Mewartakan Injil dengan Wayang Wahyu

Romo Agustinus Handi Setyanto Pr.: Lewat Wayang Wahyu, saya berhasil menjalin relasi dengan banyak orang.

0 370

Katolikana.com—Wayang merupakan salah satu seni yang menjadi warisan budaya di Indonesia sejak dahulu.

Ada beberapa jenis wayang dengan genre beragam, misalnya:

  • Wayang Purwo (mengisahkan Mahabharata atau Ramayana).
  • Wayang Wong (semacam teater yang dimainkan oleh beberapa orang).
  • Wayang Beber (menjelaskan dengan gambar, seperti guru sekolah minggu).
  • Wayang Golek (yang terbuat dari kayu), dan lain sebagainya.

Tahun 1960-an muncul salah satu jenis wayang yang bisa dikatakan jenis baru, yakni Wayang Wahyu.

Wayang Wahyu adalah wayang yang kisahnya bersumber dari kitab suci agama Katolik. Dalam perkembangannya, wayang mulai dimanfaatkan sebagai sarana pewartaan injil nasrani.

Salah satu tokoh yang mengembangkan Wayang Wahyu adalah Romo Agustinus Handi Setyanto Pr. Imam Projo Keuskupan Purwokerto dan bertugas menjadi direktur Seminari TORSA ini melakukan penginjilan dengan sarana wayang kulit.

Handi telah menyukai seni perwayangan sejak kecil. Ia berfikir bahwa Tuhan telah menyediakan berbagai macam sarana yang bisa digunakan untuk pewartaan injil.

“Saya memilih wayang sebagai sarana atau cara untuk menerangkan Kitab Suci dan ajaran iman Katolik. Saya pikir kalau melalui media, yang tadinya susah dimengerti jadi lebih mudah dimengerti,” ujar Romo Handi dalam Live Talkshow Rumah Bibi di Kanal Youtube Katolikana Minggu (18/7/2021).

Manfaat Wayang Wahyu
Tahun 2009, Romo Handi mulai aktif dalam karya pewartaan iman melalui Wayang Wahyu. Baginya, Wayang Wahyu mempunyai manfaat, yaitu:

1. Umat Katolik lebih mudah memahami Kitab Suci.
Dengan kitab suci yang diwayangkan atau diceritakan melalui wayang akan mempermudah, terutama bagi orang-orang Jawa. Ketika mempelajari Kitab Suci dengan wayang, isi Kitab Suci bisa mudah untuk ditangkap secara gamblang.

2. Menambah khasanah kesenian wayang.
Wayang Wahyu bisa mengembangkan kebudayaan Jawa karena Wayang Wahyu adalah bentuk inkulturasi dalam hal pewartaan Kitab Suci.

“Ketika saya mengadakan pewartaan iman melalui pentas Wayang Wahyu di luar keuskupan, saya ingin menggunakan atau mengajak orang-orang lokal supaya umat setempat mengerti tentang Wayang Wahyu dan mengerti proses pentas Wayang Wahyu,” tuturnya.

Romo Handi berharap Wayang Wahyu bisa makin dikenal oleh orang-orang Katolik. Menurutnya, Wayang Wahyu menjadi salah satu kekayaan Gereja Katolik dalam hal inkulturasi terutama dalam katekese.

“Dengan adanya Wayang Wahyu, perkembangan wayang di Nusantara makin bertambah. Dengan hadirnya Wayang Wahyu, maka kita sebagai bangsa Indonesia makin bangga karena bertambahnya jumlah jenis wayang,” tambahnya.

Romo Agustinus Handi Setyanto Pr, dalang Wayang Wahyu. Foto: Istimewa

Sejarah Wayang Wahyu

Romo Handi mengatakan, Wayang Wahyu mulai muncul tahun 1950-an dan baru secara resmi berdiri pada 2 Februari 1960 di Surakarta. Perintisnya seorang biarawan Katolik.

Menurut Romo Handi, biarawan Katolik ini memikirkan bagaimana Gereja harus mendaratkan ajarannya, bagaimana Kitab Suci harus dimengerti oleh masyarakat terutama orang-orang Jawa.

“Maka diciptakanlah Wayang Katolik dengan nama Wayang Wahyu, sebab kisahnya bersumber dari kekatolikan dari Kitab Suci agama Katolik. Agar lebih ramah di masyarakat diusulkan nama Wayang Wahyu yang artinya sabda Allah,” jelasnya.

Pagelaran Wayang Wahyu berdurasi dua hingga 3,5 jam dan masih bisa untuk dipersingkat. Wayang Wahyu bisa menggunakan bahasa sesuai permintaan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, atau bahasa asing.

Menjalin Relasi

Romo Handi menjelaskan, pewayangan bukan sekadar bicara tentang wayang, namun juga soal relasi dengan masyarakat yang bicara tentang adil hukumnya kesenian Nusantara.

“Ketika saya berkarya lewat Wayang Wahyu, saya berhasil menjalin relasi dengan banyak orang, khususnya dengan individu lintas agama dan orang yang sudah mencintai seni dengan sungguh-sungguh,” ungkapnya.

“Di sini ada keindahan, harmoni, kerukunan satu sama lain di antara kami yang sama-sama berjuang melestarikan budaya nusantara, tanpa peduli latar belakang profesi, agama, dan lainnya,” pungkasnya.**

Pribadi yang terus belajar dan berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Mahasiswa asal Pandaan, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.