

Oleh Christoforus Purnama More
Katolikana.com—Pembangunan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta diresmikan pada Desember 2024. Dengan panjang 34 meter, terowongan ini diklaim sebagai simbol persatuan dalam keberagaman, sebuah upaya yang terlihat mulia di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
Paus Fransiskus sempat memuji Terowongan Silaturahmi sebagai simbol persaudaraan bangsa Indonesia. Menurutnya, terowongan ini mencerminkan dialog dan pengalaman spiritual yang memperkuat hidup bersama dalam solidaritas.
“Ini adalah pengalaman nyata persaudaraan dalam iring-iringan solidaritas dan peziarahan suci,” ujar Paus Fransiskus saat berkunjung ke Masjid Istiqlal (Kamis, 5/9/2024).
Namun, pertanyaannya: apakah simbol ini benar-benar berdampak pada tumbuhnya toleransi, atau hanya menjadi gimmick politik yang tidak menyentuh akar masalah intoleransi di negeri ini?
Presiden Prabowo Subianto, dalam peresmian terowongan tersebut, menekankan pentingnya persatuan di tengah perbedaan. Namun, di balik pidato yang penuh semangat, kenyataan berbicara sebaliknya. Kasus intoleransi tetap terjadi, bahkan di bulan Desember yang seharusnya membawa damai Natal.
Contoh nyata adalah penolakan ibadah Natal oleh warga Perumahan Cipta Graha Permai di Bogor, yang menghalangi umat Kristen untuk beribadah di rumah Pendeta GPdI Jemaat Tegar. Akses menuju lokasi ditutup, dan ibadah terpaksa dipindahkan ke lokasi alternatif.
Ini bukan kali pertama kasus seperti ini terjadi. Dari penutupan gereja di berbagai daerah hingga konflik bernuansa SARA yang berulang, intoleransi tetap menjadi tantangan utama yang belum mampu diatasi oleh negara. Meski simbol seperti Terowongan Silaturahmi hadir, simbolisme ini tidak akan berarti jika tindakan nyata untuk menangani akar masalah intoleransi tidak diambil.

Ketegasan, Bukan Simbolisme
Indonesia adalah negara multikultural dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menggambarkan keberagaman sebagai kekayaan bangsa. Namun, semboyan ini sering kali hanya menjadi jargon tanpa aplikasi konkret. Konsep multikulturalisme, yang mengakui keberagaman budaya, agama, dan identitas sebagai nilai tambah, seharusnya menjadi dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam praktiknya, multikulturalisme di Indonesia kerap dihadapkan pada tantangan besar. Polarisasi sosial akibat perbedaan pandangan politik, dominasi mayoritas atas minoritas, dan lemahnya penegakan hukum membuat konsep ini sulit diterapkan. Sebuah simbol seperti Terowongan Silaturahmi tidak akan mengubah realitas ini jika pemerintah tidak menunjukkan ketegasan dalam menegakkan keadilan dan melindungi hak-hak minoritas.
Untuk mewujudkan multikulturalisme yang sejati, pemerintah harus berperan lebih dari sekadar membangun simbol. Dibutuhkan kebijakan yang berlandaskan keadilan bagi semua kelompok, tanpa memihak mayoritas atau mengabaikan minoritas.
Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku intoleransi harus menjadi prioritas, sekaligus memastikan bahwa aturan yang ada, seperti SKB 2 Menteri, tidak digunakan sebagai alat untuk melegitimasi diskriminasi.
Pemerintah juga harus memperkuat pendidikan multikulturalisme, dimulai dari tingkat sekolah hingga masyarakat umum. Dengan menanamkan nilai-nilai penghormatan terhadap keberagaman sejak dini, generasi mendatang dapat tumbuh menjadi individu yang lebih toleran dan inklusif. Selain itu, dialog antaragama dan antarbudaya harus terus didorong untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik di antara kelompok yang berbeda.
Ketiadaan ketegasan pemerintah dalam menangani kasus intoleransi menjadi akar masalah yang mendalam. Terowongan Silaturahmi, meski mengesankan secara visual, tidak akan menyelesaikan masalah jika pemerintah terus gagal menunjukkan keberpihakan pada keadilan. Simbol ini hanyalah gimmick jika tidak diiringi dengan langkah nyata untuk menegakkan hak setiap individu dalam kebebasan beragama, sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Toleransi tidak akan tumbuh dari pembangunan infrastruktur simbolis, tetapi dari keberanian untuk menghadapi ketidakadilan dan memperjuangkan hak semua pihak, tanpa terkecuali. Pemerintah harus menjadi teladan, menunjukkan bahwa keberagaman adalah kekuatan yang harus dirawat dengan tindakan nyata, bukan hanya kata-kata.
Lihat postingan ini di Instagram
Menghidupkan Multikulturalisme
Multikulturalisme yang sejati membutuhkan komitmen dari semua pihak, termasuk pemerintah, organisasi keagamaan, dan masyarakat. Multikulturalisme bukan hanya tentang toleransi, yang mengacu pada penerimaan terhadap perbedaan, tetapi lebih jauh lagi, ia berfokus pada penghargaan terhadap keberagaman tersebut dan pengakuan bahwa keberagaman itu memberi nilai lebih bagi masyarakat secara keseluruhan (Fridiyanto dkk, 2022).
Dalam konteks negara, multikulturalisme berarti bahwa kebijakan dan praktek pemerintahan harus menjamin perlindungan hak-hak minoritas dan memastikan bahwa setiap kelompok mendapatkan kesempatan yang setara dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan beragama.
Terowongan Silaturahmi dapat menjadi awal yang baik, tetapi langkah berikutnya harus lebih berani dan substansial. Penegakan hukum yang adil, pendidikan yang inklusif, dan dialog lintas budaya adalah pilar utama yang harus diperkuat untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar menghargai keberagaman.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh dunia dalam hidup berdampingan secara harmonis di tengah keberagaman. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika pemerintah dan masyarakat bersama-sama menghidupkan semangat multikulturalisme, melampaui simbolisme, dan berani bertindak nyata.
Keberagaman adalah kekayaan, bukan beban—tetapi hanya jika kita mau merawatnya. (*)
Penulis: Christoforus Purnama More, Mahasiswa STKIP Widya Yuwana, Madiun

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.