Cerita ‘Negeri di Gunung Awan’ Papua: Dari Noken Anggrek, Bangun Gereja, Hingga PON

Tentang noken anggrek dan orang-orang di Kampung Abouyaga, Papua

0 859

Katolikana.com – Kampung Abouyaga tak seperti biasanya. Kampung tampak ramai. Warga berkumpul di halaman Gereja Katolik Hati Yesus. Mereka sedang menyambut tamu dari Majelis Rakyat Papua.

Abouyaga adalah ibukota distrik Mapia Barat yang dengan jarak tempuh kira-kira 140 km dari kota Nabire dengan menggunakan kendaraan roda empat. Kondisi jalan yang kurang baik dengan tanjakan yang terjal dan melewati sungai yang deras menjadikan tantangan tersendiri untuk mengakses kampung Abouyaga.

 

Kondisi jalan yang rusak menuju Kampung Abouyaga, Distrik Mapia Barat/foto: Wensi

 

Kampung ini merupakan salah satu kampung yang terletak di wilayah pegunungan Weyland yang menjadi bagian dari wilayah administrasi kabupaten Dogiyai. Terletak di dataran tinggi dengan pemandangan yang menakjubkan dengan hamparan pohon dan tumbuhan anggrek.

Di pagi hari, kabut awan menyelimuti seluruh kampung setelah matahari bersiran sebentar. Awan terlihat sangat dekat, sehingga penduduk asli menyebut kampung Abouyaga sebagai kampung yang terletak di atas gunung Kita. Gunung kita artinya “gunung di awan”.

Hari itu, Senin, 21 Juni 2021, Ciska Abugau dan Petronela Th. Bunapa, anggota Majelis Rakyat Papua utusan kelompok perempuan wilayah adat Mee Pago melakukan kunjungan kerja ke kampung Abouyaga. Kunjungan ini untuk berdialog langsung, mendengarkan aspirasi masyarakat di Distrik Mapia Barat, Kabupaten Dogiyai.

“Kunjungan ini sangat berharga bagi kami untuk melihat dan mendengar langsung aspirasi orang asli Papua,” ujar Ciska Abugau, Ketua Kelompok Kerja Perempuan MRP.

Perjumpaan langsung itu dirindukan oleh masyarakat di kampung Abouyaga, yang juga dikenal dengan ‘Negeri di Gunung Awan’. Esebius Mote, seorang yang merasakan kerinduan itu, bertemu dengan wakil rakyat. Mote, yang juga pegiat dan perintis noken angrek itu meraskan sudah lama tak disapa dan dikunjungi. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat yang terlupakan dari pelayanan kesehatan dan pendidikan.

“Kami sangat merinduhkan kunjungan dari pemerintah. Selama bertahun-tahun, kepala distrik tidak di sini. Dokter, perawat dan guru juga tidak selalu melayani kami di kampung Abouyaga. Kami merindukan pelayanan,” ujar Esebius Mote, Ketua Komunitas Budidaya Anggrek.

Mote berharap, perjumpaan dan kehadiran MRP di kampungnya bisa betul-betul mendengarkan aspirasi masyarakat, dan dilaksanakan oleh pemerintah dan MRP.

Esebius Mote dan Taman Anggrek

Penduduk aslinya adalah etnik Mee yang masih mempertahankan nilai-nilai dan sistem pengetahuan asli. Ada yang telah menganut agama Katolik, dan ada pula yang menganut Protestan dari Gereja Kemah Injili di Indonesia (GKII).

Mata pencaharian utama penduduk asli Abouyaga adalah berkebun di lereng-lereng gunung, beternak babi dan menganyam noken anggrek. Berbeda dengan saudara mereka di kampung Modio yang telah mengembangkan perkebunan kopi arabika.

Noken anggrek, dalam bahasa Mee disebut toya agiya merupakan mata pencaharian utama dari penduduk Abouyaga. Toya agiya dibuat oleh laki-laki. Bahan dasarnya adalah tumbuhan anggrek yang tumbuh di pohon yang tinggi sehingga harus memanjat untuk mendapatkannya.

“Dulu kami harus masuk hutan, melewati sungai dan jurang untuk mencari dan mengambil tanaman anggrek. Karena itu, saya inisiatif untuk membuat kebun anggrek di dekat rumah saya,” kata Esebius Mote.

