Katolikana.com — Saya usia 35 tahun, pasangan saya berusia 31 tahun. Kami telah berpacaran selama 15 tahun sejak SMA. Tahun 2019, pasangan saya mengalami kehamilan di luar nikah.
Setelah saya menghadap orang tuanya dan ingin mengajukan pernikahan selama janin yang dikandung masih usia dua bulan keluarga perempuan pun menyetujui dengan syarat menikah gereja sekaligus nikah secara budaya dengan mahar yang sudah pihak perempuan tentukan dan disepakati bersama.
Di tengah perjalanan, kedua keluarga mengalami miskomunikasi sehingga pernikahan kami ‘digantungkan’ sampai anak kami lahir dan sekarang berusia lima tahun. Selama itu kami berdua tetap menjalin hubungan baik meski terkadang kami masih punya ego yang besar.
Sesekali saya meminta pasangan untuk berjumpa dengan anak kami. Namun, pasangan saya terlalu takut terhadap keluarganya sehingga dalam waktu lima tahun saya hanya bisa bertemu anak tiga kali saja. Itu pun tidak lama karena ada ketakutan dari pasangan saya. Namun kami selalu berkomunikasi baik lewat telepon dan WhatsApp.
Seiring berjalannya waktu sekarang pasangan saya hamil lagi dengan saya, dan sekarang sudah mengingak dua bulan.
Mohon bimbingan pencerahan bagi saya dan pasangan. Saya berkeinginan untuk menghadap orang tua dan mengakui perbuatan kami berdua. Mohon bimbingannya.
Saya berniat sekali untuk menikah, pasangan saya pun mau menikah tetapi masih takut pada keluarganya karena mahar dan sebagainya.
Yansen
Saudara Yansen, terima kasih pertanyaan Anda ini. Dari kisah kasus Anda ini, saya menangkap ada 3 masalah utama Anda. Pertama, soal persetubuhan di luar nikah. Kedua, soal komunikasi yang sangat buruk. Ketiga, soal ketidak-pahaman pada perkawinan Katolik. Ketiga masalah utama ini perlu Anda sadari sebelum Anda melangkah ke perkawinan Katolik.
Mengapa melakukan persetubuhan di luar nikah?
Ada banyak kasus perkawinan yang ternyata diawali dengan persetubuhan di luar nikah. Tetapi, akhirnya memilukan. Konflik berkepanjangan terjadi dalam keluarga. Mengapa terjadi demikian?
Alasannya sangat umum: karena tujuan utama menjalin pacaran hanya memuaskan nafsu, hanya untuk melampiaskan dorongan seks. Keduanya menikah hanya karena sudah kebobolan alias hamil di luar nikah. Setelah menjadi pasangan, lalu kasih sayang di antara mereka menjadi luntur. Istilah umumnya: habis manis sepah dibuang.
Saudara Yansen perlu bertanya pada diri sendiri: apa alasan Anda mau menikah? Jika tujuannya semata-mata agar bisa melakukan persetubuhan, maka Anda tidak perlu menikah secara agama. Sebab, jika hanya itu alasannya, perkawinan Anda tidak punya makna, dan bisa menghadapi berbagai konflik atau masalah.
Ini sebenarnya sudah mulai ada buktinya, sesuai kisah Anda di atas. Tetapi, jika Anda mau menikah karena Anda mau membangun sebuah keluarga, yang adalah Gereja kecil, ya silakan menikah secara agama.
Dalam ajaran Katolik, keluarga itu merupakan Gereja kecil, tempat di mana Sabda Allah diwartakan dan dihidupi. Tidak hanya itu, bagi Katolik, perkawinan itu merupakan panggilan. Allah sendiri yang memanggil suami-istri untuk bersatu dalam ikatan perkawinan.
Lalu, Tuhan Allah bersabda: “mereka bukanlah lagi dua, melainkan satu daging. Apa yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Mat 19: 5-6; Mark 10: 7-10).
