‘Campanilismo’ atau ‘Oncor-oncoran’ dalam Mengagama

Tidak keterlaluan ‘kan bahwa satu wilayah Keuskupan menyediakan sampai 45 tempat ziarah Maria?

0 336

Katolikana.com—Di San Gimignano, Toscana, Italia, sejak Abad Pertengahan dibangunlah banyak menara, yang di dalam bahasa Italia disebut Campana.

Saking banyaknya, orang yang melihat dari kejauhan, segera terkesan bahwa di San Gimignano ada perlombaan membangun menara atau campana.

Uniknya bangunan yang menjulang tinggi itu bukan hanya berfungsi sebagai menara pertahanan, tetapi juga berfungsi untuk menggantungkan lonceng penanda kapan penduduk San Gimignano mesti berdoa, yaitu karena kristen-katolik mesti berdoa Angelus atau Malaikat Tuhan.

Dari sinilah muncul istilah Campanilismo, yang artinya berlomba-lomba siapa yang membangun menara paling megah, paling tinggi, paling wah di San Gimignano.

Pemandangan di San Gimignano, Italia. Foto: guidaturistica-michelebusillo.com

Positifnya bahwa patriotisme orang Italia diakselerasi melalui budaya campanilismo, yang bukan hanya di dalam membangun menara, tetapi juga budaya lain seperti literature, pengembangan ilmu pengetahuan, olah raga, dan sebagainya.

Maka di negara kecil Italia, yang berupaya semenanjung itu, ego-comunal pun mengkristal sampai saat ini: “Saya ini Napoletano, atau Romano, atau Milanese, atau Florentino, Ciciliano, etc.”

Lonceng di Gereja San Marco, Venice, Italia. Foto: pxhere.com

Mirip orang kita yang bangga sebagai Wong Solo, Jogya, Klaten, Betawi, Semarang, Bandung, Plembang, Padang, Batak, Karo, dan sebagainya.

Tanpa dikehendaki secara sadar dan konstitusional, seakan negara Italia dan juga Indonesia, suka menonjolkan kekhasan daerahnya dengan semangat campanilismo.

Orang Jawa yang rada kental bin jadul kenal dengan istilah Oncor-oncoran, yaitu berlomba hebat-hebatan di dalam menyalakan obor atau oncor sambil disertai kebesaran hati atau kesombongan. “Punya aku/kami jauh lebih hebat daripada kamu punya.” “Kreativitas kami siapa yang bisa mengungguli,“ dst.

Oncor-oncoran semacam ini di dalam mengagama, tidak hanya Islam dengan loudspeaker atau Toa, yang menandai maraknya masjid dan musola, serta langgar,  tetapi juga  kristen  multi denominasi,  termasuk  yang  katolik,  marak dengan campanilismo atawa oncor-oncoran di dalam membangun tempat ibadat, gereja dan kathedral, dan pusat-pusat kegiatan, yang disebut gedung KWI, Catholic Centre, Gedang Serba Guna, dan sebagainya.

Jumlah umat paroki yang hanya tinggal 1.700 jiwa pun (merosot tajam karena proses urbanisasi) saja berani membangun sebuah cathedral yang biayanya ber-em-eman.

Belum lagi, kapel-kapel di stasi-stasi yang dulunya dibangun secara semi permanen, sekarang  ini mesti dipugar atawa direhap dengan niat harus ditandai dengan menara (meskipun tanpa lonceng, karena hanya dipakai saat ada Misa Kudus).

Tidak sedikit proyek-proyek bangunan bertumbuh-berkembang dengan semangat Orde Baru yang kental dengan semangat developmentalisme.

Sederet pastor yang silih berganti ditugaskan di suatu paroki, seakan mesti meninggalkan kenangan berupa bangunan fisik.

Untuk yang satu ini, seorang aktivis katolik pernah diwelehke (ditegor ulang), “Dulu, kami dari Budha Tsuchi, belajar diakonia yaitu membantu orang-orang miskin, dari Gereja Katolik-mu, lho. Tapi sekarang kok kelihatannya kalian tidak seperti dulu?”

Si aktivis Katolik ini memang mesti diyakinkan bahwa umat sudah lebih banyak mandiri alias berkecukupan. Para misionaris bule melakukan diakonia dengan cara membantu mengentaskan anggota masyarakat miskin.

Sekarang para imam yang pribumi banyak meningkatkan bangunan fisik, yaitu membangun gereja, dlsb. Dan kami membangun juga berdasarkan iman lho.

Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu,” (Mateus 17:20).

Selain semakin ke sini, semakin tiada bantuan asing yang datang bersama misionaris untuk membangun yang sifatnya fisik.

Hebat, bukan, paroki kami miskin, tetapi ada orang muda seperti Albertus Gregory Tan yang dipakai oleh Allah untuk mendatangkan mukjizat. Waaoo, nian!  Syukur kepada Allah.

Selain juga, seniman or designer bin arsitek yang getol menjelmakan impian kudus pun bersama pemborong siap untuk merealisasikan patung-patung raksasa ala di Gua Kerep, di Bukit Buntu Burake, Tanah Toraja dengan Patung Yesus yang meng-campanilismo mengalahkan patung Christ the Redeemer yang lebih dulu ada di Rio de Janeiro, Brazilia. Waaooo, lagi-lagi, waaoooo.

Patung Yesus Kristus Buntu Burake di Toraja setinggi 40 meter. Foto: varaholidaytour.com

MASIH lagi melalui program tahunan yang disponsori Departemen Agama, ada MTQ dan ada pula, untuk melombakan ulah doa dan pendalaman iman melalui lantunan suara atau lagi diselenggarakan pasangan nasional yang mendunia dengan nama PESPARAWI.

Ah, mirip motor Italia, yang bernama VESPA, yang artinya lebah. Jangan-jangan semakin ngetrend dan menjadi pesparawisme yang tidak murah.

Masih sealur dengan semangat mengagama, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, baru saja merilis aturan penggunaan pengeras suara di masjid dan musola serta langgar, dan implementasi dan reaksinya sedang kita nikmati di berbagai medsos.

Namun kembali ke soal mengagama—bagaimana agama dihidupi—soal campanilismo atawa oncor-oncoran di dalam bangunan dan lomba-lombaan patutlah kita sinodalkan, (yaitu melalui kebersamaan, partisipasi dan misi), kita pertanyakan akan arus kuat yang seakan tak terbendung di dalam membangun gua-gua Maria, gedung-gedung kapel atawa gereja, catholic centre, taman-taman doa, patung-patung, sumba suara, dan sebagainya.

Tidak keterlaluan ‘kan bahwa satu wilayah Keuskupan menyediakan sampai 45 tempat ziarah Maria? Lazim dan semakin dilazimkankah bahwa ziarah religius dipaketkan dengan judul “Ziarah ke sembilan Gua Maria. Berangkat hari Jumat  dan pulang hari Minggu?”

Ah, yang macam ini selain domplengan komersialisasi ziarah religi, juga mau mengajak Bunda Maria untuk main cilukba dari gua yang pertama sampai gua yang ke-9. Jangan lagi mengejar kenangan berselfie ria dan kepuasan wisata kuliner yang komplementer, tetapi menjadi sasaran utama.

Semoga Allah memaklumi Umatnya, dan diingatkan bahwa “Orang beribadat bukan di Yerusalem atau di Gunung Gerizim, tetapi di dalam roh dan kebenaran.”**

Pater Hadrianus Wardjito SCJ, Jakarta Timur, 25 Februari 2022

Berkarya pada Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus, SCJ, Provinsi Indonesia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.