Memuliakan Martabat Petani dan Nelayan dengan Swasembada Pangan

Melalui Surat Gembala Uskup Suharyo, Gereja telah memberi seruan sekaligus ajakan serius kepada umat untuk memartabatkan petani dan nelayan lokal.

0 118

Katolikana.com — Berkaitan dengan Hari Pangan Sedunia yang jatuh tanggal 16 Oktober 2024, Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, mengeluarkan Surat Gembala yang dibacakan sebagai pengganti homili pada misa mingguan 19-20 Oktober 2024. Dalam suratnya, Uskup Suharyo mengajak umat Gereja di Keuskupan Agung Jakarta untuk mengonsumsi pangan lokal sebagai cara untuk meningkatkan martabat petani dan nelayan.

Kesejahteraan petani dan nelayan menjadi perhatian bersama di tengah tantangan perubahan iklim, lahan yang semakin sempit, kurangnya kualitas penyuluh, sulitnya akses terhadap pasar, dan terbatasnya akses terhadap modal usaha. Belum lagi jika mengingat biaya logistik pangan yang tinggi, kesenjangan infrastruktur, hingga upah yang rendah. Tambahan pula, tingkat ketergantungan terhadap bahan pangan impor yang tinggi turut mengabaikan keanekaragaman konsumsi makanan. Selain itu produk turunan pangan impor turut menimbulkan sampah dan rusaknya lingkungan.

Pidato perdana Presiden Prabowo pasca pelantikan tanggal 20 Oktober 2024 menekankan pentingnya swasembada pangan. Swasembada pangan merupakan kebijakan pemenuhan konsumsi pangan yang harus dipenuhi dari produksi dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Kemandirian pangan ini menjadi sorotan dan prioritas untuk cita-cita Indonesia emas. Hal ini menuntut sikap dan kebijakan yang tepat guna mendukung program swasembada pangan. Penerapan ilmu pengetahuan dengan pendekatan berbasis kearifan lokal yang didukung oleh sumber daya manusia yang memadahi menjadi tolok ukur dalam pencapaian swasembada pangan ini.

Topik tentang swasembada pangan berhubungan langsung dengan petani dan nelayan. Petani dan nelayan merupakan tulang punggung keberlangsungan pangan. Sayangnya, ciri pertanian dan perikanan Indonesia adalah pengolahan lahan yang kecil (small farming and small fishing).

Pengelolaan pertanian dan perikanan ala Indonesia umumnya dilakukan secara individu dengan pola tradisional. Pertanian dan perikanan belum berorientasi terhadap bisnis karena sistem pemasaran yang tidak terintegrasi. Harga bahan pangan lokal yang rendah juga menjadi kendala dalam peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan.

Oleh karena itu, program food estate, alias sistem pengelolaan pertanian berskala besar, yang dinilai gagal oleh banyak pihak, mesti dievaluasi secara serius oleh para pemangku kepentingan. Sementara itu, penangkapan ikan berlebihan (over fishing) oleh oknum tertentu yang menggangu keberlangsungan ekosistem ikan juga harus ditindak tegas.

 

Organisasi Petani dan Nelayan

Korporasi petani dan nelayan dalam bentuk organisasi petani dan nelayan menjadi salah satu cara untuk terwujudnya swasembada pangan. Organisasi petani dan nelayan sebagai wadah belajar akan meningkatkan produksi dan pendapatan serta memudahkan akses terhadap informasi.

Penguatan organisasi petani dan nelayan seperti kelompok tani dan kelompok nelayan akan memaksimalkan komunikasi antar petani dan nelayan. Hal ini kemudian akan mendukung diseminasi inovasi dan teknologi pertanian dan perikanan. Lantas dapat menciptakan petani dan nelayan yang terampil, serta membentuk mindset petani dan nelayan yang berorientasi pasar.

Jaringan informasi dan komunikasi yang terbentuk antar petani/nelayan, antara petani/nelayan dan pemerintah (penyuluh), antara petani/nelayan dan pelbagai pemangku kepentingan akan mendorong pemberdayaan petani dan nelayan, memberikan nilai tambah, serta memperkuat sarana kelembagaan yang mendukung permodalan, pengelolaan dan pemasaran.

Organisasi petani dan nelayan akan melancarkan penyediaan benih, proses produksi, memastikan ketersediaan alat dan mesin serta proses pemasaran.

Dalam organisasi petani dan nelayan akan tercipta proses komunikasi yang berlangsung secara terus menerus, terintegrasi dan timbal balik untuk mendukung anggota dalam rangka pencapaian tujuan bersama yang terarah pada kesejahteraan dan perkembangan pertanian dan perikanan yang berkelanjutan.

Swasembada pangan mestinya mendukung kesejahteraan petani dan nelayan. Petani dan nelayan harusnya memiliki peran penting sekaligus sebagai tokoh utama dalam terciptanya swasembada pangan. Petani dan nelayan (lokal) wajib dilibatkan dalam merancang dan menerapkan pelbagai program yang akan direncanakan.

Hal ini dapat terwujud ketika seluruh elemen masyarakat turut mendukung petani dan nelayan. Cara termudahnya adalah dengan konsisten membeli dan mengonsumsi produk pangan lokal. Dengan demikian, berbekal lahan yang subur, lautan yang luas, ditambah dengan kualitas petani dan nelayan yang mumpuni, serta didukung teknologi maju, Indonesia tidak mustahil mewujudkan swasembada pangan.

Pidato menggebu-gebu Presiden Prabowo untuk mewujudkan swasembada pangan hanya akan menjadi angan-angan belaka jika tidak sungguh-sungguh melibatkan petani dan nelayan lokal. Berkaca pada Surat Gembala yang mengusung tema “Menghargai Pangan Lokal: Memartabatkan Petani dan Nelayan”, Gereja pun telah memberi seruan sekaligus ajakan serius kepada umat untuk memartabatkan petani dan nelayan lokal.

Sama halnya ketika Yesus memberi makan lima ribu orang. Yesus tidak mengambil atau mengimpor makanan itu dari tempat lain. Yesus memberi makan ribuan orang berbekal dari makanan yang ada pada murid-murid-Nya, berupa lima roti dan dua ekor ikan. Mereka semua pun akhirnya makan sampai kenyang dan setelahnya masih tersisa tujuh bakul penuh (Mat. 15:34-38).

Dengan demikian, kekayaaan alam dan keanekaragaman pangan Indonesia, yang didukung oleh organisasi petani/nelayan yang mapan, adalah modal teramat berharga untuk mensejahterakan petani/nelayan dan mencapai swasembada pangan. (*)

 

Editor: Ageng Yudhapratama

Seorang Perencana Keuangan, Hobi Menulis, Umat Paroki Bonaventura Pulomas-Jakarta Timur.

Leave A Reply

Your email address will not be published.