Aenokirua, Titik Singgah Santo Fransiskus Xaverius di Pulau Flores

0 107

Katolikana.com, Sikka — Setelah menyaksikan hamparan padang rumput yang begitu luas, kamu harus menyusuri bibir pantai, menghadapi terjangan ombak, dan bahkan harus memanjat tebing bebatuan untuk menemukan tempat ini. “Namanya ‘Aenokirua’, yang berarti ‘Air Pastor’,” tutur Thomas Moa.

“Meskipun rute yang dilaluli sangat sulit, tetapi orang-orang selalu datang untuk menimbah berkat dari sini,” jelasnya lagi.

Thomas Moa adalah seorang Mosa Laki (pemimpin adat) Kampung Nangarasong, Desa Kolisia, Kecamatan Maumere Timur, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia yang menjadi pemandu kami untuk mencapai tujuan perjalanan kali ini.

Di Aenokirua yang jauh dari hiruk-pikuk modernisasi ini, ternyata Allah menyimpan sebuah rahasia yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Persis di tempat ini terdapat sebuah mata air yang dipercaya sebagai sumber air yang memancarkan berkat.

Masyarakat setempat percaya mata air diberkati oleh Santo Fransiskus Xaverius, seorang misionaris besar Gereja Katolik yang dahulu kala mewartakan misi ke Asia Timur Jauh. Dalam perjalanan misinya dari Maluku ke Malaka, Santo Fransiskus Xaverius sempat singgah di pulau Flores, tepatnya di Kampung Nangarasong.

Setidaknya itulah yang diyakini oleh masyarakat setempat melalui kisah lisan turun-temurun.

 

Sejarah Santo yang Kehausan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Aenokirua adalah sebuah situs wisata rohani yang berupa sebuah mata air yang terdapat di pinggir pantai Nangarasong, Desa Kolisia. Apa yang membedakan Aenokirua dari mata air yang lainnya adalah kisah ajaib yang ada di baliknya.

Tentu saja, kisah kedatangan Santo Fransiskus Xaverius ke kampung tersebut tidak pernah tertulis dalam buku-buku sejarah misi Gereja Katolik di Indonesia. Kisah ini hanya diwariskan secara turun-temurun melalui tradisi lisan para leluhur Kampung Nangarasong.

“Sejak kecil, kami diajarkan oleh Ine dan Ema (Bapak dan Ibu) kami tentang kisah yang ada di balik Aenokirua. Dan kami yakin tentang kebenarannya,” demikian tegas laki-laki berumur 65 tahun tersebut.

Konon, dalam perjalannya menuju Malaka, Santo Fransiskus bersama para “algojonya”  kehabisan persediaan air. Demi menghilangkan dahaganya, ia kemudian menyuruh kapten perahu layar (dalam Bahasa Lio atau bahasa lokal setempat, lambo) untuk segera bersandar di pulau terdekat dan mencari air minum.

Singkat cerita, pulau yang dianggap paling dekat waktu itu adalah Pulau Flores yang pada masa itu lebih sering disebut sebagai salah satu pulau dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil.

Ketika sampai di Kampung Nangarasong, Santo Fransiskus Xaverius bersama para “algojonya” membawa banyak tempayan lalu mengetuk pintu rumah warga untuk meminta air minum. Naasnya, akibat situasi penjajahan yang dilakukan oleh negara Eropa (waktu itu Portugis), masyarakat lokal memiliki kecemasan dan kecurigaan kuat terhadap orang-orang kulit putih.

Maka, alih-alih memberikan air minum, warga kampung Nangarasong justru bersembunyi. Mereka menyuruh anak-anak mereka untuk masuk ke dalam rumah agar tidak bertemu para “algojo” Santo Fransiskus. 

“Mereka bilang orang kulit putih itu memiliki kebiasaan untuk memakan manusia. Mereka tidak pernah tahu bahwa yang datang ke hadapan mereka adalah bapa tua itu (Santo Fransiskus Xaverius),” imbuh Thomas Moa dengan raut wajah sedikit sedih.

Menghadapi kenyataan itu, St. Fransiskus Xaverius tetap berupaya dengan lembut mengetuk setiap pintu rumah demi meminta air untuk mengisi tempayannya.

“Namun, di kampung ini, Nangarasong ini, tidak ada satu orang pun yang ‘layak’ memberi bapa tua (Santo Fransiskus Xaverius) air.” Akhirnya, Santo Fransiskus Xaverius pun kembali ke lambo yang bersandar di Kolisia dengan tangan hampa.

Dengan kondisi yang masih kehausan, Santo Fransiskus Xaverius akhirnya pergi lagi menghampiri sebuah tebing yang terdapat di pinggir pantai. Beliau berdoa di situ. Pada akhir doanya, beliau menancapkan tongkat miliknya ke tebing.

