Katolikana.com—Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat plural. Namun, pernikahan beda agama atau kawin campur bukan hal sederhana dan sering jadi soal. Masyarakat umumnya berharap agar salah satu pihak mengalah.
“Orang yang satu agama saja belum tentu berhasil, apalagi yang jelas-jelas beda agama,” kata mereka.
Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang berbelit harus dilalui. Belum lagi dilema-dilema yang harus dihadapi, salah satunya tentang agama yang dianut sang anak hasil buah cinta mereka.
Meski demikian, banyak contoh membuktikan, sejumlah pasangan suami istri (pasutri) beda agama dan beda gereja mampu dan sanggup menjalani bahtera perkawinan dengan dasar cinta dan saling menghargai.
Baca juga:
Berikut kesaksian tiga pasangan suami istri (pasutri), yaitu Kian dan Indri (Katolik-GKI), Yudi dan Fanny (Katolik-Budha), dan Sulis dan Meidy (Islam-Katolik) yang menjalani kawin campur beda gereja dan beda agama.
Kesaksian mereka disampaikan dalam webinar yang diselenggarakan oleh Choice Indonesia yang mengulas tentang perkawinan campur dalam pandangan Gereja Katolik, Minggu (26/9/2021).
Kian dan Indri (Katolik-GKI)
Suami saya, Kian, berasal dari Paroki Salib Suci Tropodo, dan saya Indri, dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pondok Tjandra Indah, sampai sekarang. Kami menerima Sakramen Perkawinan di Gereja Paroki Gembala Yang Baik, diberkati oleh Pendeta dan Romo.
Setiap hari Minggu, kami ke gereja masing-masing. Kami dikaruniai dua putri, dan mereka juga bebas memilih akan ke Gereja mana setiap minggu.
Waktu menikah, kami berjanji di hadapan Pendeta dan Romo untuk membaptis dan mendidik anak-anak secara Kristen.
Mereka juga kami ajari untuk takut akan Tuhan dan wajib ke Sekolah Minggu. Kami memberikan kebebasan penuh bagi mereka untuk memilih agama yang akan mereka anut. Hingga akhirnya anak sulung memilih Katolik dan bungsu memilih GKI.
Soal penghayatan devosi kepada Bunda Maria, saya menghargai itu.
Saya menemani Kian mengunjungi Gua Maria di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lourdes, Vatikan. Pokoknya, semua yang berbau Katolik.
Meski menempuh jalan yang berbeda, kami tetap saling menghormati. Sangat bersyukur masih diberkati Tuhan untuk tetap bersatu.
Yudi dan Fanny (Katolik-Budha)
Saya Yudi, dari Gereja Santa Maria Tak Bercela Surabaya, sudah 27 tahun menikah dengan istri saya, Fanny yang beragama Budha.
Waktu itu saya masih paristipan Katolik, sehingga kami menikah secara Budha. Dua tahun setelahnya saya dibaptis menjadi Katolik.
Relasi kami baik-baik saja. Saya beruntung memiliki istri yang sangat mendukung. Jika saya bertugas di gereja, dia terlibat menjadi petugas menyambut umat. Sebaliknya saat ada upacara doa Budhis, saya ikut berpartisipasi.
Setiap rumah tangga pasti memiliki gesekan, tidak ada yang manis semuanya. Itu tidak seru. Akan tetapi, komitmen yang sudah dibentuk dari awal, membuat hubungan tetap terjaga meski ada konflik.
Berusaha untuk saling mengalah, introspeksi, dan yang paling penting adalah membangun komunikasi dua arah, setara, dan penuh kasih.
Ketika Fanny menjalani vegetarian dua kali selama sebulan untuk menahan emosi, saya juga mengikuti.
Kami memberikan kebebasan kepada putra semata wayang kami untuk menentukan agamanya. Tahun 2008 dia meminta untuk dibaptis menjadi Katolik.
Komunikasi yang paling penting. Sampai kapan? Seumur hidup.
Sulis dan Meidy (Islam-Katolik)
Saya Sulis, seorang muslimah yang menikah dengan Meidy di Gereja Katedral Surabaya. Pernikahan ini berjalan dengan adanya dispensasi, dan tanpa adanya paksaan maupun tekanan.
Sekali pun beda agama, tidak berkurang rasa cinta dan menghargai. Dia selalu mengingatkan saya akan waktu ibadah.
Mengarungi rumah tangga selama 20 tahun, bukan hal mudah. Saling menghormati, menerima kelebihan dan kekurangan, serta mendukung satu dengan yang lain, membuat pernikahan kami tetap rukun.
Kami memiliki dua orang anak. Seorang memilih menjadi Katolik dan seorang lagi menjadi umat Islam. Mereka melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Di rumah, kami menyediakan tempat untuk beribadah.
Untuk suami dan anak yang Katolik, mereka beribadah dalam kamar, karena ada patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus.
Saya dan anak yang Muslim memilih beribadah di luar kamar karena lebih santai. Saya tinggal memasang sajadah dan merapikan kembali setelah ibadah.
Anak sulung terlibat di gereja, menjadi misdinar. Saya tidak pilih kasih. Kedua anak saya dorong untuk mendalami imannya. Ketika perayaan Natal, anak saya yang Muslim ikut memeriahkan, dan itu tidak disuruh.
Suami juga bisa menempatkan diri saat kami sedang berpuasa. Begitu pun saya memahami tentang puasa Katolik (puasa dan pantang).
Relasi yang kami bangun, tidak hanya dalam lingkup rumah tangga, tapi meluas ke lingkungan tempat tinggal hingga masyarakat. Bersama mempersiapkan hari raya, hingga terlibat dalam kegiatan keagamaan.
Ketika ada tahbisan imam, saya ikut berpartisipasi mengurus konsumsi, bersama ibu-ibu gereja, saat saya sedang berpuasa.
Suami juga selalu terlibat dalam kerja bakti maupun syukuran, maupun kegiatan lain yang diadakan di Mushola.**

Perempuan yang gemar membekukan kenangan dalam bentuk tulisan dan gambar. Hobi membaca, dan juga pencinta kucing. Mahasiswa asal NTT, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya