Ketika Ibadah Natal GPDI Bogor Dihalangi Warga

Di Mana Seruan KWI dan PGI untuk Melawan Persekusi?

0 182
Susy Haryawan (Foto: Dokumentasi pribadi)

Katolikana.com—Desember, yang seharusnya menjadi bulan penuh sukacita menjelang Natal, kembali diwarnai kisah pilu. Kali ini, peristiwa di Bogor menjadi pengingat bahwa kebebasan beribadah di Indonesia—negara yang menjunjung tinggi Pancasila dan kebhinekaan—masih menjadi tantangan besar.

Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Tegar Beriman di Bogor harus merayakan Natal dalam keterbatasan setelah sekelompok orang secara sepihak menolak pemberitahuan ibadah Natal yang mereka ajukan. Bogor, yang hanya berjarak sekitar 60 kilometer dari Jakarta sebagai ibu kota, kembali mencatatkan pelarangan ibadah atas nama izin.

Mirisnya, beberapa pihak mendatangi rumah pendeta GPdI dan menolak memberi “restu” untuk ibadah Natal. Padahal, surat pemberitahuan telah disampaikan sebelumnya ke pemerintah, termasuk RT, Polsek, dan Koramil, sesuai prosedur yang berlaku.

Namun, sekelompok orang tetap bersikeras menolak. Mereka bahkan memasang portal untuk menghalangi akses ke rumah pendeta yang juga menjadi lokasi ibadah. Demi menjaga keadaan kondusif, akhirnya ibadah Natal terpaksa dipindahkan ke lapangan perumahan.

Menurut pendeta GPdI Tegar Beriman, Nicky Jefta Wakari, sebagai penanggung jawab dan pemimpin jemaat, mereka telah memenuhi kewajiban administratif. Namun, tekanan dan tindakan sepihak memaksa jemaat merayakan Peringatan Kelahiran Sang Juru Selamat dalam suasana yang jauh dari ideal.

Ini bukan kali pertama persekusi berbasis agama terjadi di Indonesia. Sayangnya, kejadian serupa kemungkinan besar akan terus berulang jika negara absen dalam menjamin kebebasan beribadah, dan solidaritas antarorganisasi keagamaan tetap lemah.

Pimpinan jemaat GPdI Tegar Beriman, Nicky Jefta Wakari. (x.com/JhonSitorus_18)

Ke Mana KWI dan PGI?

GPDI, seperti banyak gereja lainnya, adalah bagian dari komunitas Gereja di Indonesia. Namun, mereka sering kali dibiarkan berjuang sendirian menghadapi tekanan mayoritas. Tidak terdengar seruan dari organisasi seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) atau Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Padahal, suara mereka sangat dibutuhkan untuk memberikan dukungan moral kepada jemaat yang tertekan sekaligus menekan pihak berwenang agar bertindak adil.

KWI dan PGI, sebagai representasi utama umat Kristen di Indonesia, memiliki peran seperti orang tua dalam sebuah keluarga besar. Ketika salah satu anak mereka mengalami penindasan, mereka seharusnya hadir untuk menenangkan, mendukung, dan membela. Namun, dalam banyak kasus seperti GPDI di Bogor, suara mereka terlalu sering absen atau hanya berupa sikap lunak yang tidak berdampak signifikan.

Penindasan atas nama mayoritas sering kali dibiarkan oleh aparat yang justru seharusnya menjadi pelindung kebebasan beragama. Alih-alih bertindak tegas, aparat keamanan kerap meminta pihak minoritas untuk “mengalah demi harmoni.” Harmoni macam apa yang dibangun jika kelompok minoritas terus menerus diminta untuk menyesuaikan diri dengan tirani mayoritas?

Pancasila dan UUD 1945 sudah jelas menjadi dasar negara ini. Kebebasan beragama adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Namun, mengapa Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri atau Peraturan Daerah yang diskriminatif lebih sering menjadi pedoman di lapangan? Ketidakpahaman aparat terhadap prinsip dasar ini menjadi salah satu akar masalah.

Seruan untuk PGI dan KWI

PGI dan KWI memiliki kekuatan moral untuk mengubah situasi ini. Sebagai organisasi keagamaan tingkat nasional, mereka harus lebih berani dalam menyuarakan kebenaran, menuntut keadilan, dan menyerukan tindakan nyata dari pemerintah.

Tidak cukup hanya mengandalkan narasi kasih dan pengampunan tanpa menghadirkan keadilan. Keduanya harus menjadi suara yang menuntut keberanian dari pihak-pihak berwenang—Kemenag, Kapolri, dan Panglima TNI—untuk menegakkan hukum sesuai dengan konstitusi.

Duduk bersama dalam dialog lintas agama di tingkat pusat, melibatkan semua elemen—pemerintah, aparat keamanan, dan organisasi keagamaan—adalah langkah awal yang penting. Pesan utamanya sederhana: negara ini berlandaskan Pancasila, bukan hukum agama tertentu.

Persekusi seperti yang dialami GPdI di Bogor adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila. Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya mencederai hak minoritas tetapi juga merusak tatanan sosial kita. KWI dan PGI harus hadir untuk membela “anak-anaknya” sekaligus menegur pihak-pihak arogan yang melanggar norma hidup bersama.

Pancasila tidak boleh menjadi pajangan. Ia harus menjadi pedoman nyata dalam menjaga keharmonisan dan keadilan bagi semua umat beragama. Dengan langkah berani dan seruan moral yang tegas, KWI dan PGI dapat memainkan peran penting dalam menghentikan siklus persekusi berbasis agama yang terus berulang.

Indonesia adalah rumah bersama. Natal adalah perayaan kasih, tetapi kasih sejati juga menuntut keadilan. Mari bersikap tegas untuk memastikan tidak ada lagi kisah pilu yang mewarnai Desember di negeri ini. (*)

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.