Kadek, Bocah Penjual Tisu, Rela Kehilangan Masa Kecilnya untuk Bertahan Hidup Selama Pandemi

Fenomena pekerja anak di bawah umur makin marak terjadi di masa pandemi, khususnya di Bali.

0 444

Katolikana.com—Kadek (10 tahun) harus rela menghabiskan masa kecilnya untuk menjual tisu demi mencukupi dan menunjang perekonomian keluarga.

Anak-anak usia 10 tahun seharusnya menikmati hak untuk bermain dan mendapatkan pendidikan demi masa depan.

Berbeda dengan Kadek, ia harus berkeliling menjual tisu kepada pengunjung di Pantai Mertasari Sanur, Denpasar Timur, Bali.

Kadek bukanlah satu-satunya anak yang harus bekerja di bawah umur untuk menunjang perekonomian keluarga.

Kadek, bocah penjual tisu di Pantai Mertasari, Sanur, Denpasar, Bali. Foto: I Ketut Agus Arta Diva

Fenomena pekerja anak di bawah umur makin marak terjadi ditengah pandemi, khususnya daerah Bali. Penyebabnya pendapatan masyarakat turun karena sektor pariwisata sedang tidak stabil.

Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati atau Cok Ace mengatakan, jumlah anak-anak yang menjadi pedagang asongan di Denpasar mencapai jumlah 1.000 orang.

“Saya kira ini menjadi persoalan yang harus kami tangani. Kami tidak bisa membayangkan akan menjadi apa mereka nanti. Pengamatan saya di Sanur, usianya masih di bawah 5 tahun, ditelantarkan oleh ibunya di bawah pohon menjual tisu, saya berusaha mendekati tapi menghindar,” ujar Cok Ace yang dilansir dari laman Tribun Bali, Kamis (28/10/2021).

Kadek menjadi satu dari 1.000 anak-anak lain yang harus dipekerjakan oleh orangtuanya untuk menunjang perekonomian keluarga.

“Saya kerja jualan sama ibu saya. Itu ibu saya di sana. Biasanya saya berpencar untuk cari penjual supaya cepat habis tisunya,” jelas Kadek ketika ditemui Katolikan di media Desember 2021.

Keterbatasan ekonomi membuat Kadek harus membantu ibunya untuk menjual tisu. Kadek dan ibunya tidak hanya berjualan di Pantai Mertasari Sanur. Kadek juga berjualan di lampu merah atau jalan-jalan raya di Sanur, Denpasar Timur, Bali.

Tiap bungkus tisu 50 sheets dijual dengan harga Rp8.000. Biasanya dalam satu hari Kadek dan ibunya memperoleh pendapatan Rp40.000 hingga Rp50.000. Kadek mengatakan uang yang ia dapatkan dari hasil penjualan tisu ia serahkan kepada ibunya.

“Uangnya diberikan ke ibu. Nanti ibu membeli bahan makan buat dimasak. Biasanya uang segitu cukup untuk makan saja,” jelas Kadek saat ditanya mengenai pendapatan dari menjual tisu.

Karena harus menanggung beban ekonomi keluarga, Kadek belum pernah merasakan bangku pendidikan,  padahal usianya kini sudah menginjak 10 tahun. Menurutnya, mencari uang adalah prioritas dirinya kini agar dapat bertahan hidup.

“Saya enggak pernah sekolah. Saya ingin sekolah tapi belum ada biaya buat membeli seragam atau buku, Jadinya, membantu ibu jualan supaya ibu tidak sendiri,” ucap Kadek.

Selama satu tahun ini Kadek berjualan tisu karena perekonomian makin sulit. Saat pandemi, Ibu Kadek terpaksa mengajak Kadek untuk ikut berjualan tisu.

“Lupa jualannya sejak kapan, tapi sudah satu tahun. Awalnya diajak ibu buat tawarin tisu ke orang-orang yang main di pantai,” ujar Kadek.

Kadek saat menjajakan tisu di Pantai Mertasari, Sanur, Denpasar, Bali. Foto: I Ketut Agus Arta Diva

Pekerja anak di bawah umur tergolong ilegal. Payung hukum UU No No. 13/2003 pasal 68 hanya membolehkan seseorang bekerja minimal usia 18 tahun.

Fenomena pekerja anak di bawah umur ini seharusnya dilaporkan kepada pihak berwajib untuk diberikan pemberdayaan agar anak-anak tetap mendapatkan haknya secara utuh.

“Kewajiban kami yaitu to voice for the voiceless. Anak-anak adalah bagian dari voiceless ini. Duta Anak Kota Denpasar hadir sebagai jembatan dari pemerintah untuk anak ke anak. Isu ini perlu dilaporkan tidak bisa ditangani sendiri. Isu ini sering terjadi tetapi meningkat di masa pandemi,” jelas Duta Anak Kota Denpasar bagian komisi perlindungan khusus Ida Ayu Agung Mahacandri Krisna atau akrab disapa Dayu Maha.

Dayu Maha-Duta Anak Kota Denpasar

Duta Anak Kota Denpasar menanggapi dengan serius fenomena meningkatnya pekerja anak di bawah umur, khususnya yang sedang marak terjadi di kota Denpasar selama pandemi.

Hal ini diimplementasikan ke dalam salah satu program kerja yang dikhususkan untuk anak-anak yang bekerja di bawah umur.

Salah satu program kerja Duta Anak Kota Denpasar untuk menangani fenomena anak yang bekerja dibawah umur adalah Bersama Anak Beraspirasi  dalam Kreasi (BERAKSI).

Kegiatan ini mengajak anak-anak bermain sambil belajar dan mengeluarkan pendapat atau aspirasi mereka. Program kerja ini juga dilakukan untuk membantu memenuhi hak-hak anak.

“Saat program kerja BERAKSI, anak-anak yang bekerja di bawah umur bercerita bagaimana terhambatnya pendidikan mereka, dalam memenuhi kebutuhan seperti buku dan alat tulis,” jelas Dayu Maha.

Selain itu, kontribusi Duta Anak Kota Denpasar untuk menekan angka kenaikan yang cukup siginifikan dari pekerja anak di bawah umur adalah dengan melaksanaka ‘Suara Anak’ tiap tahun.

“Kami setiap tahun melaksanakan ‘Suara Anak’ yang membahas isu-isu yang cukup umum pada tahun terkait atau isu yang sedang meningkat. Kemarin kami membahas mengenai pengusaha yang dilarang mempekerjakan anak-anak di bawah usia 18 tahun karena dapat berdampak pada kesehatan fisik, mental, dan sosial anak,” papar Dayu Maha.

Menurut Dayu Maha jika ingin membantu anak-anak penjual tisu di jalanan, langkah terbaik tidak hanya dengan membeli apa yang mereka jual, tetapi kita dapat melaporkan kepada pihak berwajib agar anak-anak tersebut mendapatkan pemberdayaan dan juga hak-haknya untuk belajar dan bermain.

“Lebih baik dilaporkan bisa melalui  kantor kepolisian atau Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak agar anak-anak tersebut mendapatkan hak sepenuhnya untuk menikmati  masa kecilnya yaitu bermain dan belajar.”**

Kontributor: I Ketut Agus Arta Diva Anggara, tinggal di Denpasar, Bali

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.