

Katolikana.com—Di tengah derasnya arus globalisasi dan kompleksitas krisis multidimensi, Indonesia memiliki kekuatan unik yang berakar dari budaya leluhur: gotong-royong. Lebih dari sekadar kebiasaan, gotong-royong adalah pilar ketahanan bangsa yang terbukti mampu mengatasi berbagai tantangan, baik di masa lalu maupun masa kini.
Namun, bagaimana kita merawat dan menghidupkan kembali nilai luhur ini di era modern yang dipenuhi individualisme dan sekat-sekat perbedaan?
Menurut Koentjaraningrat (1974) gotong-royong adalah identitas bangsa Indonesia yang telah teruji oleh waktu dan sejarah. Konsep ini menegaskan kebersamaan di atas egoisme, di mana kepentingan kolektif menjadi tujuan utama.
Sudjito dalam artikel berjudul Reinventing Gotong Royong (2014) menyebut bahwa gotong-royong merupakan prinsip nilai yang tidak bisa ditawar. Ini adalah warisan leluhur yang memandu bangsa melewati masa-masa sulit, dari perjuangan kemerdekaan hingga krisis sosial yang mengguncang.
Bukti paling nyata terlihat saat pandemi COVID-19 melanda. Ketika banyak negara kelimpungan menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi, masyarakat Indonesia tampil dengan solidaritas luar biasa. Gerakan dapur umum, donasi masker gratis, hingga relawan kesehatan menjadi wajah gotong-royong modern.
Menko PMK era Jokowi, Muhadjir Effendy, bahkan menyebut lebih dari 70% masyarakat Indonesia terlibat dalam kegiatan sosial berbasis komunitas. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan bukti bahwa gotong-royong adalah modal sosial yang hidup dan efektif.
Namun, meski kuat secara historis, semangat ini kini menghadapi tantangan besar. Individualisme, polarisasi politik, dan gaya hidup konsumtif yang ditopang oleh teknologi modern telah meredupkan makna kebersamaan di beberapa lapisan masyarakat. Tidak sedikit yang kini lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan bersama.
Tantangan di Era Modern
Di era digital, fenomena viral sering kali dijadikan pengadilan kebenaran mutlak. Ironisnya, budaya konsumsi dan persaingan individual telah merenggangkan ikatan sosial. Kepedulian bergeser ke lingkaran kecil: diri sendiri dan keluarga inti. Di tengah perubahan ini, nilai gotong-royong seakan kehilangan relevansinya.
Namun, krisis demi krisis membuktikan bahwa semangat gotong-royong tetap menjadi garda terdepan ketahanan bangsa. Ketika gempa bumi mengguncang Cianjur (2022), masyarakat tanpa komando langsung turun tangan membantu. Warga bahu-membahu mengevakuasi korban, mendirikan posko, dan menyuplai kebutuhan dasar. Ini bukan hanya aksi spontan, tetapi cerminan bahwa di balik individualisme, gotong-royong masih hidup.
Salah satu contoh inspiratif datang dari Desa Buakkang, Sulawesi Selatan. Karena kesal setelah lima tahun tak diperhatikan, warga membangun sendiri jembatan yang dulu roboh diterjang longsor. Mereka bersatu membangun jembatan penghubung menggunakan dana swadaya masyarakat.
Tanpa bergantung pada birokrasi pemerintah, mereka menghidupkan kembali semangat gotong-royong sebagai solusi konkret atas permasalahan infrastruktur yang telah bertahun-tahun diabaikan. Ini membuktikan bahwa gotong-royong bukan hanya narasi romantis masa lalu, melainkan strategi nyata yang dapat memecahkan persoalan hari ini.
Gotong-Royong dan Ketahanan Nasional
Dalam konteks ketahanan nasional, gotong-royong memainkan peran vital di berbagai sektor kehidupan. Ketahanan sosial, misalnya, dapat terjaga dengan merangkul kebersamaan lintas suku, agama, dan budaya. Ini adalah modal utama dalam mencegah perpecahan dan polarisasi yang kerap menghantui bangsa.
Ketahanan ekonomi juga tidak bisa dilepaskan dari semangat gotong-royong. Koperasi, UMKM, dan ekonomi berbasis solidaritas warga telah terbukti menjadi fondasi kuat dalam menopang kesejahteraan lokal. Di masa sulit, seperti saat pandemi, banyak desa yang berhasil bertahan karena adanya kolaborasi ekonomi berbasis gotong-royong.
Sementara itu, dalam penanganan bencana, gotong-royong menjadi elemen kunci yang memastikan pemulihan berjalan cepat. Baik dalam wujud tenaga sukarela, sumbangan dana, atau gerakan solidaritas, masyarakat Indonesia selalu berada di garis depan ketika bencana melanda. Ketahanan ini lahir dari rasa tanggung jawab kolektif yang mendorong aksi nyata tanpa menunggu arahan pemerintah.
Menghidupkan Roh Gotong-Royong
Tantangan modern harus dijawab dengan pendekatan kreatif agar gotong-royong kembali menjadi roh kehidupan bermasyarakat. Dimulai dari lingkungan terkecil, semangat kebersamaan bisa dihidupkan dengan membantu tetangga, ikut serta dalam kegiatan sosial, atau membangun komunitas berbasis kepedulian.
Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi dalam membangun desa mandiri berbasis gotong-royong. Pengembangan ekonomi kreatif, pembangunan infrastruktur, dan pengelolaan sumber daya lokal harus dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pendidikan karakter juga memegang peran penting dalam menanamkan nilai gotong-royong sejak dini, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga.
Gotong-royong adalah kekuatan bangsa yang khas yang dimiliki Indonesia. Di saat dunia berlomba menciptakan teknologi canggih untuk mempertahankan diri, Indonesia memiliki senjata yang jauh lebih ampuh: solidaritas. Ini bukan hanya warisan budaya, tetapi juga strategi ketahanan nasional yang relevan hingga hari ini.
Di tengah tantangan global dan pergeseran nilai-nilai sosial, gotong-royong harus dijaga sebagai fondasi utama kehidupan bermasyarakat. Dengan merawat semangat ini, kita tidak hanya bertahan, tetapi juga bergerak maju sebagai bangsa yang kuat, bersatu, dan tangguh. Gotong-royong bukan sekadar kata, melainkan aksi nyata yang akan terus menghidupi Indonesia hingga generasi mendatang. (*)
Penulis: Jihan Nenci Meilinda, Mahasiswi STKIP Widya Yuwana Madiun Jurusan Ilmu Pendidkan Teologi

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.