Gembala Yang Baik, Lain dengan Orang Upahan

Menjadi "gembala yang baik" bukan hanya soal menjalankan tugas, tetapi tentang memiliki hati, kepedulian, dan tanggung jawab.

0 157
Susy Haryawan (Foto: Dokumentasi pribadi)

Katolikana.com — Dalam sabda Tuhan, kita mengenal perumpamaan tentang gembala yang baik dan orang upahan. Gembala yang baik akan menjaga kawanan ternaknya, melindungi mereka dari serigala. Sebaliknya, orang upahan yang tidak memiliki rasa memiliki atau kepedulian, akan meninggalkan ternak saat bahaya mengancam.

Ilustrasi ini sangat relevan dengan kehidupan kita saat ini, di mana nilai tanggung jawab dan kepedulian semakin sering diuji dalam berbagai situasi.

Bayangkan seorang tetangga yang memelihara kambing di kampung. Karena pekerjaan pemilik kambing berada di luar kota, ia mengupah seseorang untuk mencarikan pakan.

Namun, pada suatu hari, sang pemilik terlambat pulang dan kambing-kambing pun kelaparan. Mereka mengembik keras hingga mengganggu tetangga sekitar. Ironis, orang upahan yang sudah mendapat pakan tidak tergerak untuk memberi makan kambing-kambing itu.

Meski tahu mereka kelaparan, ia memilih untuk mengabaikan tanggung jawab kecil tersebut. Sikapnya jelas mencerminkan bahwa ia bekerja bukan dengan hati, melainkan hanya untuk mendapatkan upah.

Masak sih keberatan menaruh pakan di atas palungannya? Benar, bahwa ia diupah untuk mencarikan pakan, bukan memberikannya. Apa yang dilakukan tetangga ini tidak salah. Hanya saja keliru karena ia tidak peduli akan hewan ternak yang kelaparan. Jika ia berpikir, kalau kambing itu mati, ia tidak akan dapat upah untuk mencarikan pakan. Rasa memilikinya rendah.

Kasus lain yang juga sering kita lihat adalah tukang sampah yang setiap hari mengambil limbah rumah tangga. Ketika mengangkut sampah, ia hanya mengambil apa yang ada di dalam tong sampah, tanpa memedulikan limbah yang berceceran di sekitarnya.

Sampah-sampah yang berserakan karena dikais hewan, seperti kucing mencari tulang ayam, dibiarkan begitu saja. Bukankah seharusnya petugas kebersihan juga memastikan area di sekitar tong tetap bersih? Namun, karena ia bekerja semata-mata untuk upah, tanggung jawab tersebut tidak diindahkan.

Lain soal, jika ia seorang penyuka kebersihan, bukan orang upahan untuk mengambil sampah dari rumah ke rumah. Pasti akan dibersihkan semuanya, turun dari kendaraannya dan menyapu dan membuang ke TPS. Itu adalah juga bagian dari tanggung jawabnya.

Dua ilustrasi sederhana ini memperlihatkan perbedaan mendasar antara mereka yang bekerja dengan hati, dan mereka yang bekerja hanya untuk memenuhi kewajiban minimal. Gembala yang baik, dalam konteks apa pun, akan selalu memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap apa yang dipercayakan kepadanya. Ia tidak sekadar memenuhi perintah, tetapi juga menjaga dan merawat dengan penuh kasih.

Gembala yang baik akan selalu memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap apa yang dipercayakan kepadanya.

Hal ini juga berlaku dalam berbagai profesi di masyarakat. Misalnya, seorang guru yang benar-benar peduli pada perkembangan muridnya tidak hanya akan mengajar dari buku pelajaran, tetapi juga memberikan perhatian ekstra kepada murid-murid yang mengalami kesulitan.

Guru seperti ini adalah “gembala yang baik,” yang memandang anak didik sebagai bagian dari tanggung jawab moral. Sebaliknya, guru yang hanya fokus menyelesaikan jam mengajar akan berhenti pada batas kewajibannya saja, tanpa melihat kebutuhan lebih dalam dari murid-muridnya.

Tuhan sudah memberi kita teladan tentang peran gembala yang baik. Seorang gembala sejati tidak akan meninggalkan kawanan saat ancaman datang. Ini adalah peringatan untuk kita semua, di mana pun kita berada, bahwa pekerjaan atau tanggung jawab tidak hanya soal upah, tetapi juga soal hati.

Gembala yang baik tidak akan pernah lari dari tanggung jawab, sementara orang upahan akan selalu mencari jalan keluar yang paling mudah, meski pun itu berarti mengabaikan apa yang seharusnya dijaga.

Menjadi gembala yang baik bukan hanya soal menjalankan tugas, tetapi tentang memiliki hati, kepedulian, dan tanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan. Sikap ini seharusnya diterapkan dalam semua aspek kehidupan, baik itu dalam pekerjaan, pelayanan, atau hubungan dengan sesama. Kita diajak untuk melampaui sekadar memenuhi kewajiban dan mulai bertindak dengan kasih dan tanggung jawab moral.

Dalam peran apa pun yang kita jalani, mari menjadi gembala yang baik. Jadilah pribadi yang peduli, bertanggung jawab, dan selalu berusaha memberikan yang terbaik bukan hanya demi upah, tetapi demi kebaikan bersama. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga hal-hal yang dipercayakan kepada kita, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih peduli dan harmonis. (*)

 

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.