. Bakat dan potensi apa yang kamu miliki harus dikembangkan. Itu adalah bukti bahwa kamu mencintai talenta dari Tuhan. Itu pesan beliau yang saya ingat.

Selain itu kami juga diberi motivasi agar senantiasa menjadi pelayan seperti Yesus, selalu rendah hati dan sabar, serta jika diberi kepercayaan lakukanlah itu sebagai pemberian terbaik bagi sekolah tercinta.

Patricius Yoga Advenda/Foto: Istimewa

Perbedaan Agama Seperti Paduan Suara

Sejak SMP hingga di SMA saya memilih untuk mengikuti ekstrakurikuler paduan suara. Melalui paduan suara saya diberi ruang untuk mengembangkan bakat serta kemampuan dalam bidang tarik suara.

Selama bergabung dalam kelompok paduan suara, saya mencoba membiasakan diri untuk jadi pelayan.

Bentuk pelayanan yang dilakukan adalah membantu teman-teman dan adik kelas dalam bernyanyi.

Ada pesan yang saya peroleh selama mengikuti paduan suara jika dihubungkan dengan perbedaan agama yang ada di sekolahku. Perbedaan suara dalam sebuah paduan suara sangat indah kalau semua jenis suara baik sopran, alot, teno, dan bas berbunyi.

Demikian juga dengan perbedaan agama yang kami miliki. Sungguh menjadi kekuatan besar jika setiap perbedaan dilihat dari sisi positif untuk membangun kekuatan bersama untuk meningkatkan prestasi sekolah.

Tidak Perlu Khawatir

Selain itu saya juga menjadi perangkat atau pengurus kelas. Bila berhadapan dengan tantangan dalam tugas pelayanan, saya senantiasa berpikir positif sehingga semuanya berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan harapan bersama.

Hingga saat ini saya memiliki kekuatan untuk mengatasi segala kekhawatiran dari Injil Matius 6:25-34. Tuhan Yesus berpesan kepada saya agar tidak perlu khawatir dengan apa yang sedang saya jalani saat ini. Kekhawatiran tidak akan menghasilkan apa-apa. Saya yakin pasti Tuhan selalu mendampingi hidupku. 

Meskipun Katolik itu kelompok minoritas di negeri ini terutama di sekolah tempat saya belajar mengais ilmu, saya tetap memiliki semangat untuk memberikan diri melalui potensi yang dimiliki untuk kemajuan SMA Negeri 2 tercinta.

Semoga tenunan kisah saya ini bisa menginspirasi teman-teman yang sedang menuntut ilmu di jenjang pendidikan yang sama. Jika ada goresan kalimat sebagai luapan hati ada yang kurang berkenan dihati, saya sampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Tuhan memberkati.

Mojokerto, 31 Oktober 2020

Patricius Yoga Advenda

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.