Katolikana.com — Kardinal Suharyo pernah menegaskan pentingnya kehadiran pemerintah dalam menangani isu-isu mendasar masyarakat, yang lebih besar dari sekadar tawaran konsesi tambang.
Pernyataan tersebut kini terasa relevan dalam konteks “persoalan” klasik terkait perizinan tempat ibadah Gereja Mawar Saron di Cirebon.
Sejumlah warga di Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon, menolak rencana penggunaan gudang sebagai tempat ibadah. Warga beralasan minimnya sosialisasi dan transparansi dalam proses perizinan menjadi alasan utama penolakan.
“Kami tidak menerima karena proses perizinannya tidak transparan,” ujar Aris Munanto, salah satu warga setempat, Sabtu (2/11/2024).
Meskipun telah difasilitasi pertemuan oleh Camat Lemahwungkuk, Adam Wallesa, untuk menjaga kerukunan, sebagian warga masih menyatakan penolakan.
Pendirian gereja ini sebenarnya sudah mendapat rekomendasi dari lurah dan Kementerian Agama, namun masih menunggu persetujuan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Cirebon.
Ketua FKUB, Abdul Hamid, seperti ditulis detik.com, menyatakan bahwa pihaknya belum bisa mengeluarkan rekomendasi karena menunggu situasi kondusif di tengah masyarakat.
Penolakan tempat ibadah terjadi lagi, kali ini di Cirebon. Padahal, pihak gereja sudah mengantongi izin dari kelurahan dan Kementerian Agama.
Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? pic.twitter.com/8JpA1hwRAn
— Narasi Newsroom (@NarasiNewsroom) November 7, 2024
FKUB Berperan Seperti Otoritas Tertinggi
Ironisnya, posisi FKUB dalam kasus ini seolah melampaui otoritas pemerintah setempat dan Kementerian Agama. Sebagai lembaga non-pemerintah yang dibentuk untuk menjaga kerukunan, FKUB tampak memiliki kekuasaan yang bahkan “menggantung” keputusan dari pemerintah resmi. Ini memunculkan pertanyaan, mengapa peran FKUB bisa menjadi penghalang bagi lembaga pemerintah yang sebenarnya memiliki landasan hukum yang jelas, seperti UUD 1945.
Alasan “situasi kondusif” yang disampaikan FKUB sebagai dasar untuk menunda rekomendasi menjadi polemik tersendiri. Apakah wajar jika ketidaksetujuan segelintir pihak lebih diutamakan daripada penegakan hukum dan aturan yang sudah sah?
Pentingnya Sikap Tegas dari Pemerintah
Jika forum non-pemerintah seperti FKUB tampak memiliki “hak veto” atas keputusan pemerintah, maka peran pemerintahan menjadi dipertanyakan. Bukankah tujuan FKUB adalah untuk mendukung kerukunan, bukan malah menghambatnya? Dalam negara yang berlandaskan Pancasila, semua agama dijamin keberadaannya tanpa diskriminasi. Mengedepankan “keberatan” dari pihak tertentu sebagai syarat perizinan justru bisa menimbulkan perpecahan.
Meminta maaf atas penundaan rekomendasi bukanlah tindakan mulia jika itu berarti mengabaikan aturan hidup bersama yang berlaku. Semua pihak seharusnya menghormati dasar hukum yang ada tanpa menabrak prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Perlu Refleksi Kebangsaan
Sebagai bangsa yang hidup dalam keberagaman, saatnya masyarakat dan pemerintah bertindak lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan adalah hal yang lumrah dan harus diterima dengan lapang hati, bukan terus-menerus disikapi dengan keberatan-keberatan yang berlarut. Banyak permasalahan seperti ini seharusnya bisa diatasi dengan pendekatan yang lebih mendidik, bukan dengan menyisihkan pihak yang berbeda.
Seringkali, alasan “salah paham” atau “kurangnya sosialisasi” dijadikan dalih, padahal masalahnya bisa jadi lebih mendalam: sikap picik yang menganggap keberadaan pihak lain sebagai ancaman. Alasan kesalehan agama yang seharusnya menambah kedamaian malah digunakan untuk menabrak aturan bersama dan mengabaikan nilai esensial Bhineka Tunggal Ika.
Pancasila sebagai dasar negara jangan hanya menjadi hiasan di dinding kantor. Saatnya kita, sebagai warga negara, melihat keberagaman sebagai kekuatan yang harus dijaga, bukan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan pihak lain. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.