Kenapa Simbol Toleransi Harus Berbentuk Terowongan Silaturahmi?

“Kalau takdirnya umat di Jagakarsa dan Cikarang masih harus mencari IMB, ya itu mesti diperjuangkan juga,” ujar Terjon.

0 191

Katolikana.com—Masih merasa malu dengan Terjon karena minggu lalu ketahuan absen dari misa mingguan, minggu ini Demit mengumpulkan niat untuk ikut misa online.

Demit memilih mengikuti misa Minggu pagi di Katedral Jakarta. Alasan pertama karena Demit memang suka dengan style gereja-gereja kuno. Ikut misa online di Katedral membuatnya bisa menikmati arsitektur interior Katedral yang memanjakan mata.

Tapi alasan yang paling penting, karena jadwal misa online di sana tidak sepagi di gereja parokinya. Demit sengaja mencari jadwal misa online yang tak mengharuskan bangun terlalu pagi.

Selesai mengikuti misa live streaming di Katedral Jakarta, algoritma YouTube membuat Demit jadi menonton video-video lain berkaitan dengan Katedral.

Ada satu video yang menarik perhatiannya. Video yang menceritakan pembangunan terowongan penghubung Katedral-Istiqlal yang kini menuju rampung. Demit asyik menontonnya, meski dahinya mengernyit.

Tiba-tiba, muncul notifikasi di layar HP Demit. WA dari Terjon. “Posisi di mana, Mit? Jadi nggak badmintonan di asrama?”

Membaca chat itu, Demit terperanjat. Ia lupa Minggu pagi ini dia sudah janjian untuk main badminton di asrama seminari, tempat tinggal Terjon.

Ia lekas berganti pakaian olahraga dan menyambar raket serta kunci motornya. Sebelum menstarter motor, cepat ia mengirim chat balasan ke Terjon, “Tunggu. Ini udah otewe. Bentar lagi sampai, Jon.”

Tiba di asrama seminari, Demit bergegas menuju lapangan badminton. Terjon melambaikan tangannya saat melihat Demit datang. “Woi, lapangan sini Mit.”

“Dari mana aja sih, lama banget? Katamu Minggu ini niat mau ikut misa pagi dulu? Berarti ga mungkin masih ketiduran pas aku chat kan? Atau hari ini skip misa lagi?” tanya Terjon begitu Demit duduk dan menaruh tas raketnya.

“Hehe, misa dong. Ikut di Katedral Jakarta tadi,” jawab Demit cengengesan.

“Tapi habis itu lanjut tidur?” selidik Terjon.

“Tapi habis itu lanjut YouTube-an,” jawab Demit seraya nyengir lebar.

“Halah pantesan. Udah nggak percaya aku kalau kamu nggak jawab lama, terus chat otewe. Pasti tadi emang belum berangkat,” gerutu Terjon.

Demit cuma tertawa mendengar gerutuan Terjon.

“Eh, Jon, ngomong-ngomong kamu tahu proyek terowongan Katedral-Istiqlal kan? Terowongan silaturahmi?”

Demit berusaha mengalihkan topik obrolan untuk meredakan kekesalan Terjon.

“Bentar lagi terowongannya selesai loh. Katanya bulan depan peresmian.”

“Tahu lah,” jawab Terjon sambil menenggak air mineral di botolnya. “Wah, ya baguslah kalau terowongan itu udah mau rampung…”

“Engg, tapi aku kok merasa nganu ya, ama terowongan itu…”

“Nganu gimana?” tanya Terjon sambil meletakkan botol minumnya.

“Ya agak gimana gitu. Jalan raya yang misahin antara Katedral sama Istiqlal kan nggak lebar-lebar amat. Jalannya searah lagi. Dikasih zebra cross aja cukup. Ga perlu-perlu banget lah sampai dibikinin terowongan silaturahmi. Apalagi sampai habis anggaran Rp40 miliar…,” cerocos Demit dengan semangat.

“Hmm, masuk akal sih argumenmu, Mit,” sahut Terjon menyimak unek-unek Demit.

“Terus juga antara Katedral-Istiqlal nggak pernah ada sejarah konflik. Damai-damai aja sejak dulu. Terowongan silaturahmi jadi terasa kayak gimmick, Jon,” sebut Demit.

“Loh aku malah mikir sebaliknya. Kalau selama ini ada konflik laten antara Katedral dan Istiqlal, terus biar terlihat damai-damai aja dibikinin proyek gitu, aku akan bilang itu gimmick. Karena beda jauh antara simbol dan kenyataan.”

“Tapi kalau kenyataannya selama ini damai, bukannya bagus jadi ada simbol toleransinya?” jawab Terjon menyanggah pendapat Demit.

“Tapi tetep aja nggak pas, Jon. 40 miliar loh! Pemerintah gelontorin duit segitu banyaknya cuma buat bikin terowongan. Kalau mau simbol toleransi beneran, mending duit segitu buat bantuin bikin gereja di Jagakarsa atau Cikarang gitu. Kasian umat di sana bertahun-tahun kesusahan bangun gereja…,” balas Demit tidak mau kalah.

“Coba pemerintah ngelihat di Jagakarsa, umatnya cuma punya kapel di komplek panti asuhan. Pas umatnya mau bangun gereja, tiba-tiba banyak warga demo. Pemerintah cuma diam. Akhirnya tanah yang rencana mau buat gereja jadi mangkrak sampai sekarang.”