Perkawinan di antara orang-orang yang dibaptis diangkat oleh Tuhan Yesus sebagai Sakramen (bdk. KHK Kanon 1055). Kita pahami sakramen sebagai sarana dan tanda keselamatan Allah bagi manusia.
Artinya, melalui perkawinan, pasutri semakin kudus, semakin hari semakin baik, sehingga melalui perkawinan itu pasutri akan memperoleh keselamatan. Lalu, mengapa memulai perkawinan dengan perbuatan dosa: bersetubuh di luar nikah? Apa makna perkawinan bagi Anda?
Perkawinan itu menyimbolkan hubungan antara Yahweh dengan umatNya Israel; dan menyimbolkan hubungan kasih antara Yesus dengan GerejaNya.
Di sini, kuncinya adalah kesetiaan. Hanya kematian yang memisahkan pasutri. Maka, semestinya perkawinan diawali dengan persiapan yang baik, dan bukan justru diawali dengan perbuatan dosa!
Komunikasi yang sangat buruk
Menarik kisah Anda ini. Anda menjalin hubungan pacaran cukup lama, 15 tahun. Tetapi, baru menghadap orangtua perempuan, setelah hamil di luar nikah. Pertanyaannya: apakah Anda mau menghadap orangtua pacar Anda jika tidak ada masalah kehamilan?
Mengapa selama puluhan tahun berpacaran lalu tidak membangun komunikasi yang baik dengan orangtua pacar Anda? Setelah ada masalah hamil di luar nikah, Anda masih menyalahkan orangtua pacar Anda dengan berdalih: digantungkan perkawinan kami.
Coba masuk dalam hati Anda, adakah orangtua yang tidak malu jika anak perempuannya hamil di luar nikah? Maka, sikap yang lebih bijak, bukan menyalahkan orangtuanya, tetapi bertanggung-jawab dan meminta maaf atas perbuatan tak terpuji Anda.
Tidak hanya itu, Anda juga menyalahkan pacar Anda, dengan berkata: “pasangan saya ini juga terlalu takut terhadap keluarganya”.
Berhentilah untuk menyalahkan orang lain. Kini saatnya melakukan pertobatan bukan menyalahkan. Salah satu wujud dari pertobatan dan tanggung jawab Anda adalah Anda mau mengesahkan perkawinan Anda secara Katolik.
Soal ketidak-pahaman pada perkawinan Katolik
Tidak sedikit orang yang salah memahami perkawinan. Dikira bahwa perkawinan itu hanya untuk melahirkan anak, hanya untuk melakukan persetubuhan. Maka, ketika menjalin pacaran, mudah sekali jatuh pada hubungan seks di luar nikah. Ketika sudah menikah pun, begitu gampang melakukan perceraian. Ini terjadi di mana-mana.
Oleh karena itu, saya usul agar para Romo yang menangani persiapan perkawinan seperti orang-orang dalam kisah ini, perlu sangat teliti. Jangan-jangan calon pasutri ini, punya pemahaman yang salah mengenai perkawinan. Para Romo perlu menyelidiki, jangan-jangan orang ini memiliki kekeliruan mengenai sifat perkawinan yang monogami, tak terceraian dan sakramental (bdk. KHK Kanon 1099).
Jika terjadi ini, maka orang tersebut mengidap “error iuris” alias keliru mengenai aturan hukum atas sifat hakiki perkawinan. Selain itu, perlu diselidiki secara memadai soal motivasi untuk menikah, jangan-jangan hanya untuk memuaskan nafsu seksual. Ini tentu akan mempersempit makna perkawinan. Seolah-olah perkawinan hanyalah obat nafsu seksual. Dan, tampaknya Anda tak menganggap serius perbuatan dosa seksual.
Dalam kisah Anda di atas, ada hal lain yang perlu menjadi perhatian: setelah lahir anak pertama, Anda tidak satu rumah dengan wanita pacar Anda itu. Hanya sesekali bertemu. Tetapi, Anda bukan justru berjuang mengesahkan perkawinan, tetapi malah melakukan persetubuhan terus sehingga sang pacar hamil lagi, usia kandungan 2 bulanan.
