Intoleransi, Salib, dan Apologetik Suara Kenabian

Lagi dan lagi ada kisah tragis, mak-mak memaki-maki tetangganya yang beribadat. Konteksnya tentu saja saudara mayoritas terhadap tetangganya yang minoritas.

0 85
Susy Haryawan

Oleh Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com—Lagi dan lagi ada kisah tragis, emak-emak memaki-maki tetangganya yang beribadat. Konteksnya tentu saja saudara mayoritas terhadap tetangganya yang minoritas.

Siapa yang bersuara dan fate chiaso? Netizen tentu saja. Meriuhrendahkan di media sosial. Negara, aparat, FKUB, ataupun Gereja, biasa diam, seolah tidak masalah.

Hal ini sangat sering terjadi. Pembubaran ibadat, bahasa polisi naif dengan menggunakan terminologi penghentian, jadi lebih halus, padahal esensinya sama saja. Mengapa sih bisa terjadi?

Satu, pembiaran. Siapa yang membiarkan? Jelas saja aparat penegak hukum yang selalu diam ketika pihak mayoritas yang menghina atau membubarkan ibadat, memblokade jalan, dan sejenisnya. Berbeda ketika pelaku itu sebaliknya, geraknya super cepat. Jangan-jangan belum ada laporan sudah jalan, ups ini hanya sarkas.

Pihak Gereja juga sama saja. Boleh mengatakan itu adalah salib yang harus ditanggung. Ingat ini negara Pancasila yang menjamin kebebasan beragama sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Negara belum hadir. Lain ketika di tanah antah berantah yang memang belum ada hukumnya.

Dua, penegakan hukum yang lemah. Pembiaran dari pihak polisi karena tidak ada laporan. Pihak Gereja juga malas mengurus hal yang sering dianggap sebagai konsekuensi logis atas hidup beragama. Padahal tidak harus demikian.

Perilaku demikian akan terus berulang karena tidak ada efek jera yang diberikan oleh negara. Padahal perangkat perundangan lengkap dan ada. Namun sangat lemah dalam penegakannya.

Tiga, meniru. Pembiaran itu makin liar, karena media menyuarakan itu malah jadi inspirasi. Ketika lepas dari jerat hukum, mereka tidak ada yang ditakuti lagi. Merasa benar dan tidak ada yang dilanggar, terus terulang.

Empat, beragama yang kekanak-kanakan. Begitu banyak pemaksaan kehendak, inikan ciri kanak-kanak yang penginan dan gampang goyah imannya.

Apa yang harus dilakukan?

Pertama, penegakan hukum. Tentu saja tidak mesti bui atau kurungan, namun juga kerja sosial atau apa pun bentuknya. Misalnya disuruh menjadi pengasuh di panti jompo sekian waktu.

Kedua, suara kenabian itu penting, terutama PGI atau dan KWI, Walubi juga perlu bersuara, bahwa hak yang dijamin negara itu benar-benar ada, bukan hanya slogan dan di atas kertas indah. Bersuara itu juga bagian dari beragama dan beriman.

Ketiga, memaafkan itu bukan bahasa hukum negara. Jangan campur aduk. Tertib hidup bersama itu ada aturan perundangan yang harus ditaati Bersama.

Keempat, suara kenabian dan juga apologetic itu juga penting. Jangan mengatakan salib atau harmoni kemudian diam saja. Bersuara dan apologetic juga bukan ngajak gelut kog, namun mengajarkan perbedaan itu kodrati.

Masih harus banyak berharap dan panjang sabar. Netizen masih perlu kekuatan untuk tetap bersuara, bersama dengan pemuka-pemuka agama secara kelembagaan. (*)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.