
Bahtera Santa Maria Kini telah Berlayar di Mengkait
Gereja berupa bahtera dengan arsitektur modern. Bentuk pelayaran iman Oang Laot di Pulau Mengkait.
Katolikana.com, Kepulauan Anambas — Bangunan laksana bahtera akan segera terlihat dari arah laut, berdiri kokoh di ketinggian pulau. Di tengah-tengah kerumunan padat rumah-rumah penduduk di dekat pesisir, bangunan ini terlihat menjulang karena posisinya yang terpancang di atas gundukan bukit. Titik tertinggi di pulau tersebut.
Kian mendekat, salib di kemuncak bangunan kian terlihat jelas. Penanda bahwa bangunan ini adalah sebuah gereja. Cukup unik karena gereja itu berbentuk laksana bahtera dengan arsitektur modern. Makin unik lagi, karena gereja ini tidak eksis di belantara kota besar atau perumahan mewah. Melainkan di tengah-tengah masyarakat nelayan di pulau terpencil.

Seperti itulah gambaran Gereja Santa Maria Karunia Bakti di Pulau Mengkait. Sebuah gereja baru yang terletak di pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau.
Secara wilayah gerejawi, gereja ini adalah gereja stasi di bawah naungan Paroki Stella Maris—Tarempa, Keuskupan Pangkalpinang. Namun stasi ini sendiri sudah terlahir sejak tahun 1970.
Butuh waktu untuk menjangkau gereja ini. Perjalanan dari gereja paroki di Tarempa menuju Mengkait memerlukan waktu 1 jam jika menggunakan speedboat. Akan tetapi, jika menumpang pompong atau perahu motor tradisional, perjalanan ini akan menghabiskan waktu sekitar 3-4 jam. Dengan catatan, itu adalah waktu tempuh apabila sedang tidak ada gelombang kencang.
Pengganti “Gereja Stadion”
Terwujudnya Gereja Santa Maria Karunia Bakti Mengkait tak lepas dari peran Jala Kasih dan Studio Lawang. Jala Kasih adalah platform crowdfunding yang fokus membantu pembangunan gereja-gereja di daerah terpencil. Sedangkan Studio Lawang merupakan studio arsitektur yang berbasis di Jakarta.
Bagi Oang Laot—suku asli Pulau Mengkait, gereja berkapasitas 250 orang ini adalah berkat istimewa setelah mereka lama menantikan gereja pengganti bagi “gereja stadion”. “Gereja stadion” adalah sebuah istilah yang mereka sematkan untuk merujuk gereja lama yang kapasitasnya kecil dan tempat duduknya berundak, layaknya tribun stadion.
Secara ideal, “gereja stadion” hanya cukup menampung 50 orang. Padahal menurut data paroki, saat ini jumlah umat di Mengkait sudah mencapai 500 jiwa. Jelas sekali kalau gereja lama sangat tidak memadai untuk menampung kebutuhan umat.
Sehingga “gereja stadion” biasanya dipaksakan untuk menampung hingga 100 orang. “Umat jadi hanya bisa menonton misa saja. Mereka tidak bisa mengikuti perayaan misa secara liturgis, karena untuk duduk saja mereka berhimpitan,” kenang Romo Paroki Tarempa, RD. Sesarius Gelede Liwun.

Romo Sesar lantas menyampaikan situasi ini kepada Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM. Berangkat dari aspirasi ini, Mgr. Sunarko mencoba menghubungi Jala Kasih untuk meminta bantuan pendanaan. Begitu Jala Kasih menyatakan kesanggupan, umat pun dengan semangat berusaha melengkapi segala persyaratan yang dibutuhkan.
Kendala muncul saat Jala Kasih meminta untuk melampirkan gambar desain gereja baru yang akan dibangun. “Kami tidak ada yang mengerti untuk hal-hal seperti itu (desain arsitektur). Maka Jala Kasih sendiri yang akhirnya meminta bantuan Studio Lawang untuk mendesain gereja ini,” jelas Romo Sesar.

Ancaman Angin Kencang dan Keterbatasan Listrik
Studio Lawang lantas menjalin komunikasi dengan Romo Sesar untuk menggali latar belakang umat, lansekap wilayah, kondisi geografis, hingga budaya setempat, sebelum menggambar desain gereja. Berbekal dari komunikasi tersebut, terciptalah desain Gereja Santa Maria Karunia Bakti yang baru.

