
Katolikana.com—Perkawinan campur dipahami sebagai perkawinan campur beda gereja (baptis Katolik dan non Katolik) dan perkawinan campur beda agama (baptis dan non baptis). Dalam Kitab Hukum Kanonik dibedakan antara perkawinan campur (mixta religio) dan perkawinan beda agama (disparitas cultus).
Hal ini disampaikan oleh Rektor Seminari Tinggi Providentia Dei Romo Antonius Padua Dwi Joko Pr dalam webinar yang mengulas tentang perkawinan campur dalam pandangan gereja Katolik, yang diselenggarakan oleh Choice Indonesia, Minggu (26/9/2021). Narasumber kedua adalah Sekretaris dan Vikaris Yudisial Keuskupan Pontianak Romo Pius Barces CP.
Baca juga:
- Tantangan Perkawinan Katolik dan Non-Katolik: Prosesnya Rumit, dan Kurangnya Pengetahuan
- Kawin Campur Tak Mengurangi Rasa Cinta dan Menghargai
“Kerena jumlah umat sangat sedikit, memungkinkan umat Katolik menikah dengan umat agama lain,” ujar Koordinator Choice Indonesia Romo Padmana Hapsara Jelantik ketika membuka kegiatan webinar.

Perkawinan Campur
Romo Antonius Padua Dwi Joko Pr menegaskan, sebagai pribadi, setiap orang memiliki hak untuk menikah dengan siapa pun.
Hanya saja, sebagai umat beriman, setiap orang memiliki kewajiban moral untuk melindungi diri terhadap segala sesuatu yang membahayakan imannya. Karena kesatuan iman sangat penting dan menentukan kesejahteraan pasangan dan pendidikan anak.
Kesatuan iman terdiri dari kesatuan cara hidup, tatanan nilai moral-spiritual-religius, dan kedekatan cara pandang dan cara menilai.
Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman.
“Namun, sadar akan pluralitas dan kenyataan sosial yang ada, Gereja Katolik memungkinkan adanya kawin campur atau pun perkawinan beda agama,” papar Romo Dwi.
“Perkawinan beda agama merupakan kesempatan istimewa untuk dialog antaragama dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Romo Dwi mengutip kata-kata Paus Fransiskus.

