Fenomena Ghosting pada Anak ‘Zaman Now’: Menggunakan Media Sosial untuk Memulai dan Mengakhiri Hubungan

Ada 5 Alasan Mengapa Seseorang Melakukan Ghosting

0 499

Katolikana.com—Ghosting merupakan tindakan “menghilang” dari suatu interaksi antarindividu.

Ghosting memiliki berbagai konteks, pengaruh, dan latar belakang yang mendorong seorang “inisiator” melakukannya.

Namun, siapa sangka ternyata tindakan ghosting bisa berdampak pada kesehatan psikologis dari manusia?

Dalam tindakan ghosting, terdapat dua peran utama yang disebut inisiator dan non-inisiator. Inisiator merupakan orang yang mengambil tindakan ghosting dalam suatu interaksi atau hubungan.

Non-inisiator adalah orang yang tidak mengambil tindakan (ter-“ghosting“). Banyak orang yang menyederhanakan kedua peran ini sebagai pelaku dan korban.

Hal ini disampaikan oleh Psikolog Klinis Devina Priskila Zabrina, M.Psi., Psikolog dalam LiveTalkshow #KatolikanaMuda dengan tajuk “Ghosting: Trend Hubungan Masa Kini”, yang disiarkan melalui kanal YouTube Katolikana dan  Radio Katolikana, Minggu, (14/3/2021) pukul 13.00.

Melibatkan Media Sosial

Mengapa ghosting menjadi salah satu fenomena yang dominan di komunikasi? Menurut dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta Desideria Cempaka Wijaya Murti, S.Sos., MA., PhD., yang akrab disapa Desi, hal ini terjadi karena adanya penggunaan medium, yaitu sosial media.

Desi menjelaskan, kejadian ini sering sekali berlangsung karena media sosial menjadi salah satu media yang digunakan oleh orang-orang untuk memulai sebuah hubungan. Sayangnya, media sosial juga digunakan untuk mengakhiri hubungan.

“Akhirnya ini menjadi sebuah fenomena yang kemudian menarik karena ini muncul di generasi kalian karena lebih dominan dari pada komunikasi dulu,” ujar Desi.

Saat Desi mencari penelitian mengenai ghosting dari sisi Ilmu Komunikasi, ia menemukan ada lima alasan mengapa seseorang akan melakukan tindakan ghosting.

  1. Kenyamanan
  2. Keamanan
  3. Atraksi
  4. Status hubungan
  5. Alasan lain.

Dari alasan tersebut, menurut Desi ghosting dapat ditoleransi berdasarkan latar belakangnya. Salah satunya ketika seseorang terjebak di dalam toxic relationship atau abusive relationship.

Hal tersebut didasari oleh sisi keamanan dan kenyamanan dari salah satu pihak yang berada dalam hubungan sehingga menimbulkan adanya avoidance atau menghindar dari orang yang membuat mereka merasa tidak aman maupun tidak nyaman dalam hubungan.

“Kalau dari aspek komunikasi, tujuannya agar tidak punya intensi untuk melanjutkan hubungan, sengaja untuk tidak melanjutkan hubungan dengan orang lain, dan sudah tidak ada niat untuk membangun hubungan di masa depan,” jelasnya.

Tanda-tanda Ghosting

Desi menjelaskan ada beberapa kasus yang tidak memiliki tanda-tanda sebelum terjadi ghosting. Di sisi yang lain, biasanya ghosting ini memiliki tanda-tanda menurunnya intensitas komunikasi secara bertahap antara inisiator dengan non-inisiator.

Pertama, melakukan seleksi terhadap media. Biasanya akan diseleksi media yang digunakan untuk berkomunikasi, sehingga orang yang ingin melakukan ghosting bisa langsung tahu harus memutuskan hubungan lewat media sosial apa saja.

Kedua, mundur secara perlahan. Pada tahap ini akan terjadi less contact dengan orang lain. Kalian pasti tahu, orang yang biasanya jawab chat panjang, tiba-tiba menjadi pendek. Nah, itu adalah salah satu sinyal sebelum orang melakukan ghosting!

Ketiga, melancarkan ghosting. Kalau tahap ini, maka orang ini akan langsung lepas gitu saja dengan kalian.

Ghosting, Tren Hubungan Masa Kini

Bukan dalam Ranah Hubungan Saja

Devina Priskila Zabrina lebih membahas efek dari fenomena ghosting kepada pihak non-inisiator, baik secara psikis hingga ke fisik, dan seberapa jauh fenomena ini akan berdampak.

Menurut Devina, banyak alasan yang mendorong terjadinya ghosting ini dari sisi inisiator. Fenomena ghosting ini tidak hanya bisa terjadi dalam ranah hubungan intim saja, melainkan juga ternyata bisa terjadi di ranah pekerjaan.

“Mengapa sang non-inisiator atau “korban” merasakan efek sakit secara psikis maupun fisik? Karena inisiator yang tiba-tiba hilang tanpa adanya kejelasan. Rasa ini juga berdasarkan akan adanya ketidakseimbangan ekspektasi dari sang inisiator dengan sang non-inisiator,” papar Devina.

Banyak artikel yang membahas bagaimana perilaku atau fenomena ghosting ini dianggap sebagai salah satu contoh dari bentuk emotional abuse atau kekerasan secara emosional.

“Ketika dalam sebuah hubungan yang d idalamnya terdapat komitmen, namun terjadi tindakan ini (ghosting) dapat dikategorikan sebagai tindakan emotional abuse,” terang Devina.

Tindakan ghosting dapat membuat non-inisiator menjadi stres, insecure, overthink, menurunnya self-esteem, hingga paling parah adanya trauma.

Menurutnya, efek-efek tadi akan memengaruhi non-inisiator dalam menjalani hubungan lain di masa depan. Dampak lainnya, non-inisiator akan selalu berpikir bahwa pengalaman ghosting karena adanya kesalahan dalam dirinya.

Kena Ghosting, Apa yang Harus Dilakukan?

Ketika seorang non-inisiator mengalami ghosting, apa yang harus dilakukan? Berikut lima tips menurut Devina:

  1. Sadari apa yang telah terjadi. Pahamilah bahwa dalam hubungan yang dijalin telah ada inisiator yang meninggalkan dan pahami emosi apa yang muncul dalam diri.
  2. Stop komunikasi dengan inisiator. Dengan menyadari dan memahami apa yang telah terjadi, lebih baik non-inisiator tidak lagi mengejar penjelasan dari inisiator ataupun mencarinya. Seringkali penjelasan atau komunikasi malah makin berdampak buruk.
  3. Bercerita kepada orang terdekat atau pertolongan profesional. Beranilah bercerita kepada keluarga atau teman terdekat agar membantu non-inisiator melepaskan emosinya. Ketika merasa efek yang makin buruk, non-inisiator dapat segera membuat jadwal dengan profesional.
  4. Self-care. Hal ini dilakukan bukan semata untuk membuktikan bahwa kita baik-baik saja, namun membantu bagaimana kita menerima diri kita dan memperbaikinya tanpa menyalahkan diri sendiri.
  5. Let it go. Saatnya melepaskan apa yang telah terjadi di belakang dan menjalani kehidupan kedepan lebih baik lagi.

Kontributor : Rufus Christian, Inezia Zoe Putri Sukonco, Clarisa Natania Putri Arinka, Katarina Widhi Arneta Sari (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

 

 

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.