Mukjizat pun terjadi. Dari balik tebing, keluarlah air yang sampai sekarang disebut sebagai Aenokirua. Uniknya, di antara kenyataan sulitnya bagi masyarakat setempat untuk menggali sumur yang mengandung air tawar, Aenokirua justru tampil kontras dengan kesegaran air tawarnya.

Selain itu, sebelun St. Fransiskus Xaverius meninggalkan pulau Flores, ia menancapkan tongkat miliknya tepat di depat Aenokirua. Konon diyakini bahwa tongkat tersebut kemudian berubah menjadi tumbuhan rotan. Sayangnya, menurut pengakuan masyarakat sekitar rotan itu kemudian terbawa arus laut saat terjadi tsunami Flores pada tahun 1992.

Pemandangan senja di mata air Aenokirua. Masyarakat setempat percaya bahwa Aenokirua merupakan peninggalan sejarah dari St. Fransiskus Xaverius. (Foto: Dominikus Zinyo Darling)

 

Berkat di Balik Kutuk

Ada suatu kisah menarik dibalik terlahirnya Aenokirua. Kisah yang sudah tertanam kuat dalam hati dan pikiran masyarakat Nangarasong. Kisah ini sangat berpengaruh bagi kehidupan umat Nangarasong, khusunya dalam usaha mereka untuk menyekolahkan anak dan cucu mereka untuk menjadi imam dan biarawan/biarawati.

Menurut cerita, ketika Santo Fransiskus Xaverius mengalami penolakkan dari masyarakat Nangarasong, beliau sempat marah dan mengeluarkan sebuah kalimat yang sebenarnya mengandung makna “kutukan” untuk masyarakat Nangarasong.

“Dengarlah kamu orang-orang sini, orang Nangarasong ini, sampai tujuh turunan dalam keluarga kalian, tidak akan ada yang bisa menjadi pastor ataupun biarawan/biarawati!” demikian Thomas Moa mengulang kembali kalimat yang diutarakan Santo Fransiskus Xaverius saat itu.

Hal ini lantas terbukti seiring perjalanan waktu. Selama ini, banyak putra dan puteri dari Kampung Nangagrasong yang selalu gagal ketika menjalani masa formasi, baik untuk menjadi imam maupun biarawan/biarawati.

Namun, ketika ditanya lebih lanjut tentang kaitan hal ini dengan kutukan Santo Fransiskus Xaverius, Thomas Moa mengatakan bahwa mereka tetap selalu berusaha agar anak-anak mereka bisa layak dipanggil Tuhan untuk bekerja di kebun anggur-Nya.

“Kalaupun dulu nenek moyang kami tidak layak memberikan air kepada St. Fransiskus, semoga di masa yang akan datang doanya juga bisa menuntun anak-anak kami untuk menjadi pastor dan biarawati,” ucapnya penuh harap.

Meskipun kisah kutukan ini menyisakan secuil kesan kurang baik bagi umat setempat, mereka tetap yakin bahwa Aenokirua adalah sebuah berkat yang diberikan oleh Tuhan melalui tangan Santo Fransiskus Xaverius. Hal ini terbukti dengan banyaknya mukjizat yang diterima oleh masyarakat sekitar dari air ini.

“Air ini telah membuat banyak orang mendapatkan rahmat kesembuhan dari Tuhan. Ketika kita percaya bahwa air ini adalah berkat bagi kami (dan semua pengunjung), maka Tuhan akan memberikan berkat,” tambah Thomas Moa.

Sampai saat ini, sudah begitu banyak orang yang datang untuk melihat, berdoa dan mengambil berkat dari mata air Aenokirua. Pengunjung itu bahkan tidak hanya berasal dari Pulau Flores, tetapi juga dari luar Flores bahkan di luar Indonesia. Ramainya kedatangan pengunjung membuat masyarakat melihat hal ini sebagai potensi bagi masyarakat untuk menjadikan Aenokirua  sebagai tempat wisata rohani yang terkenal.

Sayangnya sampai saat ini, Aenokirua belum terlalu mendapatkan perhatian yang lebih serius, baik dari pihak pemerintah maupun Gereja setempat. Setidaknya, hal ini dapat dilihat minimnya akses untuk mencapai Aenokirua.

“Di balik usaha kami untuk membuat Aenokirua tetap mengalirkan berkat bagi semua orang, sebenarnya kami juga tetap butuh perhatian mereka (pemerintah dan Gereja),” aku Thomas Moa. (*)

 

Penulis: Dominikus Zinyo Darlingkontributor Katolikana.com di NTT

Editor: Ageng Yudhapratama

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.