Larangan dan Halangan
Perkawinan beda agama dianggap oleh gereja sebagai halangan yang menggagalkan (impedimentum dirimens). Karena itu, jika tidak ada dispensasi, perkawinan itu tidak sah.
Berbeda dengan kawin campur (perkawinan beda gereja). Gereja melarangnya, sehingga jika tidak ada lisensi atau izin yang diperlukan, perkawinan itu tetap sah.
“Alasan membuat halangan dan larangan adalah, karena kedua perkawinan di atas diyakini sebagai ancaman serius bagi pihak Katolik dalam memperoleh hak dan menjalankan kewajiban untuk menghayati iman Katolik, membaptis dan mendidik anak secara Katolik,” papar Romo Dwi.
Alasan berikutnya, karena iman merupakan landasan, acuan, dan panduan dalam hidup, baik secara individual maupun sosial.
Gereja Katolik dengan sengaja meletakkan penghalang yang sangat potensial di tengah jalan untuk sampai pada kesatuan dua pribadi menjadi satu daging.
Dispensasi dan Izin
Gereja sadar bahwa perkawinan campur akan terjadi, sehingga gereja memberikan dispensasi dan izin.
“Perkawinan campur (beda gereja) adalah larangan. Karena itu, seseorang yang dibaptis Katolik dapat melangsungkan perkawinan dengan seorang yang dibaptis bukan Katolik setelah mendapatkan lisensi atau ijin,” ungkap Romo Dwi.
“Sedangkan perkawinan beda agama, adalah halangan nikah. Karena itu seseorang yang dibaptis Katolik dapat menikah dengan seorang yang tidak dibaptis setelah memperoleh dispensasi dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan,” lanjut Romo Dwi.
Syarat mendapatkan dispensasi dan izin:
- Pihak Katolik menyatakan kesediaannya menjauhkan bahaya meninggalkan iman.
- Dia berjanji secara jujur akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam gereja Katolik.
- Pihak non Katolik diberitahu mengenai janji-janji pihak Katolik, sehingga tahu dan sadar akan janji dan kewajiban pasangan yang Katolik.
- Pihak Katolik dan non-Katolik hendaknya belajar mengenai tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh mereka kecualikan.
Janji dan Komitmen
Kesetiaan pada iman Gereja Katolik merupakan tanggung jawab yang harus diupayakan oleh pihak Katolik. Janji untuk tetap setia dalam iman.
“Yang penting dalam janji ini adalah usaha, bukan hasilnya. Jika sudah berusaha dan tidak berhasil, serahkan kepada Tuhan,” kata Romo Dwi.
Selain itu pihak Katolik juga dituntut untuk mengupayakan pembaptisan dan pendidikan anak secara Katolik, dan kewajiban ini tidak bertentangan dengan prinsip kebebasan religius.
Sedangkan pihak bukan Katolik tidak ikut berjanji, dan tidak dituntut.
Larangan Peneguhan Ganda
Romo Dwi juga menegaskan adanya larangan peneguhan ganda. Peneguhan ganda merupakan peneguhan dari pihak lain setelah atau sebelum melakukan peneguhan secara Katolik.
“Inti perkawinan katolik yang sah adalah janji. Orang yang menikah harus diucapkan di hadapan imam Katolik. Jadi jika sudah ada janji tidak perlu mengulang janji lagi,” sambung Romo Pius.
Kenyataannya, pihak non-Katolik kadang merasa keberatan jika belum menikah menurut agamanya, merasa tidak sah dan hubungan antarkeduanya dianggap sebagai zinah. Atau fakta ini bisa menjadi alasan untuk berpisah.
Oleh karena itu, gereja Katolik tidak kaku tentunya, membuka kemungkinan dispensasi bila pelaksanaan peraturan ini mengalami kesulitan.
“Dimungkinkan adanya pengesahan, tapi tanpa pengucapan janji baru,” tegas Romo Pius.
Dalam perkawinan beda gereja, Romo Dwi menggarisbawahi bahwa perkawinan yang melibatkan dua orang yang dibaptis baik secara Katolik maupun non-Katolik adalah sakramen. Tata upacaranya bisa dalam Misa, bisa tanpa perayaan Ekaristi.
“Seringkali umat salah menafsirkan, seakan sakramen itu dalam misa. Itu tidak benar, itu adalah upacara liturgi. Jadi jika menikah tanpa perayaan Ekaristi, perkawinan mereka adalah sakramen, karena keduanya sama-sama dibaptis,” lanjutnya.
Seorang katolik memiliki kewajiban menikah di gereja Katolik dan di hadapan pejabat Gereja Katolik. Akan tetapi jika harus di gereja lain, yang paling penting adalah menghadirkan pastor.
“Bisa disahkan secara ekumene, ada pastor dan pendeta. Jadi segala kemungkinan itu ada, karena satu dasarnya adalah menghargai hak asasi manusia,” tambah Romo Pius.
Apabila perkawinannya hanya dilakukan di hadapan pendeta, tanpa intervensi dari gereja, perkawinannya tidak sah.
Sedangkan untuk perkawinan beda agama, pihak Katolik yang bersangkutan harus meminta dispensasi kepada Uskup.
Dalam gereja Katolik, semua perkawinan tidak terceraikan. Boleh dihapus dan dianulasi apabila perkawinan non baptis, dengan alasan yang berat, misalnya karena dipaksa atau diancam, akan tetapi melewati proses yang tidak cepat.**

Perempuan yang gemar membekukan kenangan dalam bentuk tulisan dan gambar. Hobi membaca, dan juga pencinta kucing. Mahasiswa asal NTT, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya