Katolikana.com – Ratusan orang muda beragam agama di Jawa Timur bertemu merayakan perbedaan dan memperkuat toleransi. Mereka berbaur dan berdialog agar tak terjatuh dalam intoleransi beragama, suku dan budaya.
Batu, Malang, Jawa Timur, di awal November 2020, sekitar 180 kaum muda lintas agama dipertemukan oleh komunitas komunitas Indonesia Merayakan Perbedaan (IMP) dan Forum Kerukunan Pemuda Lintas Agama (FORKUGAMA).
Ratusan orang muda itu berasal dari berbagai organisasi yang beragam. Ada dari Paguyuban Naluri Budaya Leluhur Malang, Pemuda GKJW, Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI), Generasi Muda Maitreya, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Mojokerto.
Utusan lain dari para pemuda-pemudi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), perwakilan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), Gusdurian, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik (PK).
Semangat Dialog
Ratusan orang muda itu bertemu dengan protokol kesehatan yang ketat. Mereka tak hanya dibekali dengan pengayaan cara pandang dan perspektif mengenai situasi dan tantangan yang dihadapinya. Mereka juga merasakan perjumpaan dengan yang berbeda latar belakang, bukan hanya suku, budaya, tetapi juga agama.
Setiap acara di ruangan, mereka dihadirkan dalam suasana yang akrab dan dinamis. Tujuannya, mereka bisa saling menyapa dan berdialog. Ruang diskusi didesain dengan duduk melingkar atau memakai meja berbentuk bundar, agar pertemuan atau perjumpaan itu terasa dekat.
Saat beraktivitas dalam permainan kelompok di lapangan, para peserta betul-betul berbaur. Grup-grup dalam permainan dan aktivitas lainnya dibagi secara acak. Setiap personel pun diberi kesempatan untuk memandu atau memimpin kegiatan.
Dalam situasi keberagaman itu, kerja sama dan kreatifitas begitu nyata. Ia tak melihat darimana dan siapa, dari suka dan agama apa. Masing-masing peserta tampak peduli dan terbuka.
Merawat Keberagaman
Temu akhbar orang muda lintas agama ini didukung dan diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jawa Timur. Ini bagian dari upaya nyata Kesbangpol Jatim untuk memperkuat kebangsaaan, kebinekaan, dan kebersamaan serta meningkatkan sikap toleransi generasi muda di masa pandemi.
Nadjib Hamid dari Bakesbangpol Jawa Timur, saat bertemu dengan ratusan orang muda itu, menyadari begitu berartinya hubungan orang-orang muda lintas agama ini dengan situasi dan kehidupan toleransi. Baginya, keberagaman itu sebuah anugerah yang patut disyukuri. Kesadaran terhadap keberagaman akan melahirkan generasi muda yang toleran terhadap sesamanya yang berbeda.
“Bhinneka Tunggal Ika adalah warisan yang perlu dijaga dan dilestarikan. Kita harus memaknai multikulturalisme dalam bingkai Pancasila yang telah mampu menunjukkan fungsinya sebagai pemersatu bangsa yang majemuk, heterogen dan multikultural,” kata Nadjib Hamid, saat hadir di acara itu.
Menurut Nadjib, kebinekaan adalah hal yang niscaya, pelu dijaga. Kehidupan yang harmoni menjadi syarat mutlak bagi kemajuan bangsa, menjadi tugas bersama. Keberagaman harus dikelola untuk menjadi sumber daya yg produktif yang saling melengkapi. Persoalan bangsa terutama dimasa Pandemi harus diselesaikan dengan bersinergi.
Keangkuhan, ketidakpedulian, dan keserakahan adalah bagian dari faktor pemicu ketidakharmonisan. Informasi yang simpang siur di media sosial, juga ikut berperan membuat ketidaknyamanan semua umat beragama. Untuk itu, generasi muda wajib menjadi pribadi yang bersikap kritis, menjaga diri dan bertanggung jawab merawat kerukunan beragama; terutama di masa pandemi.
Melawan Gerakan Intoleransi
Bekal pengetahuan dan perspektif yang baik datang dari fasilitator lokal, Abdul Kodir, seorang dosen Sosiologi Universitas Negeri Malang. Ia bercerita, bagaimana orang muda saat ini begitu rentan terpengaruh oleh gerakan-gerakan intoleransi dan tindakan ekstrim.
Ia menyebut, dari data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kelompok-kelompok usia pendukung gerakan antitoleransi lebih banyak pada orang muda di usia 21 hingga 30 tahun, juga juga di usian 31-40 tahun. Sementara The Wahid Foundation, mencatat bahwa kaum muda pendukung aksi kekerasan dan terorisme mencapai 70 persen lebih.
Salah satu penyebab menguatnya intoleransi di kalangan muda adalah disebabkan oleh krisis identitas diri. Kodir, dengan jelas dan gamblang, menguraikan dalam fase transisi menjadi dewasa, orang muda mencari figur yang tepat dalam pembentukan jati diri.
Keluarga, komunitas, sekolah, merupakan lingkungan yang dekat bagi tumbuhnya kemampuan mengolah emosi. Tema-teman pergaulan, turut berpengaruh dalam pembentukan karakter ini.
Hal itu, kata Kodir, akan berpengaruhi ketika orang-orang muda berada di media sosial saat ini, yang seringkali informasinya didominasi oleh kelompok intoleran. Orang-orang belia yang mengalami krisis identitas akan mudah menerima paham intoleransi ini. Pengakuan identitas menjadi krusial.
Nah, di antara fenomena itu, butuh praktik-praktik toleransi yang dapat menenggelamkan kekuatan intoleransi, atau paling tidak menjauhkan nilai-nilai antitoleransi di kalangan orang muda, yaitu dengan memperkuat solidaritas lintas iman, baik di tingkat riel maupun di ruang media sosial.
Saat pandemi ini, menjadi momentum bagi orang-orang muda untuk menghidupkan lebih semangat dalam solidaritas di media sosial, baik antar individu maupun organisasi.
Ia terus aktif melawan hoaks, provokasi, dan banyak terlibat dalam kontra narasi intoleransi, dengan berkampanye di media, menulis, membuat konten-konten kreatif tentant toleransi. Ini bagian praktik menyebarkan prasangka baik dan implementasi dari dialog, yang saat ini dilakukan.
*) Artikel ini adalah hasil kerja sama Katolikana dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI
Kontributor katolikana.com di Surabaya. Ia suka menulis seputar kerasulan umum, pengkaderan dan pemberdayaan perempuan. Ia juga aktif sebagai relawan paliatif Kristus Raja dan Peduli Kasih.