Katolikana.com — Para Ibu dan Bapak serta Saudari dan Saudara yang baik, selamat malam. Semoga Anda berserta keluarga, sanak-saudara, serta teman dan sahabat dalam keadaan baik. Selamat menikmati akhir pekan untuk sejenak beristirahat setelah bekerja keras selama sepekan.
Juga selamat mencecap kembali semua anugerah Allah yang telah Ia limpahkan kepada kita, khususnya melalui kunjungan Bapa Suci, Paus Fransiskus.
Hari ini kita merayakan Hari Minggu ke-23 tahun B dalam kelender liturgi. Injil (Mrk 7:31-37) yang kita dengarkan dalam Perayaan Ekaristi, berkisah tentang penyembuhan orang tuli dan gagap.
Apa makna kisah ini bagi kehidupan kita? Marilah kita renungkan bersama dengan memperhatikan beberapa catatan berikut ini.
Pertama, kisah penyembuhan orang tuli hanya terdapat dalam Injil Markus, dan hanya dikisahkan oleh penginjil Markus. Sumbernya adalah orang-orang yang menyaksikan sendiri peristiwa tersebut dan berkali-kali menceritakannya. Kejadiannya di dekat danau Galilea.
Kedua, peristiwa penyembuhan ini terjadi dalam perjalanan Yesus kembali dari Tirus (sebelah utara Galilea; sekarang: di pesisir Lebanon selatan) ke kota-kota sekitar danau Galilea tempat Ia banyak dikenal. Namun Ia tidak langsung pergi ke Galilea, melainkan ke utara dulu, ke Sidon, juga pesisir, dan dari sana kembali ke Galilea lewat daerah Sepuluh Kota (Dekapolis) [sebelah tenggara Galilea] (ay. 31), dan sampai di tempat orang bisu itu dibawa ke hadapan-Nya (ay. 32).
Ketiga, untuk bisa mengenali tempat-tempat yang disebut dalam catatan kedua, silakan melihat Peta “Palestina pada Zaman Tuhan Yesus” yang terdapat dalam Alkitab pada lembar terakhir.
Keempat, kita perlu menempatkan kisah penyembuhan orang tuli dalam kisah perjalanan Yesus. Hal ini sangat penting, karena perjalanan Yesus itu merupakan sebuah ziarah yang semakin membentuk sikap batin-Nya yang khas; yang memberi isi nyata pada kata “kehendak Allah”. Pengabdian-Nya pada kemanusiaan, tak peduli apa haluan kepercayaan seseorang, seperti ibu Yunani keturunan Siro-Fenisia tadi (ay. 24-30), adalah untaian manikam kenyataan apa itu kehendak Bapa-Nya.
Kelima, kota Tirus dan Sidon letaknya di wilayah amat pinggiran lingkup masyarakat Yahudi. Di sana orang dianggap tidak menghiraukan sisi-sisi rohani dan hanya mementingkan materi. Maklum, keduanya adalah kota perdagangan yang tua. Tetapi wilayah seperti itu pun tidak dilupakan Tuhan Yesus, malah Ia semakin menemukan diri di sana, sebagai orang yang diutus untuk melaksanakan “Kehendak Allah”.
Keenam, kisah mengenai penyembuhan orang tuli ini mesti dibaca, atau paling tidak dibayangkan, bersama dengan kisah penyembuhan orang buta (sering dikenal dengan nama Bartimeus) di Betsaida (Mrk 8:22-26). Kesembuhan si tuli dan si buta ini ada makna simboliknya. Mereka menjadi sembuh dalam perjumpaan dengan Yesus, yang tak terduga-duga di tengah perjalanan-Nya, di tengah ziarah-Nya, menemukan kehendak Bapa-Nya. Kesembuhan mereka itu adalah kesembuhan dari ketulian dan kebutaan mengenai siapa sebetulnya Yesus itu.
Ketujuh, sebelum menyembuhkan orang itu, Yesus memisahkannya dari kerumunan orang banyak sehingga hanya mereka berdua sendirian saja (ay. 33a). Di situ terjadi penyembuhannya. Yesus mau agar yang pertama-tama didengar orang tuli itu hanyalah suara yang dibawakan-Nya, bukan kasak kusuk orang banyak, yang untuk sementara dijauhkannya.
Kedelapan, tentu si tuli tadi kemudian bercerita kepada Yesus, dan dari sana kita tahu bahwa Yesus memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, meludah dan meraba lidah orang tadi (ay. 33b).
