

Katolikana.com—Bulan Desember selalu menjadi momen yang istimewa, terutama bagi umat Kristiani yang merayakan Natal dengan penuh sukacita. Namun, perayaan Natal tahun 2024 di Indonesia sekali lagi diwarnai dengan ironi. Apa yang seharusnya menjadi perayaan damai dan inklusif, justru kerap berubah menjadi panggung simbolik yang sering kali kehilangan substansinya.
Toleransi atau Gimik?
Saat hendak mengikuti Misa Vigili Malam Natal 2024, ada pemandangan yang mencerminkan potret “toleransi” versi kita saat ini. Lima menit sebelum Misa dimulai, panitia paroki bersama Rama masuk ke gereja diikuti rombongan pejabat Forkompimda.
Seremonial ini tentu menarik perhatian umat. Namun, apakah kehadiran para pejabat itu benar-benar merefleksikan semangat toleransi, atau sekadar gimik untuk publikasi?
Ada beberapa catatan yang mengindikasikan bahwa toleransi kita masih berada di tataran simbolik, belum menyentuh substansi.
Pertama, salah kaprah yang mendasar: para pejabat secara serampangan menyebut “pastor” sebagai “pendeta”. Padahal, ini adalah hal mendasar dalam pemahaman agama.
Pastor adalah pemuka agama Katolik, sedangkan pendeta adalah pemimpin gereja Kristen Protestan. Kekeliruan ini menunjukkan kurangnya sensitivitas dan pemahaman terhadap keberagaman agama, seolah-olah semua gereja dianggap sama tanpa membedakan latar belakang denominasi.
Apakah pendidikan dasar tentang keberagaman agama tidak pernah dipelajari, atau ini sekadar bentuk abai?
Kedua, salam berkasta-kasta dan berbasa-basi yang disampaikan oleh pejabat kepada umat Katolik. Di tengah gereja yang jelas-jelas mayoritas umat Katolik, salam seperti ini terasa tidak kontekstual. Bukankah salam universal seperti “Selamat sore” sudah cukup mencerminkan penghormatan kepada semua tanpa menonjolkan identitas agama tertentu?
Pengalaman menunjukkan, dalam situasi duka sekali pun, seorang tokoh agama yang berbeda keyakinan tetap dapat menunjukkan penghormatan tanpa mengorbankan identitas iman pribadinya. Ini adalah wujud toleransi sejati.
Bangsa Indonesia bukanlah bangsa agama tertentu, melainkan bangsa Pancasila. Salam yang berkasta seperti ini tidak mencerminkan toleransi, melainkan hanya akomodasi superfisial yang berpotensi menimbulkan kesan eksklusivitas. Pancasila mengajarkan persatuan, yang seharusnya dapat diwujudkan melalui penghormatan sederhana namun tulus.
Ketiga, isi sambutan yang jauh dari relevansi Natal. Bukannya berbicara tentang pesan damai atau cinta kasih yang menjadi inti perayaan, beberapa pejabat justru menjadikan momen ini untuk membanggakan capaian kota atau bahkan menyisipkan kampanye politik menjelang pilkada.
Alih-alih membahas nilai kasih sayang dan saling menghormati, mereka berbicara tentang capaian kota atau bahkan politik lokal seperti pilkada. Ini tidak hanya tidak relevan, tetapi juga menunjukkan kurangnya empati terhadap makna perayaan tersebut.
Seharusnya, sebelum menghadiri acara keagamaan, para pejabat berkonsultasi dengan rekan kerja yang memiliki keyakinan serupa dengan komunitas yang dikunjungi. Langkah ini akan membantu menyampaikan pesan yang lebih relevan, membumi, dan kontekstual.
Toleransi: Antara Simbol dan Realita
Toleransi sejati tidak memerlukan seremoni besar atau kehadiran fisik pejabat di gereja. Toleransi yang hakiki adalah ketika pemerintah memastikan tidak ada diskriminasi terhadap kelompok minoritas, termasuk dalam menjalankan ibadah. Natal 2024 kembali menjadi pengingat bahwa banyak persoalan intoleransi masih belum terselesaikan.
Toleransi yang sejati adalah memastikan kebebasan beribadah tanpa gangguan, tanpa perlu mempertanyakan izin, apalagi membubarkan ibadah minoritas. Ketika pemerintah dan masyarakat mampu menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar ini, simbolisme seperti salam berkasta atau seremoni kehadiran pejabat menjadi hal kecil yang tidak lagi relevan.
Sebagaimana dikatakan Kardinal Ignasius Suharyo, kehadiran negara seharusnya tidak hanya terlihat dalam hal-hal simbolik, tetapi benar-benar hadir untuk melindungi dan melayani seluruh anak bangsa. Ironisnya, saat ini, masih ada kasus diskriminasi seperti pemblokadean akses ibadah Natal yang diabaikan oleh aparat keamanan.
Contohnya adalah kasus di Cibinong, Kabupaten Bogor. Warga menolak ibadah Natal di rumah seorang pendeta, bahkan sampai memasang portal untuk memblokir akses. Ironisnya, aparat keamanan hanya menjadi penonton pasif dalam kejadian ini. Meski akhirnya ibadah tetap berlangsung di lokasi alternatif, fakta bahwa pemblokadean terjadi tanpa tindakan tegas dari aparat adalah cermin lemahnya kehadiran negara.
Kejadian seperti ini bukan hal baru. Sejarah Indonesia penuh dengan kasus diskriminasi berbasis agama yang berulang tanpa penyelesaian tuntas. Sikap pemerintah sering kali hanya bersifat reaksioner, lebih memilih menghindari amarah mayoritas daripada menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila.
Pesan Natal dan Tantangan Bangsa
Dalam pesannya, Paus Fransiskus mengingatkan pentingnya membangun jembatan di tengah keberagaman. Jembatan ini bukan sekadar simbol, seperti Terowongan Silaturahmi antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, tetapi harus menjadi tindakan nyata yang memperkuat persatuan bangsa.
Toleransi sejati adalah tentang menciptakan ruang di mana setiap individu bebas menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut atau intimidasi. Ini berarti tidak ada lagi pembubaran ibadah, tidak ada lagi tafsir sepihak oleh kelompok mayoritas yang mengatasnamakan agama, dan tidak ada lagi kompromi yang justru memperlemah semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Belajar dari Natal 2024
Natal 2024 memberikan kita pelajaran penting: toleransi harus melampaui simbolisme. Pemerintah, masyarakat, dan setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari. Damai dan sukacita Natal hanya akan terwujud jika kita benar-benar mau menghormati perbedaan dan memberikan kebebasan yang sama kepada semua.
Mari menjadikan perayaan Natal bukan hanya momen untuk berbagi damai, tetapi juga refleksi atas komitmen kita dalam membangun bangsa yang inklusif, adil, dan penuh kasih sayang. Damai Natal menaungi kita semua. (*)
Penulis: Susyharyawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.