Katolikana.com — Para Ibu dan Bapak serta Saudari dan Saudara yang baik, selamat pagi. Semoga Anda beserta sanak-keluarga, serta teman dan sahabat dalam keadaan baik. Selamat menikmati akhir pekan untuk sejenak beristirahat dan mencecap kembali semua kebaikan Allah yang telah Ia limpahkan kepada kita selama sepekan.
Hari ini, kita akan merayakan hari Minggu ke-25 tahun B dalam kalender liturgi. Bacaan Injil (Mrk 9: 30-37) memuat pernyataan Yesus yang kedua kalinya kepada murid-murid-Nya mengenai kesengsaraan, salib, serta kebangkitan-Nya. Selain itu, Yesus juga memberi pengajaran agar dalam mengikuti-Nya para murid tidak berpamrih bakal mendapat kedudukan.
Apa maknanya bagi kehidupan kita? Marilah kita renungkan bersama dengan memperhatikan beberapa catatan berikut.
Pertama, meskipun diakui sebagai Mesias oleh orang-orang yang paling dekat dengan-Nya (Mrk 8:29b), Yesus lebih memahami diri-Nya sebagai Anak Manusia. Ia bahkan menegaskan bahwa diri-Nya akan ditolak, disalibkan, tetapi akan dibangkitkan (Mrk 8:31) [Lihat renungan hari Minggu yang lalu, catatan Kesebelas s/d Ketigabelas]. Pernyataan seperti ini muncul sampai tiga kali dalam Injil Markus, Matius dan Lukas.
Kedua, pernyataan yang pertama terdapat dalam Mrk 8:31-33//Mat 16:21-23//Luk 9:22. Pernyataan ini diikuti dengan pengajaran khusus bagi siapa saja yang mau mengikuti-Nya; yakni agar mereka bersedia “menyerahkan nyawa”, maksudnya berdedikasi penuh (Mrk 8:34-38//Mat 16:24-28//Luk 9:23-27).
Ketiga, pernyataan kedua terdapat dalam Mrk 9:30-32//Mat 17:22//Luk 9:43b-45. Pernyataan ini dilanjutkan dengan pengajaran untuk tidak mencari kedudukan tinggi, melainkan bersikap seperti anak kecil (Mrk 9:34-37//Mat 18:1-5//Luk 9:46-48). Inilah yang akan kita renungkan pada hari ini.
Keempat, pernyataan ketiga terdapat dalam Mrk 10:32-34//Mat 20:17-19//Luk 18:31-34. Pernyataan ini ditegaskan dengan pengajaran mengenai kesediaan melayani satu sama lain (Mrk 10:35-45 Mat 20:20-28. Lukas tidak menyertakan padanannya).
Kelima, dari ketiga pernyaaan tersebut kelihatan bahwa pejalanan Yesus yang mengarah ke salib dan kebangkitan memang sulit dipahami, bahkan oleh murid-murid terdekat yang sudah lama mengikuti-Nya sekalipun. Jalan untuk memahami kenyataan salib dan kebangkitan adalah kesediaan untuk menerimanya tanpa mementingkan diri sendiri ataupun mencari kedudukan yang tinggi. Inilah yang diberikan dalam pengajaran Yesus, yang mengikuti setiap pernyataan tadi. Semakin mendekati Yerusalem, Yesus semakin berusaha agar para murid terdekat-Nya memahami arah hidup-Nya yang menuju ke salib dan kebangkitan tadi dengan ikhlas.
Keenam, para murid Yesus sulit memahami mengapa Ia perlu mengalami penderitaan hingga kematian di salib. Mengapa perlu sampai sejauh itu? Mengapa Yang Maha Kuasa tidak menyertai-Nya dengan bala tentara surga dan dunia untuk membangun kejayaan umat di hadapan para penentang-penentang-Nya? Mengapa Yesus, dan juga kita, seolah-olah dibiarkan sendirian di hadapan kekuatan-kekuatan kejahatan yang kini semakin mengancam kita?
Ketujuh, belajar dari Yesus kekuatan jahat perlu dihadapi secara tekun dengan salib. Baru dengan demikian daya gelap akan dapat dikuasai dan diubah menjadi kekuatan terang. Namun perlu diingat bahwa salib tidak identik dengan apa saja yang dirasa sebagai penderitaan. Ada banyak kesusahan yang bukan salib dan mestinya bisa dihindari dan diatasi dengan kebijaksanaan hidup dan ikhtiar.
Kedelapan, pelbagai ketimpangan ekonomi dan ketakadilan dalam masyarakat bukan salib, melainkan musibah sosial yang mesti ditangani dengan serius. Penderitaan akibat berbagai macam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah salib, melainkan akibat dari tindakan kriminal yang harus segera dihentikan. Menyebutnya sebagai salib tidak membawa manfaat apapun kecuali menutup mata pada kenyataan, dan mengurangi makna salib yang sesungguhnya.