Kesembilan, sambil menengadah ke langit, Yesus mendesah dan berkata, dalam bahasa Aram, “Efata!” artinya “Terbukalah!” Dari bentuk Aram-nya, perintah itu ditujukan kepada dua telinga yang dimasuki jari-Nya. Perintah kepada telinga yang menutup diri kuat-kuat. Perhatikan, Yesus mendesah, mengerang seperti orang yang sedang kesakitan. Yesus seperti sedang menahan rasa sakit. Ada pergulatan antara kekuatan (yang tinggal dalam telinga) yang menolak sang Sabda dengan Sabda yang mendatanginya (melalui jari Yesus yang dimasukkan ke dalam telinga). Pergulatan itu menimbulkan kesakitan.
Kesepuluh, Yesus menyentuh lidah orang tadi (ay. 33b). Bayangkan saja, ibu jari-Nya menyentuh lidah orang tadi. Juga ada pergulatan antara lidah yang dikuasai kekuatan yang membisukan melawan Dia yang membuat orang berani bersaksi. Yesus juga meludah. Kekuatan jahat dari telinga yang dimasuki jarinya itu masuk ke dalam badan Yesus sendiri, dan kini diludahkannya dan dibuangnya keluar.
Kesebelas, Yesus menengadah (ay. 34). Ia mengarahkan diri ke langit. Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa ketika Yesus dibaptis. Ia melihat langit terbuka dan saat itulah Ia mendengar suara dari sana (Mrk 1:9-10): “Engkaulah Anak-Ku yang terkasih, kepadamulah Aku berkenan.” Pengalaman ini tidak pernah lepas dari diri-Nya. Kini Yesus menengadah menghadirkan kembali kekuatan perkenan dari atas dan menyalurkannya ke dalam telinga dan lidah orang tuli dan gagap tadi. Yesus bukan penyembuh biasa. Ia meneruskan perkenan dari Allah yang meraja di dalam diri-Nya kepada siapa saja yang mendekat pada-Nya. Ia juga sanggup ikut merasakan penderitaan batin dan fisik orang yang sakit.
Kedua belas, mengapa Yesus menyuruh orang banyak merahasiakan kejadian tadi? Tetapi makin dilarang, mereka malah makin memberitakannya (ay. 36). Larangan itu sebenarnya untuk menghimbau agar orang tidak mengobral cerita sehingga makna peristiwa penyembuhan tadi menjadi buyar, menjadi kisah penyembuhan dan penumpangan tangan semata-mata. Orang-orang diminta mengendapkan pengalaman melihat peristiwa itu dan menemukan artinya, sebelum menceritakannya kepada orang banyak.
Ketiga belas, larangan tadi juga ada hubungannya dengan kebangkitan Yesus nanti. Orang boleh mulai bercerita banyak mengenai tindakan, pengajaran, dan penyembuhan yang dilakukan Yesus setelah Ia ditinggikan di salib; setelah Ia diakui bahkan oleh kepala pasukan di Golgota yang mengatakan: “Sungguh, orang ini Anak Allah!” (Mrk 15:39). “Anak Allah” itulah yang diwartakan tentang Yesus Kristus, dan itu pulalah yang memberi arti lebih kepada semua tindakan-Nya, penyembuhan-Nya, dan pengajaran-Nya. Itulah makna realitas kebangkitan-Nya: Yesus sungguh Anak Allah.
Merenungkan Injil ini mengajak kita untuk menyadari kembali bahwa perjumpaan dengan Yesus akan membuka gerbang telinga dan pintu mata kita. Ketulian sesenyap apapun dan kebutaan segelap apapun tidak bisa menahan suara dan terang yang keluar dari diri Yesus. Semoga Roh Allah memampukan kita untuk berani mendekat kepada Yesus, supaya kita dapat mendengar dan mendengarkan, serta melihat realitas kehidupan yang masih dirundung oleh berbagai macam penyakit dan memerlukan penyembuhan dari Tuhan. Semoga kita pun berani membawanya ke hadapan Tuhan untuk disembuhkan.
Teriring salam dan doa.
Penulis: Romo Ignatius Loyola Madya Utama, SJ, dosen Seminari Tinggi Santo Petrus, Sinaksak—Pematang Siantar, dan pendiri Gerakan Solidaritas untuk Anak-anak Miskin
Editor: Ageng Yudhapratama

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.