Apakah jika Anda menikah sah secara Katolik dengan pacar Anda ini, Anda mau hidup bersama dengannya dalam satu rumah? Dengan berkomitmen menikah sah secara Katolik, maka Anda mesti membangun hidup bersama dalam satu keluarga, dalam satu ranjang, dan tidak pisah ranjang.

Sungguh mau menikah?
Sekali lagi, Anda sudah menjalin relasi dengan pacar Anda itu selama puluhan tahun. Jika hambatan perkawinan Anda adalah “mahar” perkawinan, mengapa selama puluhan tahun itu, Anda tidak fokus mempersiapkan perkawinan dengan menyiapkan mahar? Mengapa justru mengambil langkah buruk: melakukan persetubuhan? Mengapa yang dilakukan adalah yang “memuaskan Anda” dan tidak justru “berjuang bertindak benar”?
Saya kira, hambatan Anda bukanlah mahar perkawinan, tetapi “keseriusan Anda” belum ada. Saya ajak Anda berhitung (tentu ini hanyalah contoh praktis agar Anda merenungkan perjuangan hidup Anda). Anda sudah menjalin relasi dengan pacar Anda itu selama kurang lebih 20 tahun (15 tahun masa pacaran dan 5 tahun setelah anak pertama lahir).
Jika selama 20 tahun itu, misalnya, Anda menyimpan uang sebesar 6 juta per tahun (Rp 500 ribu per bulan), maka Anda seharusnya sudah memiliki minimal Rp 120 juta. Baiklah kita hitung secara presisi. Anda mengatakan bahwa Anda pacaran sejak SMA.
Jika Anda kerja usai tamat SMA, berarti Anda sudah punya waktu 17 tahun masa kerja sejak menjalin relasi pacaran dengan wanita idaman Anda itu. Artinya, Anda minimal sudah punya uang sebesar Rp 102 juta (jika Anda menyimpan penghasilan Rp 6 juta per tahun). Dengan uang sebesar itu, Anda bisa mengatasi mahar perkawinan Anda. Apalagi jika keluarga besar Anda membantu Anda untuk menyanggupi sebagian mahar perkawinan Anda.
Mengapa saya singgung soal hitung-hitungan uang penghasilan ini? Alasannya sederhana: jika seseorang punya perencanaan hidup, misalnya tentang rencana perkawinan, maka ia perlu mempersiapkan diri, harus berjuang!
Jika Anda sungguh mau menikah dengan pacar Anda ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
Pertama, berhenti menyalahkan pacar Anda dan orangtuanya. Anda semestinya dengan rendah hati bertanggung-jawab sehingga kalian hidup satu rumah dalam perkawinan yang sah.
Kedua, berkomunikasi dengan baik dengan pacar Anda dan juga orangtuanya. Ajak juga orangtua Anda atau keluarga besar Anda untuk membicarakan terkait mahar dan adat-istiadat perkawinan sesuai suku Anda. Dalam kesediaan Anda terbuka kepada keluarga Anda, bisa terbuka solusi bagaimana menyelesaikan soal mahar perkawinan sesuai adat-istiadat perkawinan suku Anda.
Ketiga, usahakan agar Anda mengesahkan perkawinan Anda secara Katolik. Anda perlu datang kepada pastor paroki. Jika Anda sedang di perantuan, maka datang ke pastor paroki di mana Anda tinggal. Sebab, menurut hukum Gereja Katolik, seseorang yang sudah memiliki kuasi domisili di suatu tempat (misalnya di perantauan), ia dapat meminta pelayanan Gereja (bdk. Kanon 102; Kanon 1115). Silakan ikuti proses persiapan perkawinan yang ditawarkan oleh paroki, termasuk kursus persiapan perkawinan.
Demikian tanggapan saya. Tuhan memberkati. (*)
Pastor Postinus Gulö, OSC adalah penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjauan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022). Kini, mahasiswa Doktoral Hukum Gereja di Pontificia Universitá Gregoriana, Roma, Italia.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.