Lewotobi dan Teologi Publik

Dalam perspektif teologi publik, komunitas iman tidak hanya menekankan pengajaran agama, tetapi juga mengupayakan peran aktif dalam mendorong keadilan, solidaritas, dan perdamaian di tengah masyarakat.

0 120

Katolikana.com — Penderitaan akibat bencana alam, seperti yang dialami masyarakat terdampak letusan Gunung Lewotobi, menempatkan teologi publik dalam sorotan yang sangat penting. Di saat-saat seperti ini, teologi publik dihadapkan pada pertanyaan mendesak: bagaimana iman dapat tetap relevan di tengah kesulitan yang nyata, dan bagaimana nilai-nilai keagamaan menjawab krisis yang dialami oleh komunitas?

David Tracy, di dalam Blessed Rage for Order (1975, hlm. 5-6), menegaskan bahwa teologi publik harus mampu memberikan respons nyata terhadap persoalan sosial, tidak hanya terbatas pada refleksi spiritual yang abstrak. Dalam konteks letusan Gunung Lewotobi, peran ini mengharuskan gereja dan komunitas iman hadir secara aktif, tidak hanya menawarkan doa, tetapi juga memberikan dukungan konkret bagi para korban yang kehilangan rumah, harta benda, bahkan orang-orang terkasih.

 

Definisi Teologi Publik

Teologi publik adalah cabang teologi yang berfokus pada keterlibatan aktif dalam persoalan sosial, politik, dan budaya di ruang publik, dengan tujuan memadukan nilai-nilai keimanan dengan kebutuhan serta tantangan masyarakat. Teologi ini bukan sekadar kajian atau renungan spiritual yang terpisah dari kehidupan nyata. Akan tetapi, merupakan suatu disiplin yang berupaya memberikan jawaban konkret terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat luas.

Dalam perspektif teologi publik, komunitas iman tidak hanya menekankan pengajaran agama, tetapi juga mengupayakan peran aktif dalam mendorong keadilan, solidaritas, dan perdamaian di tengah masyarakat.

Sebagai bentuk teologi yang berakar pada tanggung jawab sosial, teologi publik berusaha menjadikan nilai-nilai moral, etis, dan spiritual sebagai landasan dalam merespon berbagai bentuk penderitaan, ketidakadilan, dan krisis sosial. Dengan demikian, teologi publik bukan hanya bersifat reflektif, tetapi juga profetik, mengajak komunitas iman untuk terlibat secara kritis dan konstruktif dalam menghadapi tantangan zaman.

 

Tanggung Jawab Bersama

Bencana letusan Gunung Lewotobi tidak hanya menghancurkan harta benda, tetapi juga menyisakan trauma mendalam dan krisis ekonomi bagi masyarakat setempat. Dalam menghadapi tragedi semacam ini, pemikiran Gustavo Gutierrez tentang tanggung jawab bersama menjadi sangat relevan. Gutierrez, melalui teologi pembebasan, menekankan pentingnya tindakan nyata dalam menghadapi penderitaan sosial, bukan sekadar belas kasih yang pasif (A Theology of Liberation, 1973, hlm. 35-36).

Ketika umat terlibat dalam membantu para korban bencana Lewotobi, yang kehilangan mata pencaharian dan sering kali tidak memiliki akses ke kebutuhan dasar, mereka tidak hanya melaksanakan solidaritas tetapi juga menghidupi nilai-nilai keimanan yang menuntut tanggung jawab kolektif.

Peran teologi publik dalam konteks ini adalah memperkuat pemahaman bahwa iman yang sejati beroperasi dalam ranah sosial, menempatkan dirinya dalam solidaritas aktif bersama mereka yang menderita. Gereja, lembaga keagamaan, dan komunitas iman dapat menggerakkan bantuan material serta mental, membantu para korban memahami bahwa mereka tidak ditinggalkan dalam penderitaan.

Dengan menghubungkan ajaran kasih dalam iman dengan aksi nyata, teologi publik menciptakan jembatan antara nilai-nilai spiritual dan tanggung jawab kolektif dalam menangani penderitaan.

 

Penderitaan dan Kehadiran Allah

Teologi publik juga mengajarkan bahwa kehadiran Allah dapat ditemukan dalam tindakan solidaritas bersama mereka yang menderita. Karl Rahner, dalam konsepnya tentang kehadiran Allah, memperlihatkan bahwa Allah tidak menjauh dalam penderitaan, tetapi justru hadir melalui kepedulian orang-orang di sekitar yang memberikan bantuan (Theological Investigations, vol. 9, 1972, hlm. 156-157).

Ini menunjukkan bahwa Allah hadir di tengah-tengah masyarakat terdampak letusan Gunung Lewotobi melalui cinta kasih yang diwujudkan oleh individu-individu dan komunitas yang memberikan bantuan. Setiap bentuk dukungan, baik itu penyediaan bahan makanan, perawatan kesehatan, atau bahkan pendampingan psikologis, dapat menjadi perwujudan nyata dari kasih Allah yang menguatkan dan mendampingi mereka yang sedang mengalami krisis.

Lebih dari sekadar konsep spiritual, Rahner mengundang umat untuk melihat tindakan belas kasih sebagai perwujudan dari kehadiran Allah di dunia. Dalam menghadapi bencana, komunitas iman dapat menjadi instrumen kasih Allah, merangkul dan mendukung para korban.

Di sinilah, teologi publik memberikan dorongan untuk merespon penderitaan bukan dengan pasrah atau sekadar doa, tetapi melalui aksi yang mewakili kasih Allah yang hidup. Ini adalah bentuk kehadiran Tuhan yang konkret dan menguatkan, di mana iman diwujudkan melalui dukungan dan bantuan nyata bagi mereka yang menderita.

 

Membangun Solidaritas

Jürgen Moltmann, dengan teologi harapannya, menekankan bahwa di tengah krisis, iman tidak boleh berhenti pada doa-doa kosong, tetapi harus menumbuhkan harapan yang hidup melalui tindakan nyata (Theology of Hope, 1967, hlm. 21-22). Di tengah penderitaan pasca-erupsi, harapan bukanlah konsep abstrak, melainkan kekuatan yang membantu para korban untuk bangkit kembali.

Teologi publik dalam situasi ini bukan hanya soal merenungkan makna teologis penderitaan, tetapi menjadi dorongan aktif bagi komunitas untuk terlibat langsung dalam pemulihan mereka yang terkena dampak.

Setiap bantuan yang diberikan kepada korban letusan adalah cerminan dari harapan. Tidak hanya untuk kehidupan di dunia yang akan datang, tetapi juga, yang terpenting, untuk perbaikan dunia di saat sekarang.

Moltmann menunjukkan bahwa harapan yang diperjuangkan melalui teologi publik adalah panggilan bagi semua orang untuk menanggapi penderitaan di dunia ini. Dalam tindakan konkret, teologi publik menyalurkan kekuatan harapan yang memungkinkan korban bencana untuk memulihkan hidup mereka, mengingatkan bahwa di tengah kehancuran, ada kemungkinan untuk bangkit kembali.

Inilah tujuan akhir dari teologi publik: Menjadikan iman sebagai kekuatan yang menyatukan, memperbarui, dan menguatkan masyarakat dalam menghadapi penderitaan. (*)

 

Penulis: Fidelis Roy Malengmahasiswa ilmu filsafat Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, tinggal di Ritapiret, Maumere

Editor: Ageng Yudhapratama

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.