Misa Inkulturasi Jawa di Gereja Maria Ratu Rosario Seberang Ulu Palembang

Iman itu bisa bertumbuh dalam budaya apa pun.

0 12

Katolikana.com—Suasana di Gereja Maria Ratu Rosario, Jalan Tembok Batu Seberang Ulu Palembang pada Minggu (5/5/2024) pagi pukul 07.30 WIB, terasa begitu istimewa. Suasana adat dan budaya Jawa memenuhi ruang gereja saat perayaan Misa Inkulturasi digelar dengan khidmat.

Dalam prosesi tersebut, patung Bunda Maria diarak masuk ke dalam gereja dengan diiringi oleh paduan suara yang mengenakan busana adat Jawa. Misa ini dipimpin oleh Romo Hans Rettob MSC, Romo Wanto SCJ, dan Romo Kristiaji MSC.

Pastor Hans menyatakan bahwa dalam Misa Inkulturasi ini, kehadiran unsur budaya Jawa sangat kentara. Mulai dari dekorasi altar, busana umat dengan kostum adat Jawa seperti kebaya, batik, kemben, dan blangkon, serta alunan musik paduan suara, semuanya membuat gereja hidup dan merasakan keberadaan tradisi budaya tanpa membeda-bedakan.

“Gereja bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana iman dapat berkembang dalam setiap budaya,” ujar Pastor Hans.

Meskipun umat yang hadir berasal dari berbagai latar belakang, mereka bersatu dalam semangat cinta terhadap seni dan kearifan lokal Jawa.

Hal ini mencerminkan semangat toleransi di mana seni menjadi sarana yang mempersatukan perbedaan dan menghidupkan makna spiritual dalam budaya setempat.

Inkulturasi di Gereja Katolik

Menurut De Liturgia Romana Et Inculturations (1995), inkulturasi adalah upaya agama untuk menyesuaikan diri dengan budaya lokal dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya ke dalam agama Katolik. Sebagai bagian dari kaidah Gereja Katolik, inkulturasi dianggap sebagai suatu keharusan.

Misa inkulturasi di Paroki Maria Ratu Rosario Palembang diharapkan dapat membantu masyarakat menjalani kehidupan yang bahagia. Pastor Hans Rettob, MSC, menjelaskan bahwa melalui kehadiran unsur budaya Jawa dalam misa ini, gereja ingin menunjukkan bagaimana iman dapat berkembang di berbagai budaya.

Pengurus Dewan Pastoral Paroki Maria Ratu Rosario, Alfonsus Supardi, menjelaskan bahwa Misa Inkulturasi ini baru pertama kali dilaksanakan mengingat umat paroki tersebut berasal dari berbagai etnis dan suku.

Namun, ke depannya, Misa Inkulturasi akan dilakukan secara bergilir dengan mengusung adat budaya yang berbeda untuk memperkenalkan dan menghargai keberagaman budaya yang dimiliki umat.

“Selama Bulan Maria ini digelar Misa Inkulturasi secara bergiliran. Minggu ini adat Jawa, Minggu adat Batak, kemudian inkulturasi Chinese, dan terakhir misa inkulturasi budaya Timor (Flores,Ambon, Papua),” ujar Alfonsus Supardi.

Misa ini dipimpin oleh Romo Hans Rettob MSC, Romo Wanto SCJ, dan Romo Kristiaji MSC.

Menghormati Budaya Lokal

Dalam homilinya, Pastor Hans Rettob, MSC, menegaskan bahwa Misa inkulturasi ini merupakan salah satu cara gereja menghormati budaya lokal tanpa menghilangkan struktur peribadatan. Gereja percaya bahwa melalui pendekatan ini, budaya dapat menjadi cara bagi gereja untuk menginkulturasi tradisi dan ajarannya, sehingga semakin diterima dan dipahami oleh masyarakat.

Pastor Hans menjelaskan bahwa setelah Konsili Vatikan Kedua, Gereja Katolik semakin terbuka terhadap dunia, memberikan peluang besar bagi proses penerimaan budaya.

“Dalam konteks ini, Gereja Katolik mengadopsi pendekatan berbasis budaya lokal dengan tujuan meningkatkan penerimaan Gereja Katolik di seluruh dunia. Pendekatan ini memungkinkan budaya menjadi medium bagi gereja untuk menginkulturasi tradisi dan ajarannya, sehingga dapat lebih diterima dan dipahami oleh masyarakat,” papar Pastor Hans.

Umat yang hadir mengenakan baju adat Jawa.

Sebagai contoh, kata Pastor Hans, para misionaris yang datang ke Indonesia untuk memberitakan Injil pertama kali mempelajari budaya masyarakat Indonesia, termasuk bahasa dan tradisi lokal. Melalui pendekatan ini, mereka menemukan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memahami dan tertarik dengan ajaran Kristiani, yang pada akhirnya memilih agama Katolik.

Oleh karena itu, Gereja Katolik hadir untuk merangkul berbagai budaya dari berbagai suku di Indonesia, seperti Sunda, Jawa, Batak, Padang, Makassar, Flores, Papua, dan bahkan Tionghoa. Ini menunjukkan komitmen gereja untuk memahami dan menghargai keragaman budaya yang ada dalam rangka memperkuat kesatuan umat Katolik di Indonesia

Romo Hans menekankan bahwa tidak ada yang perlu dipertentangkan mengenai perbedaan budaya, namun perbedaan tersebut justru dapat menjadi peluang untuk memperkuat hidup berdampingan sambil melestarikan keanekaragaman budaya. (*)

Pensiunan pendidik di SD Xaverius 2 Palembang, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi di universitas Bina Darma Palembang, dan Sekretaris ISKA Palembang

Leave A Reply

Your email address will not be published.