
Katolikana.com—Eva Lamria Yosefina Sihombing, seorang atlet berprestasi asal Sumatera Utara, yang pernah menorehkan sejarah gemilang dengan meraih medali emas di PON XX Papua 2021.
Di balik kesuksesannya, tersimpan cerita penuh perjuangan dan keteguhan hati yang luar biasa.
Eva membagikan kisah hidupnya di hadapan 60 orang penyandang disabilitas yang mengikuti Pertemuan Penyandang Disabilitas se-Paroki Santo Yosep Delitua di Wisma Maximilianus Kolbe Delitua, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara hari Kamis (23/5/ 2024).

Kecelakaan Mengubah Hidup
Sejak usia tiga tahun, Eva mengalami disabilitas yang tak tampak oleh orang lain. Namun, hidupnya berubah drastis pada tahun 2006 saat ia mengalami kecelakaan parah di Pekanbaru.
Sebuah truk menabraknya, mengakibatkan kakinya hancur dan memerlukan perawatan intensif di Rumah Sakit Awal Bros, Pekanbaru.
Setelah siuman, dokter memberinya pilihan sulit: amputasi kaki atau menghadapi risiko infeksi yang fatal. Eva memilih amputasi dan menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Ortopedi Solo.
Selama setahun di pusat rehabilitasi BBRSPDF “Prof. Dr. Soeharso” di Surakarta, Eva mendapat dukungan dan motivasi untuk tetap bersabar.
Awalnya, ia enggan keluar dari kamar, meski melihat banyak pasien lain yang kondisinya lebih berat. Hingga suatu hari, seorang teman dari Magetan mengajaknya ke Gereja Katolik.
Di sana, ia menyaksikan umat gereja yang peduli terhadap penyandang disabilitas, membuka matanya bahwa ada harapan dan dukungan di luar sana.
Tak lama kemudian, Eva mulai menggunakan penyangga kaki. Awalnya, rasa sakit tak tertahankan. Namun, berkat dukungan pembina dan perawat, ia perlahan terbiasa.
Penyangga kaki dari besi itu membantu mengembalikan kepercayaan dirinya.
Di belakang yayasan rehabilitasi, terdapat Stadion Manahan Solo tempat banyak atlet berlatih. Eva terinspirasi oleh seorang atlet tanpa kaki yang gigih berlatih, menumbuhkan semangat baru dalam dirinya.
Perjalanan Menjadi Atlet
Pada tahun 2008, Eva sempat mendaftar sebagai atlet angkat berat di Medan, Sumatera Utara. Namun, masalah keluarga memaksanya pulang kampung ke Dairi.
Setelah urusan keluarga selesai, pada tahun 2012, ia kembali ke Medan, kali ini memilih cabang tolak lempar karena peluang medali yang lebih besar. Latihan tidak selalu mulus.
Pada tahun 2018, ibunya terkena stroke, memerlukan biaya perawatan dan pengobatan. Meskipun begitu, Eva terus berjuang.
Menjelang PON XX Papua 2021, Eva sempat dicoret beberapa kali karena tidak ada klasifikasi lomba yang sesuai. Namun, berkat motivasi dan dukungan pelatih, serta doa yang terus dipanjatkan, ia berhasil mendapatkan kesempatan berlaga.
Setibanya di Papua, Eva langsung bertanding melawan tujuh provinsi di nomor lempar lembing dan meraih medali perunggu.
Perjuangan terakhirnya di nomor tolak peluru melawan delapan provinsi.
Dia menjadi peserta terakhir yang diberi kesempatan melempar empat kali, dan di setiap lemparan dia selalu mengucapkan doa tanpa melihat berapa skor yang diperoleh di papan skor.
Di lemparan terakhir itulah meraih medali emas, dan emas inilah yang bisa mewujudkan pengobatan Ibunya.
Keterbasan adalah Keistimewaan
Eva menyampaikan pesan penting bagi generasi muda dan penyandang disabilitas. Menurutnya, meskipun memiliki keterbatasan, setiap orang memiliki keistimewaan tersendiri.
Ia mengajak orang tua yang memiliki anak disabilitas untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki masa depan, agar anak-anak tidak merasa sebatang kara setelah orang tua mereka tiada.
Eva juga menekankan bahwa tidak ada yang mustahil. “Jika orang tua kita pergi selamanya dan saudara-saudara kita tidak peduli, kita harus memikirkan masa depan kita sendiri,” katanya.
Saat ini, Eva berusaha mengumpulkan modal untuk membuka usaha grosiran dan berharap anak laki-lakinya kelak menjadi Imam Katolik (Pastor). (*)

Kontributor Katolikana, tinggal di Paroki St. Maria Ratu Rosari Tanjung Selamat Medan, Keuskupan Agung Medan.