Esebius Mote adalah orang pertama yang menggagas budidaya tanaman anggrek. Ketika memulai budidaya tanaman anggrek, ia mendapat tantangan dari warga Abouyaga. Warga tidak setuju dan menentang upaya budidaya tanaman anggrek. Warga Abouyaga memandang anggrek sebagai tanaman sakral yang harus diperlakukan dengan baik, sehingga upaya budidaya sebagai tindakan melanggar nilai kesakralan dari anggrek.

Ebisius Mote bersama dua anggota MRP Ciska Abugau dan Petronela Th. Bunapa. Foto: Wensi

“Ketika memulai budidaya tanaman anggrek, saya mendapat tantangan dari warga. Mereka mengatakan kepada saya bahwa anggrek itu milik Tuhan dan roh-roh, sehingga saya akan kena hukuman, tetapi saya tidak menyerah. Saya terus melakukan budidaya tanaman anggrek. Saya pikir, budidaya tanaman anggrek adalah bagian dari upaya menjaga dan merawat anggrek sebagai bagian yang sakral dari kebudayaan kami,” ungkap Esebius Mote.

Upaya Mote tidak sia-sia. Seiring berjalan waktu, dan berkat dukungan dari pihak gereja Katolik dan GKII bersama pemerintah, budidaya tanaman aggrek menjadi kerja bersama warga Abouyaga. Kini warga memiliki kebun yang luas dimana mereka membudidayakan tanaman anggrek. Salah satunya adalah taman aggrek seluas satu hektar di halaman Gereja Katolik Hati Yesus Abouyaga.

Membangun Gereja dengan Noken Anggrek

 

Gereja Katolik Hati Yesus di Kampung Abouyaga, dibangun dari hasil jualan Noken Angrek. Foto: Wensi

 

Warga Abouyaga menjual noken anggrek dengan harga mulai lima ratus ribu rupiah hingga puluhan juta. Hasil penjualan noken anggrek dipakai untuk membiayai keperluan hidup, seperti membeli kebutuhan pokok, biaya sekolah anak dan biaya kesehatan. Selain itu, mereka juga menyumbangkan untuk pembangunan Gereja Katolik Hati Yesus.

“Kami, warga Abouyaga sepakat untuk setiap keluarga memberikan noken-nokennya. Kami jual noken-noken anggrek ke kota Nabire, kota Mounemani dan kota-kota lain. Hasil penjualan itu dipakai untuk membiayai pembangunan gereja,” ungkap Silvius Kegiye, ketua panitia pembangunan Gereja Katolik Hati Yesus Abouyaga.

Ingin Ikut Sukseskan PON XX

 

Noken anggrek ini ikut menyukseskan PON XX di Papua tahun 2021/Foto: Wensi

 

“Dalam pertemuan dengan Panitia Besar (PB)  PON XX di Jayapura, kami mendapat informasi bahwa Pantia Besar (PB) PON XX membutukan kurang lebih sepuluh ribuh noken anggrek. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kedatangan kami ke kampung Abouyaga,” ungkap Ciska Abogau di selah-selah pertemuan bersama warga dari beberapa kampung Abouyaga di halaman Gereja Katolik Hati Yesus.

Mendengar kabar tersebut, warga Abouyaga sangat antusias. Mereka ingin berpartisipasi dengan menjual noken anggrek mereka kepada PB PON XX. Pekan Olahraga Nasional ini pada tahun 2021 diselenggarakan di Papua.

“Ini berita bagus untuk kami. Selama ini, kami berpikir untuk menjual hasil kerajinan noken anggrek kami. Kami siap memberikan sepuluh ribu noken anggrek kami,” ungkap Esebius Mote.

Kesiapan warga ini tentu bukan ungkapan semata. Dalam pemantauan di kampung Abouyaga, setiap rumah memiliki usaha anyaman noken anggrek. Laki-laki muda, tua dan perempuan bersama-sama menganyam noken anggrek. Perempuan memiliki tugas menganyam tali noken, sementara laki-laki menganyam nokennya.

Menurut Petronela Bonapa, anggota Majelis Rakyat Papua utusan kelompok perempuan wilayah adat Mee Pago, warga di Distrik Mapia Barat, Mapia Tengah dan distrik-distrik tetangga sangat siap mendukung suksesnya PON XX.

“Noken anggrek adalah budaya kami, orang Mee di Mapia. Setiap rumah punya noken anggrek. Ada yang memiliki dua puluh noken, ada yang lima puluh sampai seratus noken anggrek. Artinya, warga siap,” ungkapnya.

Editor: Basilius Triharyanto

Penulis, pembuat film, peneliti di Papua

Leave A Reply

Your email address will not be published.