Seperti Bapa Jhon, Menjadi Katolik Papua yang Sebenar-benarnya

0 242

Katolikana.com – Bapa Jhon adalah katekis katolik di Papua. Ia pernah tinggal di beberapa daerah, seperti di Wamena, Timika, dan Arso. Tiga tempat ini yang bisa saya sebut, selebihnya barangkali masih ada daerah lain lagi.

John, begitu ia suka dipanggil, berasal dari keluarga Kei, Maluku Tenggara. Ia sendiri lahir di Tanah Papua. Kerja, kawin dan berkarya pun di Tanah Papua.

Hingga usianya senja ia mengenali banyak orang Papua, sebagian orang yang dikenalnya masih banyak yang buta aksara: tidak tahu baca, tulis dan hitung.

Mereka tidur di honai-sebutan rumah untuk orang Papua, hutan belantara. Mereka banyak berjalan kaki, memikul kayu, sekop, parang, dan sebagainya.

Saya bertemu Pak John ketika di Wamena. Kepada saya, ia mengatakan bisa menyesuaikan dengan kehidupan dan budaya adat setempat. Ia belajar bahasa daerah, juga melakukan pekerjaan yang sesuai dikerjakan oleh masyarakat setempat.

Kalau masyarakat makan hepuru (ubi jalar), dia ikut makan hepuru. Kalau dorang makan papeda, dia juga ikut makan. Apalagi bakar batu, dia ikut bakar batu dan mengikuti segala sesuatu yang ada di dalam orang Papua.

Saat pertemuan pertama itu, ia sedang berkarya di Paroki Musatfak. “…untuk siapkan Pastor Katolik pribumi Papua saja, saya tidur bangun di honai adat, paroki Kimbim-Woogi, Musatfak (Wamena)”, katanya kepada saya.

Dia tidak menawarkan segala sesuatu dari luar Papua, yang baru dan asing bagi orang Papua. Dia selalu mengakui, menghormati, melindungi dan ingin merawat serta melestarikan segala sesuatu yang baik dan benar, yang di dalam diri orang Papua.

Segala pikiran, isi hati dan jiwa raganya sejak kecil diarahkan untuk  melayani orang Papua. Berani mengambil resiko untuk berkorban untuk orang Papua yang hidup dalam keterbatasan pendidikan, pengetahuan luar (bukan lokal) dan kesehatan.

Baik ayah dan ibu serta dirinya, anak-anaknya, cucu-cucunya, semua diperuntukkan untuk tanah dan manusia Papua. Artinya, energi di waktu produktif mereka habis demi orang Papua.

Paling sering pulang kampung. Tapi sampai di sana selalu rindu Papua. Ingin kembali kesini. Akhirnya, menetap disini. Banyak dari keluarga mereka sejak kecil dan yang meninggal dunia sekalipun secara katolik Papua.

Dia jarang, bahkan tidak pernah pikir untuk kampung halamannya. Apa yang dia selalu pikir, bergumul dan bergerak adalah untuk bagaimana membangun tanah Papua dengan membangun manusianya lebih dulu melalui pendidikan berpola asrama katolik dan bidang karya pastoral lainnya.

Dia selalu bicara untuk menjadi Gereja Katolik Papua utuh, yaitu dengan bagaimana menjadikan  semua orang Papua yang buta, tidak tahu baca, tulis dan hitung, menjadi orang yang dibaptis tak hanya melalui air berkat.

Tapi juga dengan membuka wawasan, cakrawala, pengetahuan, kesadaran dan lain sebagainya. Baginya menjadi Gereja Katolik di Tanah Papua berarti kita berani memanggul salib penderitaan orang Papua.

Merasakan suka duka bersama orang Papua adalah apa yang dia rindukan dari kita sekalian. Baginya di sinilah hakekat menjadi manusia dan Gereja Katolik yang benar-benar dari mana saja untuk tanah dan manusia Papua.

Jalan pikiran seperti inilah yang saya selalu pikir bahwa Bapa Jhon yang notabene migran itu lebih pribumi dan Katolik Papua. Ketimbang saya yang asli Papua tapi berhati dan berjiwa tidak jelas: penghianat atau apa istilahnya.

Sama. Saya juga dari Wamena. Dulu saya datang ke Jayapura hanya untuk timba ilmu. Tapi lama-lama saya sadar. Bahwa pola pikir itu salah dan tidak baik. Karena cara demikian, kita hanya menjadi orang yang malas tahu, asal tinggal, tahu makan, tapi tidak tahu kerja atau berterima kasih.

Dengan berjalannya waktu, saya mulai ubah pola pikir kembali. Jika saya memutuskan untuk tinggal, hidup, bekerja dan menetap di Jayapura, berarti saya harus mencintai Jayapura dengan segenap hati, jiwa raga dan akal budi.

Seperti saya mencintai diri saya, Tuhan, sesama, keluarga, kampung dan daerah asal saya–Wamena. Saya dapat pengalaman, dan pengetahuan di kota, bahkan tanah ini sangat banyak. Kota dan tanah ini sangat baik sama saya dan keluarga saya.

