Natal, Jangkrik, dan Laudato Si

Memaknai Natal, alam, dan kesunyian di kampung.

0 101

Katolikana.com – Natal identik dengan hari besarnya orang Kristen di seluruh dunia, dimana orang Kristen merayakan hari lahirnya Yesus Kristus penyelamat umat manusia di muka bumi ini. Yesus Kristus lahir di Betlehem melalui seorang perempuan bernama Maria yang terkandung tanpa noda dosa.

Pesta kelahiran Tuhan Yesus sendiri memberi makna yang cukup terkesan dimana sebagai umat memberikan harapan baru dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai makhluk manusia kita diberi tanggung jawab moral untuk menyambut kedatangan anak manusia sebagai wujud daripada iman kepercayaan setiap insan pribadi yang masih bernafas di muka bumi.

Tradisi pengikut Gereja Katolik Roma sebelum memasuki masa Adven merayakan hari raya Kristus Raja Semesta Alam. Dimana Minggu terakhir bagi gerejawi ini tanda memasuki masa penantian anak manusia datang ke dunia bagi setiap insan manusia yang percaya kepadanya.

Santo Yohanis Pembaptis dalam khotbahnya yang penuh inspirasi di padang gurun menyampaikan pesan yang penuh bermakna bahwa kita dalam masa penantian kedatangan anak manusia. Kita diajak dimana Matius 3:3 menyampaikan bahwa ada suara orang berseru-seru di padang gurun, persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskan jalan bagi-Nya. Pada masa penantian ini, kita tetap merendahkan diri, terus bergumul dalam doa untuk sang mesias yang akan lahir sebagai anak manusia benar-benar hadir dalam pribadi setiap kita.

Dalam konteks pesan Yohanis Pembaptis di atas ini, tentu disampaikan kepada makhluk hidup yang memiliki naluri akal pikiran yang memiliki lima indra akan tetapi pesan ini disampaikan juga kepada makhluk hidup lain selain manusia. Perayaan kelahiran sang mesias sebagai raja bagi semua makhluk hidup untuk menyambut kedatangan anak manusia.

Tentu dalam konteks ini, makhluk hidup pun terus menyongsong dengan nyanyian sorak dan sorainya memasuki masa Adven atau masa penantian sang mesias. Binatang seperti jangkrik terus bernyanyi setiap pagi sampai sore menjelang masa gerbang Natal 1 Desember sampai dengan puncak 25 Desember.

Fenomena langkah ini, tentu ajaib dimana makhluk hidup seperti jangkrik selalu memuji kepada sang Maha Pencipta atas karya besar yang telah dirancangkan untuk membebaskan semua makhluk hidup di bumi ini. Oleh karena itu, sang juru selamat lahir untuk membebaskan umat manusia tentu dengan makhluk ciptaan lain.

Fakta peristiwa jangkrik ini terjadi setiap tahun, di daerah Paniai, Deiyai dan Dogiyai. Nyanyian sorak dan sorai dari binatang yang namanya jangkrik sepanjang 25 hari merupakan tanda keberuntungan besar dimana semua makhluk hidup ingin melihat keajaiban besar yang terjadi 2000 tahun lalu melalui Bunda Maria dan Yosef dari Kandang Betlehem di Yerusalem.

Hikmat dari Jangkrik

Nyanyian pembuka dengan kecapi menyongsong pesta kelahiran sang mesias diisi dengan nyanyian malam kudus. Begitu pula nyanyian merdu dari para kawanan jangkrik untuk menyambut persiapan malam yang kudus di mana sang mesias lahir. Jangkrik memberikan manfaat besar dalam kehidupan umat manusia, dimana nyanyian jangkrik ialah memisahkan terang dan gelap.

Alhasil, seringkali kita melupakan binatang bersayap ini. Bagi warga masyarakat yang tinggal di daerah 3 T, yaitu daerah terluar, terpinggir dan terisolasi atau pedesaan, tanpa teknologi jangkrik merupakan makhluk hidup yang memberikan jawaban atas waktu. Berbeda di zaman teknologi ini, di mana hanphone, jam arloji bisa memberikan jawaban atas waktu; pagi, siang, malam. Nyanyian jangkrik menjemput malam kegelapan, memisahkan antara siang dan malam. Itulah makhluk hidup yang diciptakan untuk menandai kegelapan dan terang.