Berdasarkan studi yang dilakukan Studio Lawang, lokasi tapak gereja yang berada di titik tertinggi pulau seluas 400 m2 dan berhadapan langsung dengan laut membuat gereja rentan diterpa angin kencang.
Sehingga Studio Lawang berusaha merancang desain bangunan yang melandai ke arah laut dan semakin menjulang ke arah bukit, menyesuaikan dengan arah angin.
“Bentuk landai menghadap ke laut itu yang terbaik, dengan kemiringan 30 derajat untuk atapnya,” terang Marvin Dalimartha, salah satu tim arsitek Studio Lawang yang ikut mendesain gereja ini.
Gereja ini juga terlihat adaptif dengan keterbatasan listrik di Mengkait sehingga memaksimalkan pencahayaan alami. Bukaan lebar di banyak titik pintu serta pemasangan dinding dan atap kaca di beberapa titik, membuat gereja ini tak perlu menyalakan lampu saat siang hari.
“Di sini listrik hanya hidup saat malam. Kalau harus memakai gereja untuk ibadah pagi atau siang hari, kami pakai genset untuk sound system dan kipas angin saja. Lampu tidak perlu,” tutur Romo Sesar.

Desain Serupa Tembes
Tampak adanya kesadaran antropologis dalam rancang desain ini. Desain gereja yang serupa bahtera atau kapal memang terasa dekat dengan identitas umat Mengkait yang berprofesi sebagai nelayan.
Dilihat dari kejauhan, bangunan utama gereja ini seakan membentuk lambung kapal. Sementara, sudut tertinggi di sisi depan gereja juga yang sengaja dibuat menjulang tinggi sebagai dudukan salib di puncaknya, membuatnya terlihat bagai haluan kapal.
“Kami mencoba bukan hanya bentuk yang melulu teknis, tapi juga bentuk yang mungkin merepresentasikan bentuk kapal, mungkin juga merepresentasikan bentuk ombak. Sehingga ada identitas dari gereja tersebut yang bisa juga melekat bagi masyarakat Mengkait,” Marvin menambahkan.
Harapan Marvin tak sia-sia. Romo Sesar sendiri menceritakan umat awalnya merasa mereka tidak perlu mendesain gereja dengan bentuk yang “aneh-aneh”. Namun saat desain dari Studio Lawang sudah jadi dan dipresentasikan kepada umat, umat justru sangat mendukung. Bahkan desain tersebut membuat mereka bernostalgia dengan akar budaya mereka.
“Kalau mereka bilang, mereka jadi teringat dengan nenek moyang, dengan akong-akong mereka. Mereka katakan bentuk gereja ini persis seperti tembes yang akong-akong mereka buat saat mereka dulu pergi melaut,” kisah Romo Sesar.
Tembes merupakan istilah setempat untuk menyebut tenda sederhana yang didirikan cuma dengan satu tiang pancang. Hanya satu titik terpal yang dibiarkan tinggi, dan semua sisi terpal langsung dipancangkan ke pasir. Tembes biasanya dibuat sebagai hunian sementara saat masyarakat Mengkait tengah pergi melaut selama berhari-hari.

Rasa Memiliki Tinggi
Keberadaan gereja baru juga berdampak pada geliat aktivitas menggereja umat. Semakin banyak umat yang hadir ke gereja saat Romo melakukan tourney (kunjungan) ke Mengkait. “Persembahan umat (saat ada perayaan misa ekaristi) tadinya maksimal Rp 300 ribu, sekarang kadang-kadang bisa Rp 1 juta,” gurau Romo Sesar.
Ia menilai hal itu wajar sebab umat memang mewujudkan berdirinya gereja ini secara gotong-royong. Uang donasi yang terkumpul sepenuhnya digunakan untuk membeli material bangunan dan biaya transportasi untuk mengangkut material tersebut ke Mengkait. Tidak ada satupun umat yang menerima bayaran saat bergotong-royong dalam pembangunan gereja.
Bahkan besarnya rasa memiliki ini mewujud pula dalam pembuatan Gua Maria yang baru-baru ini dibangun secara swadaya berbekal donasi yang dikumpulkan dari umat Mengkait sendiri. Saat pembangunan gereja, Gua Maria ini sebenarnya turut masuk dalam rencana dan sudah ada desainnya. Akan tetapi, akhirnya Gua Maria tak dibangun bersamaan dengan gereja karena membengkaknya anggaran dan keterbatasan dana.

Gua Maria hasil swadaya umat Mengkait ini dipersembahkan kepada Bunda Maria Pelindung Para Pelaut. Gua Maria ditempatkan di sisi samping depan gereja, sehingga seakan-akan umat yang hendak datang ke gereja disambut oleh Bunda Maria. Uskup Pangkalpinang, Mgr. Sunarko, sendiri yang meresmikan dan memberkati Gua Maria ini jelang penghujung bulan Mei—bulan Maria.
Romo Sesar pun mengaku sangat mengapresiasi sikap dan semangat umat. “Gereja dan Gua Maria ini mereka bangun sendiri, bukan tinggal terima kunci. Jadi memang rasa memiliki umat itu tinggi sekali,” pujinya. (*)
Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha