Oleh Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.
Katolikana.com—Setiap kali menjelang 1 Oktober, biasanya isu kebangkitan komunisme selalu menghantui ruang publik. Namun, tahun ini suasananya senyap, meskimpun bukan berarti bebas dari ancaman yang lebih menakutkan.
Contoh terbaru adalah kasus Mas Sriwati, seorang ASN di Bekasi yang memaki tetangganya hanya karena beribadah, yang kemudian berakhir dengan permintaan maaf. Insiden ini mencerminkan persoalan yang lebih mendalam: intoleransi yang semakin mengakar dalam kehidupan bermasyarakat.
Kasus penolakan keberadaan dan kegiatan Vihara Cetiya Permata Dihati yang dinilai mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat sekitar Cluster C, oleh puluhan warga RW 012 Taman Kencana Demo di Kantor Lurah Cengkareng Barat, Cengkareng yang baru-baru ini mencuat adalah bukti nyata bahwa meski pun berada dekat dengan pusat pemerintahan negara, polemik terkait rumah ibadah bagi kelompok minoritas masih terus terjadi.
Pola yang sama selalu berulang: apabila yang terlibat adalah mayoritas, segala sesuatunya berjalan lancar, sementara minoritas selalu mengalami hambatan. Pertanyaannya, apakah ini model yang sesuai dengan prinsip berbangsa dan bernegara yang kita cita-citakan?
Yang lebih mencemaskan, intoleransi kini tidak hanya dilakukan oleh warga atau ormas tertentu, tetapi juga oleh lembaga negara. Dalam kasus penolakan pendirian sekolah berbasis agama Kristen di Pare-Pare, anggota DPRD setempat turut serta dalam aksi intoleran tersebut. Ironis, di negeri yang menjunjung tinggi Pancasila, lembaga negara justru menjadi bagian dari masalah ini. Bagaimana nasib kemanusiaan jika institusi yang seharusnya melindungi hak asasi justru ikut menebar kebencian?
Respons negara, terutama aparat penegak hukum, terhadap kasus-kasus intoleransi juga sangat lemah. Padahal, dasar negara kita, Pancasila, secara jelas mengajarkan nilai-nilai keberagaman dan kebersamaan. Syarat-syarat yang diperlukan sudah lengkap, pihak yayasan tentu bisa dipercaya. Malah aneh dan naif ketika ada sekelompok orang menolak, bukannya diedukasi, malah didukung oleh anggota dewan yang seharusnya menjaga konstitusi.
Intoleransi bukanlah isu baru di Indonesia. Kasus-kasus serupa terus berulang dengan pemain yang sama, yaitu ormas-ormas intoleran. Namun, yang mengejutkan sekarang adalah keterlibatan lembaga negara secara terang-terangan. Ini bukan lagi sekadar isu komunisme yang sering diangkat menjelang tanggal bersejarah, tetapi sudah menyentuh jantung keberagaman kita. Apakah ini pertanda bahwa nilai-nilai Pancasila semakin memudar di negeri ini?
Selama ini, Indonesia masih berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, dalam praktiknya, implementasi nilai-nilai tersebut semakin jauh melenceng. Meski pun demikian, penolakan terhadap pendirian tempat ibadah dan sekolah berbasis agama adalah bentuk nyata dari aksi intoleransi yang tidak bisa lagi dianggap enteng. Diperlukan tindakan yang tegas dan pasti dari pemerintah untuk menangani masalah ini.
Pemerintah, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga kementerian terkait seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan Kemendikbudristek, harus bersuara. Tidak selamanya diam itu emas. Diamnya pemerintah hanya akan memperburuk keadaan dan memberi ruang bagi kelompok-kelompok intoleran untuk semakin leluasa bergerak.
Lembaga-lembaga agama lain juga harus menunjukkan solidaritas. Tidak cukup hanya berdiam diri ketika satu kelompok agama mendapatkan perlakuan diskriminatif. Tindakan intoleran yang dialami oleh satu kelompok minoritas bisa saja menimpa kelompok agama lain di masa depan. Jika terus merasa aman dan nyaman, kelompok-kelompok agama mayoritas justru memperkuat tindakan intoleransi dengan ketidakpedulian mereka.
Selama ini, kelompok-kelompok intoleran bisa bertindak seenaknya karena mereka dibiarkan. Pemerintah yang lemah dalam penegakan hukum hanya memperparah situasi. Namun, apabila organisasi-organisasi keagamaan seperti KWI, PGI, Walubi, PHDI, dan bahkan MUI bersatu mengeluarkan pernyataan bersama, ini bisa menjadi gerakan moral yang kuat dan mendukung kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan.
Di era digital, netizen telah memainkan peran penting dalam mengungkap berbagai kasus intoleransi dan diskriminasi. Kasus-kasus tersebut sering kali viral di media sosial, meskipun dalih yang digunakan untuk pembenaran selalu sama: masalah izin. Padahal, kenyataannya, perbedaan perlakuan terhadap kelompok agama mayoritas dan minoritas dalam hal perizinan sangat mencolok.
Konstitusi kita, UUD 1945 dan Pancasila, masih dipegang teguh, meskipun sekadar di atas kertas. Ini berarti nilai-nilai kebersamaan, persatuan, dan keadilan masih sah menjadi dasar kehidupan bernegara. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: Mengapa kita terus diam ketika nilai-nilai tersebut dilanggar secara terang-terangan?
Negara ini dibangun di atas fondasi keberagaman. Jika kita membiarkan intoleransi terus berkembang, kita sedang menghancurkan fondasi tersebut. Saatnya pemerintah bertindak tegas. Jangan sampai Pancasila hanya menjadi simbol yang indah, sementara praktik intoleransi terus merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara (*).
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.