Binatang bersayap ini juga memberikan inspirasi yang patut dicontoh dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat maupun komunitas kita berada untuk membangun dengan cinta kasih. Nyanyian selama satu jam, pukul 18.00 sore setiap hari dengan suara merdu, bernyanyi bersama sampai akhir batas waktu petang, mengingatkan pada kita manusia kembali ke habitatnya. Nyanyian jangkrik juga mengingatkan kepada manusia, agar keluarga-keluarga segera berkumpul kembali ke rumahnya untuk melewati malam kegelapan.

Oleh karena itu, kebersamaan dalam kehidupan para jangkrik patut diteladani karena makhluk hidup ini menjaga satu sama lain dalam persatuan di komunitasnya, kebersamaan dan kekompakan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai makhluk hidup.

Makhluk penjaga pembatas antara siang dan malam adalah titik balik kehidupan umat manusia, dimana Yesus lahir dalam kegelapan untuk membawa kita kepada terang. Kehidupan kita umat manusia seringkali jatuh kedalam kegelapan karena dosa haus, rakus, sombong, dengki, iri hati dari berbagai macam tantangan duniawi. Oleh karena itu, dengan terang Roh Kudus memberikan Rahmat-Nya kepada kita manusia melalui belas kasih yang tak terbatas dari kasih setianya.

Dengan ini jangkrik makhluk hidup yang Tuhan titipkan ke dunia seperti bunyi sangkakala pada akhir zaman. Bunyi jangkrik pertanda malam kegelapan telah tiba, pertanda malam dan siang telah berpisah. Setiap orang kembali ke masing-masing rumah untuk mengucapkan syukur dan mempersatukan keluarga kita.

Laudato Si, Pesan Ensiklik Lingkungan Paus Fransiskus

Ekologi antropogenik pada masyarakat keagamaan tertuang ketika Paus Fransiskus mengambil langkah besar dalam seruannya terhadap pelestarian alam. Pada 2015, Paus Fransiskus ensiklik yang membahas keberlanjutan kehidupan Bumi bertajuk Laudato si’ (Terpujilah Engkau). Di dalamnya, Paus Fransiskus menyerukan perlindungan terhadap bumi sebagai “rumah kita bersama”.

Lewat ensiklik tersebut, Paus Fransiskus menyerukan perlunya kesadaran di tengah krisis lingkungan yang disebabkan oleh manusia. Hal ini tertulis di paragraf 101, di mana Paus Fransiskus dengan tegas bahwa kesadaran lingkungan tiada gunanya tanpa “menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis tanpa mengakui akarnya dalam manusia”.

Laudato Si adalah sabda reflektif atas perkembangan manusia yang mengeksploitasi alam secara berlebihan. Paus Fransiskus menyerukan “pertobatan ekologis” sebagai salah satu cara memperbaiki kerusakan alam.

Pertobatan ini membutuhkan upaya kolektif, karena manusia tidak bisa secara individu untuk memperbaiki alam. Sebab, dari apa yang diuraikan dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus menyadari bahwa perbaikan lingkungan harus menyelesaikan permasalahan kompleks, termasuk ketimpangan sosial dan politik yang terjadi secara global.

“Peduli terhadap iklim, peduli terhadap bumi, ini sekarang menjadi bagian dari ajaran Gereja. Orang-orang di seluruh dunia menerima pesan tersebut dan mengubahnya menjadi tindakan nyata. Itulah warisannya, dan itu akan bertahan lama”.

Pesan Bapak Paus Fransiskus mengingatkan kepada kita akan ancaman bagi populasi keanekaragaman hayati maka itu perlu melestarikan lingkungan alam di sekitar kita. Pembukaan lahan besar-besar untuk ketahanan pangan merupakan proyek naif dan haus karena tidak mempertimbangkan dampak ekologis serta kearifan lokal yang ada untuk mempertahankan kehidupan yang asri. Dampaknya, seperti penebangan hutan secara liar menimbulkan kerugian besar bagi manusia alam sekitarnya, seperti makhluk hidup (jangkrik) akan sirna ditelan sang waktu.

Kepedulian akan ekologis berdampak baik terhadap kehidupan umat manusia untuk masa depan yang baik dari bencana alam terutama iklim, global warming serta dampak lainnya.

Kontributor Katolikana.com di Paniai, Papua. Lahir di Ibumaida, Paniai, tahun 1989. Penulis bekerja di Komisi Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Ciptaan Paroki Kristus Sang Gembala (KSG) Wedaumamo, Keuskupan Timika. Ia juga aktif di organisasi Pemuda Katolik Komisariat Cabang di Kabupaten Paniai.

Leave A Reply

Your email address will not be published.