Kesembilan, yang perlu diterima sebagai salib adalah penderitaan seperti yang dihadapi oleh Yesus sendiri, yakni penderitaan akibat dari penolakan manusia terhadap kebaikan ilahi. “Penolakan manusia terhadap kebaikan Allah” dapat mewujud dalam sikap tidak peduli terhadap penderitaan dan kebutuhan sesama, sikap tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan hidup, cara beragama yang hanya mentaati berbagai macam peraturan namun tidak bermuara pada tindakan kasih, dst.
Kesepuluh, penderitaan serta kematian Yesus akan berakhir dengan kebangkitan. Unsur yang paling membedakan penderitaan sebagai salib dengan penderitaan biasa adalah ada tidaknya kaitan dengan kebangkitan. Bahkan salib dan kebangkitan merupakan satu realitas dengan dua sisi yang tidak dapat saling dipisahkan. Bila tidak ada kebangkitan, maka tidak dapat dikatakan bahwa penderitaan Yesus mengalahkan yang jahat. Juga tidak dapat ditegaskan bahwa ada kebangkitan tanpa adanya salib yang Ia panggul dan menjadi tahta kematian-Nya.
Kesebelas, adegan beralih dari sebuah tempat di Galilea, yang namanya tidak disebut, ke sebuah rumah di Kapernaum, juga di wilayah Galilea. Di rumah inilah Yesus menanyai para murid tentang apa yang mereka bicarakan di perjalanan (ay. 33). Mereka diam tidak berani menjawab, karena mereka tadi bertengkar mengenai siapa di antara mereka yang terbesar (ay. 34). Yang dimaksud dengan “para murid” adalah “Yang Duabelas.” Selain “Yang Duabelas” masih ada banyak murid lainnya.
Keduabelas, “Yang Duabelas” adalah kalangan paling dekat dengan-Nya sendiri. Mereka adalah inti umat yang baru yang akan memperkenalkan Yang Ilahi kepada segala bangsa. Inilah orang-orang yang memang mempunyai niat mengikuti Yesus, namun mereka masih memperebutkan kedudukan siapa yang lebih penting. Memang mereka masih butuh belajar membuat diri mereka searah dengan Yesus yang mereka ikuti.
Ketigabelas, peristiwa itu tidak membuat Yesus marah. Ia justru menggunakannya sebagai peluang untuk memberi mereka pengajaran khusus mengenai apa itu “menjadi yang pertama.” Yesus tahu bahwa setiap orang mempunyai hasrat menjadi orang penting. Orang yang tidak memiliki dorongan ke arah itu juga sulit menemukan makna hidup. Tetapi yang membuat seseorang menjadi penting ada bermacam-macam, dan tidak tidak semuanya selalu benar serta cocok dengan pilihan hidup yang sudah mulai ditempuh. Dengan pengajaran-Nya, Yesus Sang Guru, membantu mereka untuk semakin menemukan diri.
Keempatbelas, diajarkan kepada para murid bahwa yang ingin “menjadi yang pertama”, hendaklah menjadi yang berdiri paling belakang dan melayani semuanya (ay. 35). Yesus menunjukkan kepada mereka bahwa mementingkan orang lain bakal membuat pengikut Yesus menjadi besar. Dia sendiri telah menjalankannya. Seluruh hidup-Nya ditujukan untuk mengusahakan kebahagiaan orang lain, memperoleh keselamatan bagi umat manusia.
Kelimabelas, para murid juga diajar untuk menerima anak kecil (ay. 37), artinya menerimanya sebagai yang penting meski ia tidak dapat menonjolkan diri karena pernah berbuat banyak dan berjasa. Anak kecil diterima bukan karena yang diperbuatnya melainkan karena berharga tanpa jasa sendiri. Itulah sikap dasar yang sepantasnya berkembang dalam diri para murid dalam mengikuti Guru mereka.
Injil yang kita renungkan ini mengajari kita untuk memahami apa artinya mengikuti Yesus. Pertama-tama, tentu bukan meniru-niru Dia, melainkan membiarkan diri dibentuk oleh-Nya sendiri. Kedua, alih-alih mau menjadi orang besar, kita justru diajak untuk bersedia datang kepada-Nya tanpa apa-apa yang dapat diperhitungkan sebagai jasa yang patut mendapat ganjaran. Akhirnya, mengikuti Yesus berarti membiarkan diri dituntun oleh Yang Maha Kuasa sendiri ke tempat dan kedudukan terbaik yang sudah disediakan oleh-Nya bagi kita masing-masing.
Teriring salam dan doa.
Penulis: Romo Ignatius Loyola Madya Utama, SJ, dosen Seminari Tinggi Santo Petrus, Sinaksak—Pematang Siantar, dan pendiri Gerakan Solidaritas untuk Anak-anak Miskin
Editor: Ageng Yudhapratama

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.