‘Strict Parents’ Merusak Kesehatan Mental Anak? Ini Kata Psikolog!

Jessica Surya: Setiap pola asuh orang tua akan berdampak bagi kesehatan mental anak, salah satunya 'strict parents'.

0 2,575

Katolikana.com—Dalam dunia psikologi, strict parents lebih dikenal dengan pola asuh otoriter. Pola asuh otoriter merupakan pola pengasuhan yang membatasi dan menuntut seorang anak untuk mengikuti setiap perintah orang tuanya.

Orang tua yang otoriter akan menetapkan batas-batas yang tegas atau keras, dan tidak memberikan peluang atau kesempatan yang besar bagi anak-anak untuk mengungkapkan pendapat, perasaan dan pemikiran mereka.

Orang tua otoriter juga cenderung memiliki sikap sewenang-wenang, tidak demokratis dalam membuat keputusan, memaksakan peran-peran atau pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasaan sendiri, serta kurang menghargai pemikiran, pendapat, dan perasaan anak.

Setiap model pola asuh dari orang tua pasti akan memberikan dampak pada kesehatan mental anak, baik dampak secara positif maupun negatif.

Karena itu, pola asuh strict parents memiliki dampak cukup besar pada kesehatan mental seorang anak.

Jessica Surya, M.Psi., Psikolog

Menurut Jessica Surya, M.Psi., Psikolog, Senior Talent Management Analyst lulusan Magister Psikologi Klinis Dewasa Universitas Tarumanagara, penyebab orang tua menjadi strict parents cukup beragam.

“Banyak penyebabnya. Dari pola asuh dari orang tua terdahulu, inteligensi, keyakinan orang tua akan suatu hal, ketakutan orang tua akan dunia luar yang keras, maupun pengetahuan orang tua yang kurang luas,” ujar Jessica Surya.

Menurut Jessica Surya, pola asuh strict parents dapat menimbulkan dampak pada kesehatan mental seorang anak, baik positif maupun negatif .

“Dampak positifnya, anak akan menjadi lebih patuh terhadap perintah atau aturan, lebih disiplin dalam hidup, serta dapat mencapai tujuan dan keinginan dari orang tuanya,” ujar Jessica.

“Dampak negatifnya, anak akan memiliki kecerdasan emosi rendah, mudah depresi, memiliki sifat agresif, mengalami bullying dari lingkungan sekitar, memiliki jiwa pemberontak, tidak percaya diri, tidak dapat berekspresi, sulit berbaur dengan lingkungan baru, dan mengalami ketakutan berlebihan ketika ingin melakukan hal baru,” tambah Jessica.

Menurut Jessica, seorang anak baru bisa menyadari jika dirinya memiliki gangguan mental oleh pola asuh orang tua ketika anak beranjak dewasa, artinya di atas umur 17 tahun.

“Pada masa ini kemampuan anak dalam berpikir sudah sekompleks orang dewasa, sehingga anak lebih bisa untuk memahami apa yang terjadi dalam dirinya dan anak sudah mengetahui bagaimana cara mengatasinya,” papar Jessica.

Mencari Pertolongan

Menurut Jessica, jika anak sudah dewasa dan merasa kesehatan mentalnya tergangu seperti merasa depresi, stress, tidak fokus, gelisah, sebaiknya anak tersebut segera mencari pertolongan.

Terdapat dua cangkupan untuk mendapatkan pertolongan. Pertama, derajat gangguan rendah, di mana seorang anak bisa mencari pertolongan dari lingkungan terdekat mereka.

“Seseorang yang menjadi sumber pertolongan harus memiliki kedewasaan matang dan wawasan maupun pengetahuan luas agar dapat memberikan solusi terbaik bagi anak yang mengalami gangguan mental,” ujar Jessica.

Kedua, derajat gangguan tinggi, di mana seorang anak bisa mencari pertolongan dengan cara pergi ke psikolog untuk membantu mengatasi kesehatan mental mereka.

“Psikolog akan menentukan apakah mereka cukup pada ranah psikolog atau perlu ke psikater (dokter),” tambah Jessica.

Batasan Strict Parenting

Menurut Jessica, pola asuh disiplin harus tetap diberikan kepada setiap anak, namun harus tetap dikomunikasikan dengan cara yang hangat sehingga anak dapat menerima dan menjalankan aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua.

Aturan yang dibuat harus rasional. Dengan kata lain, tidak menuntut anak secara berlebihan. Artinya, harus sesuai dengan kemampuan dan kepribadian anak.

Misalnya, anak diberikan sebuah pilihan serta konsekuensi yang akan dihadapi oleh mereka, serta anak diajak untuk turut berdiskusi untuk menentukan tujuan dan membuat rencana-rencana dalam keluarga.

“Pola asuh inilah yang disebut dengan pola asuh yang demokratis,” kata Jessica.

Kemungkinan Pengulangan

Menurut Jessica, seorang anak yang mengalami pola asuh strict parents dari orang tuanya ternyata memiliki kemungkinan besar untuk melakukan pola asuh yang sama ketika kelak menjadi orang tua.

“Sangat mungkin. Sekitar 80 persen anak akan meniru pola asuh yang sudah pernah dialaminya. Apalagi jika anak tersebut tidak memiliki pengetahuan cukup dan tidak memiliki keinginan untuk berubah yang kuat,” ujar Jessica.

Kontributor: Grace Kezia, Viona Suryono, Cornelius Krisna, Zefanya Pilartiarso, Samuel Ivan (Universitas Atma Jaya Yogyakarta).

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.