Sehingga, saya pikir untuk memiliki tanggungjawab moral yang sangat besar untuk menjadikan kota Jayapura sebagai rumah saya dengan tetap menjadi katolik tulen di tengah mayoritas saudara-saudara dari Islam dan Kristen Protestan.

Caranya sederhana, selalu berusaha untuk menjaga nama baik kota Jayapura atau tanah Papua. Berusaha aktif untuk melihat persoalan di kota dan tanah Papua dengan rasa memiliki yang tinggi. Hanya dengan begitu, saya boleh dikatakan orang yang punya hati untuk kota Jayapura, Papua.

Katolik Papua yang Merdeka

Apa yang saya pikir adalah bagaimana kita yang lahir besar–entalah pribumi ataupun migran, yang lama hidup dan berkarya, bahkan akan mati dikubur di tanah Papua ini menjadi Katolik Papua yang sebenar-benarnya.

Dengan kata lain, menjadi Gereja Katolik yang benar-benar tanpa sedikitpun membangun kepentingan bisnis terselubung dalam postur gereja, tanpa menjadikan gereja sebagai tempat cari makan minum, pekerjaan, mencari nafkah, memperbaiki tarif hidup, lapangan kerja dan sebagainya.

Tentu saja jauh dari kesan marginalisasi manusia dan nilai-nilai kearifan lokal dalam gereja; diskriminasi rasial secara sistematis dalam hirearki Gereja Katolik. Sebaliknya, membangun honai yang satu, universal, kudus, apostolik.

Menjadi Papua yang sebenar-benarnya berarti gereja yang dibangun dengan semangat Santo Petrus di Roma, Italia. Tetapi juga di lain sisi diwarnai dengan semangat para misionaris yang meletakan dasar Gereja Katolik Papua di atas pundak leluhur orang Papua.

Semakin kokoh, karena berkembang dengan saling menghargai dan menghormati satu sama lain, yang menjadi ciri khas gereja katolik yang dikenal netral dan independen di atas buku, kertas dan layar media massa, tetapi “kurang ajar” di jalan-jalan sunyi, tertutup dan rahasia.

Katolik Papua yang sebenarnya, bagi saya hidup rukun dan damai sebagai sesama manusia dan Katolik yang sama-sama memiliki hak, harkat, martabat dan derajat yang sama rendah dan sama tinggi. Tanpa membeda-bedakan satu sama lain.

Hal lain karena dia telah berani dan rela meninggalkan keluarga, suku, daerah, dan lainnya. Kemudian giat memilih dan memutuskan untuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika pastoral dan sosial yang nyata.

Dalam menjadi Katolik Papua yang sebenar-benarnya tidak butuh orang pintar, orang yang sekolah tinggi-tinggi, memiliki kekayaan, kehormatan, pujian dan harta benda.

Dalam hal ini kita butuh orang yang berani seperti Yesus Kristus, yaitu: berani meninggalkan tahta, kerajaan, kekuasaan, kehormatan dan kemuliaan di kerajaan sorga.

Kita butuh orang-orang, awam maupun imam yang berani lahir bersama umat yang dihina–kandang hina, besar dalam kemiskinan, penderitaan, pengangguran, marginalisasi, kekerasan dan kejahatan serta penindasan yang menuju pada bak pemusnahan.

Menjadi katolik Papua yang benar tidak butuh pertanyaan: ko pendatang, ko asli Papua; ko dari mana, sa dari mana?

Hanya butuh sosok-sosok yang memiliki hati dan jiwa raga untuk tanah dan manusia Papua. Siap hidup, berkarya juga rela mati demi perjuangan akan perdamaian sejati Papua.

Rumah Bersama

Papua itu rumah bersama. Tanah air bersama. Tanah leluhur tanpa mengenal batas diskriminasi rasial. Disini rumah sumber segala kehidupan dan keselamatan hidup bagi siapa saja.

Jangan kita merasakan surganya orang asing dan nerakanya pribumi. Namun mari, jadikan rumah kehidupan dan keselamatan kita bersama. Dengan menjadikan Katolik sebagai tali, pagar dan pintu kesejukan, kedamaian dan kebahagiaan sejati dari Allah.

Mari menjadi Katolik Papua, walaupun berdarah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT, NTB dan lainnya, tetapi berhati dan berjiwa besar untuk manusia dan tanah Papua. Bahkan melampaui orang pribumi Papua sendiri.

Katolik Papua yang sebenar-benarnya bagi saya adalah menjadikan suka duka umat adalah suka duka Gereja katolik. Suka duka orang migran Papua adalah suka duka orang pribumi Papua.  Dan sebaliknya, suka duka kaum pribumi Papua adalah suka duka kaum migran di Papua.

Bagi saya demikian, kalau bicara Gereja Katolik Papua yang sebenar-benarnya.*

 

Anggota Suara Kaum Awam Katolik Regio Papua, eks Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang St. Efrem Jayapura, ketua bidang penelitian dan riset Pemuda Katolik Komda Papua, dan Alumnus Universitas Sains dan Teknologi Jayapura.

Leave A Reply

Your email address will not be published.