Oleh FX Juli Pramana, Katekis di Paroki Santo Paulus Kleco, Surakarta
Katolikana.com — Perayaan Ekaristi bersama Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, yang dihadiri lebih dari 80.000 umat, pada Kamis (5/9/2024), menjadi hari yang penuh makna bagi umat Katolik di Indonesia.
Perayaan Ekaristi ini tak hanya menjadi momen syukur atas kunjungan apostoliknya, tetapi juga sebuah ajakan refleksi mendalam tentang panggilan kita sebagai umat beriman.
Homili yang disampaikan Paus Fransiskus pada hari itu mengandung pesan yang begitu kuat, membangkitkan harapan, dan memotivasi kita untuk menjalani hidup dengan lebih berani dan penuh kasih.
Mendengarkan Sabda dan Menghidupinya
Paus Fransiskus memulai homili dengan menekankan dua sikap mendasar yang harus dimiliki oleh setiap murid Kristus: mendengarkan sabda dan menghidupi sabda. Mendengar Sabda Allah, kata Paus, bukan hanya soal membuka telinga, tetapi juga hati kita.
Sabda Allah adalah anugerah yang harus diterima dengan penuh kerendahan hati, yang tidak hanya sekadar kita dengarkan, tetapi juga kita hidupi dalam keseharian kita. Ia mengingatkan, “Janganlah menjadi pendengar yang sia-sia dan menipu diri sendiri” (Yakobus 1:22).
Refleksi ini menggugah saya untuk berpikir: sudahkah saya sungguh-sungguh mendengarkan sabda Tuhan dalam hidup sehari-hari? Sering kali, kita terlalu sibuk dengan rutinitas hingga lupa untuk membuka diri kepada Tuhan.
Paus mengingatkan bahwa sabda Tuhan tidak hanya menyentuh telinga kita, tetapi harus meresap ke dalam hati dan mengubah cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak.
Terang dari Atas: Cahaya yang Memimpin Jalan Hidup Kita
Dalam homili, Paus Fransiskus juga menekankan pentingnya menerima terang dari atas untuk memimpin langkah hidup kita. Di tengah kekacauan dunia ini, manusia sering kali tersesat mencari kebahagiaan dan makna hidup. Namun, sabda Tuhan adalah kompas sejati yang memimpin kita menuju kebenaran dan kebahagiaan sejati.
Sabda Tuhan bukan sekadar kata-kata indah yang membangkitkan emosi sesaat, tetapi ia menuntut perubahan mendalam dalam cara pandang kita.
Paus mengajak kita untuk berani mengambil risiko dalam hidup, untuk “bertolak ke tempat yang dalam” seperti yang diajarkan dalam Injil. Hidup ini tidak bisa dijalani dengan rasa takut atau suam-suam kuku. Kita dipanggil untuk mengambil langkah berani dalam iman, meski pun sering kali hal itu tidak mudah.
Menjadi Murid yang Rendah Hati dan Berbuah
Paus Fransiskus mengingatkan bahwa hidup beriman dimulai ketika kita menerima Yesus dengan rendah hati di “perahu kehidupan kita”. Menerima Yesus bukan berarti hidup kita akan selalu mudah, tetapi berarti kita bersedia untuk mendengarkan sabda-Nya dan membiarkan diri kita diubah oleh-Nya. Refleksi ini begitu menyentuh, mengingatkan saya akan pentingnya kerendahan hati dalam menjalani hidup.
Saat Yesus meminta Petrus untuk menebarkan jalanya kembali setelah semalaman tidak menangkap apa-apa, Petrus dengan rendah hati taat dan mengikuti perintah-Nya. Tindakan ini menghasilkan mukjizat.
Paus mengajak kita untuk meneladani Petrus: ketika kita merasa gagal atau lelah dalam hidup, jangan menyerah. Sebaliknya, kita harus selalu berani melangkah lagi, menebarkan “jala iman” kita, percaya bahwa Tuhan akan memberikan hasil yang tak terduga.
Menjawab Tantangan Hidup dengan Iman
Homili Paus Fransiskus juga memberikan peneguhan bagi mereka yang merasa terbebani oleh tugas hidup sehari-hari. Ketika kita merasa berat dalam menjalankan tugas kita—baik sebagai individu, keluarga, maupun masyarakat—Paus mengingatkan agar kita tidak terjebak dalam kegagalan atau kekecewaan. Sebaliknya, kita harus terus maju, melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk, rasa takut, dan ketidakpastian.
Refleksi ini sangat relevan bagi kita di Indonesia, di mana kita dihadapkan pada tantangan besar dalam membangun masyarakat yang lebih adil, damai, dan harmonis. Paus mengingatkan kita untuk selalu berpegang pada iman, berani bermimpi dan berjuang membangun peradaban perdamaian.
Saya pribadi merasa sangat dikuatkan oleh pesan ini, karena dalam hidup, sering kali kita dihadapkan pada rasa putus asa. Namun, Paus mengajarkan bahwa dengan iman, tidak ada yang mustahil.
Menabur Kebaikan dan Menjadi Pembawa Harapan
Salah satu bagian yang paling menyentuh dari homili Paus adalah ketika ia mengutip Santa Teresa dari Kalkuta: “Ketika kita tidak memiliki apa pun untuk diberikan, berikanlah ketiadaan itu.” Pesan ini begitu mendalam. Paus mengajak kita untuk tidak lelah menabur kebaikan, meski kadang-kadang kita merasa tidak ada yang bisa kita berikan.
Di tengah kehidupan yang penuh tantangan, kita dipanggil untuk tetap menabur kasih, kebaikan, dan harapan. Paus Fransiskus menegaskan, kita semua adalah pembangun harapan, pengharapan Injil yang tidak mengecewakan. Sebagai umat Katolik, kita memiliki tugas untuk menyebarkan aroma harapan, baik dalam keluarga, komunitas, maupun masyarakat luas.
Berani Bermimpi, Berani Melangkah
Paus Fransiskus mengajak kita untuk tidak hanya mendengar sabda Tuhan, tetapi juga menghidupinya dalam setiap aspek kehidupan. Dengan rendah hati, kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam dunia, menebarkan kasih dan kebaikan di tengah masyarakat.
Perayaan ini tidak hanya diikuti oleh mereka yang hadir langsung di GBK, tetapi juga oleh jutaan umat Katolik yang menyaksikan secara daring. Homili ini menjadi berkat bagi kita semua, memberikan semangat baru untuk terus melangkah dalam iman, berani bermimpi, dan menjadi pembawa harapan bagi dunia.
Mari kita terus berjalan bersama, berani menebarkan jala kita, dan membangun masa depan yang penuh cinta dan kedamaian, seperti yang diajarkan oleh Paus Fransiskus. (*)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.