“Di Cikarang sama aja. Umat udah ngajuin IMB buat bangun gereja sejak 2007, eh sampai sekarang nggak dikasih-kasih izin,” lanjut Demit.

Buat ngebikin Katedral yang sekarang ini romo-romo di zaman segitu juga mesti keliling nyari sumbangan dulu sampai ke Belanda. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Terjon tertawa mendengarkan penjelasan Demit.

“Loh, kok malah ketawa, Jon?” Demit merasa sedikit heran dengan reaksi Terjon.

“Sori, sori. Aku tau kamu lagi serius dan kritikmu emang masuk akal. Cuma tadi katamu duit 40 miliar mending dialokasiin buat bantuin bikin gereja, kan? Itu yang bikin aku geli?” jawab Terjon sambil menghentikan tawanya.

“Loh, apanya yang bikin geli?” kali ini Demit yang mencoba menebak logika Terjon.

“Nah, kamu pikir dua gereja yang udah kamu sebut itu belum kebangun karena kesusahan dana?” tanya Terjon.

“Engg, ya nggak sih. Ya karena keganjel IMB dan masih ada resistensi dari warga sekitarnya aja,” kata Demit.

“Nah, itu kamu ngerti. Makanya aku geli sama alternatif solusimu. Jadi menurutku bantuan dana dari pemerintah nggak akan menyelesaikan masalah mereka. Karena bukan itu masalahnya,” terang Terjon.

Demit mengangguk-angguk paham dengan alur logika yang disampaikan Terjon.

“Lagian kalau soal dana, malah Katedral itu yang dulunya susah kebangun karena kekurangan dana.” lanjut Terjon.

“Lah, dulu kan masih zaman kolonial? Masak ada gereja di zaman itu kesulitan dana?”

“Jangan salah, Mit. Justru di zaman kolonial dulu kenceng-kencengnya persaingan antara gerakan zending sama misionaris. Protestan saingan sama Katolik. Jadi malah harus rebutan dukungan politik dan pendanaan dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.”

“Tanah Katedral itu bisa kebeli setelah Gubernur Jenderal Du Bus ikut campur. Kebetulan dia orang Katolik. Dia tahu tanah yang ditempati Katedral sekarang itu tanah mangkrak punya pemerintah.”

“Jadi dia intervensi supaya pihak Katedral bisa beli tanah itu dengan harga diskon. Pihak Katedral juga dikasih pinjaman lunak supaya bisa bangun gereja. Jadilah bangunan Katedral yang pertama,” papar Terjon.

“Oh, gitu ya. Kupikir dari dulu Katedral bisa kebangun megah gini karena nggak ada masalah soal duit,” sahut Demit setelah menyimak penjelasan Terjon.

“Ya nggak lah, umat Katolik di zaman itu kan sedikit banget. Kalo murni ngandelin duit dari sumbangan umat, kapan jadinya Mit? Ha-ha-ha,” jawab Terjon sambil tergelak.

“Lagian yang kamu bilang megah ini bangunan Katedral yang kedua, Mit. Bangunan Katedral pertama yang kuceritain tadi udah roboh terus dibongkar total.”

“Buat ngebikin Katedral yang sekarang ini romo-romo di zaman segitu juga mesti keliling nyari sumbangan dulu sampai ke Belanda,” kata Terjon.

“Tapi balik lagi, Jon. Tetap aja 40 miliar buat terowongan silaturahmi doang itu mubazir kan?” Demit mencoba mengembalikan obrolannya dengan Terjon ke topik semula.

“Kalau niatnya mau memperkuat toleransi, duit segitu kan bisa banget buat ngebikin program-program toleransi apalah yang lebih konkret di tempat lain dari pada cuma bangun terowongan simbolik di Katedral-Istiqlal.”

“Makanya, aku nggak seratus persen ngebantah argumenmu. Aku cuma mau bilang tiap-tiap gereja pasti punya tantangan sendiri, nggak bisa asal dibanding-bandingin. Kebetulan Katedral dan Istiqlal punya takdir hubungan yang harmonis kayak gini ya wajib terus dijaga,” sahut Terjon kalem.

“Tapi kan mestinya ada skala prioritas dong,” kata Demit yang merasa Terjon mulai mendukung pendapatnya.

“Kalau kamu ngeliat dari sisi kritis, mungkin kamu bener, Mit. Tapi aku milih ngeliat dari sisi lainnya. Istiqlal ini kan lagi direnovasi besar-besaran dan pemerintah kepikiran buat sekalian ngebikin terowongan silaturahmi. Dari Katedral ga ada request apa pun lho. Ini kan bentuk gestur yang bagus dan aku apresiasi gestur ini,” jawab Terjon.

“Nah kalau takdirnya umat di Jagakarsa dan Cikarang masih harus mencari IMB dan berusaha supaya dapat penerimaan warga, ya itu mesti diperjuangkan juga,” ujar Terjon.

“Aku pasti dukung juga perjuangan mereka. Cuma kalau buatku, jangan sampe antargereja malah jadi kejebak adu nasib,” lanjut Terjon lagi.

“Hmm…,” raut muka Demit masih tampak belum puas dengan jawaban Terjon.

“Nah, itu lapangannya udah kosong. Cepetan ambil raketmu, Mit, kita tanding single,” kata Terjon buru-buru sebelum Demit sempat menjawab lagi.

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.