Suara Gereja dalam Melawan Korupsi

Pelajaran dari Kardinal Suharyo dan Surat Gembala 1997

2 322
Susy Haryawan (Foto: Dokumentasi pribadi)

Katolikana.com—Natal tahun 2024 diwarnai dengan pernyataan yang menggugah dari Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Dalam konferensi pers usai Perayaan Natal, beliau menyebut korupsi sebagai bentuk pengingkaran terhadap jati diri manusia.

“Jati diri manusia adalah memuji dan memuliakan Allah,” tegas Kardinal Suharyo, seraya menambahkan bahwa budaya feodal, ambisi kedudukan, gengsi, dan kekuasaan menjadi akar dari suburnya korupsi.

Pernyataan ini bukan hanya kritik moral, tetapi juga refleksi mendalam atas kondisi bangsa. Dalam bahasa Kardinal Suharyo, korupsi telah menjadi alat politik busuk yang digunakan untuk menusuk lawan dan mempertahankan kepentingan kelompok tertentu.

Pembiaran dan eksploitasi korupsi demi keuntungan pribadi atau kelompok menjadikannya ancaman serius bagi keberlangsungan negara.

Korupsi Sebagai Ancaman

Korupsi di Indonesia bukanlah fenomena baru. Namun, kehadirannya yang terus-menerus—bahkan semakin terstruktur—mencerminkan masalah mendasar dalam moralitas publik. Dalam konteks bangsa yang majemuk, korupsi bukan hanya soal penyalahgunaan uang negara. Ia merusak tatanan sosial, memperlebar kesenjangan, dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi.

Pernyataan Kardinal Suharyo ini mengingatkan pada Surat Gembala Prapaskah 1997 yang pernah dikeluarkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) hingga membuat penguasa selama 32 tahun, Presiden Soeharto, meradang.

Dalam surat itu, KWI dengan tegas menyatakan bahwa “tidak memilih adalah juga sebuah pilihan,” sebuah seruan yang mengguncang penguasa saat itu, Presiden Soeharto.

Pernyataan ini sangat kontras dengan sikap rezim saat itu, yang paling alergi terhadap istilah “golput” atau golongan putih—istilah yang merujuk pada tindakan tidak memilih.

Di tengah tekanan militer dan otoritarianisme, Gereja menunjukkan keberanian luar biasa untuk menyuarakan suara kenabian. Surat Gembala KWI 1997 memberikan dampak besar, menginspirasi keberanian dan perlawanan moral terhadap ketidakadilan yang melanda bangsa.

KWI juga menyerukan agar umat Katolik tidak memberikan sumbangan emas kepada negara, melainkan langsung kepada komunitas mereka. Sikap ini adalah bentuk konkret penolakan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang melanda pemerintahan Orde Baru.

Langkah ini bukan sekadar simbolik, tetapi juga bentuk nyata dari perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak lagi berpihak kepada rakyat. Gaung suara kenabian ini tidak hanya menggema di dalam lingkup Gereja, tetapi juga di tengah masyarakat yang merindukan perubahan.

Mengapa Gereja Harus Bersuara?

Gereja memiliki peran kenabian yang tidak bisa diabaikan. Tugas ini melampaui urusan internal Gereja; ia menyentuh dimensi sosial, politik, dan kebangsaan. Gereja dipanggil untuk menjadi terang dan garam dunia, membawa pesan kasih dan kebenaran di tengah ketidakadilan dan penindasan.

Kardinal Suharyo memberikan contoh nyata bagaimana Gereja dapat berperan sebagai suara moral. Kritik terhadap korupsi bukan sekadar pernyataan seremonial, tetapi cerminan dari komitmen Gereja untuk membangun masyarakat yang lebih adil. Gereja tidak hanya hadir untuk umatnya, tetapi juga sebagai bagian dari negara yang berkewajiban menjaga moralitas publik.

Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua isu memerlukan intervensi langsung dari tingkat hierarki tertinggi, seperti KWI atau PGI. Masalah-masalah lokal, seperti intoleransi atau pembubaran ibadat, dapat direspons oleh delegasi atau staf yang memiliki mandat khusus. Pendekatan ini memastikan bahwa Gereja tetap responsif tanpa kehilangan fokus pada tugas-tugas yang lebih strategis.

Pengantar Surat Gembala Prapaskah 1997

Pelajaran dari Surat Gembala 1997

Surat Gembala Prapaskah 1997 adalah bukti keberanian Gereja dalam menghadapi tekanan politik. Dalam situasi yang mencekam, KWI menunjukkan bahwa suara kenabian tidak boleh padam meskipun dihadapkan pada ancaman.

Dampak surat itu masih terasa hingga hari ini, menjadi inspirasi bagi generasi baru untuk memahami bahwa iman harus relevan dalam konteks sosial dan politik.

Pesan Kardinal Suharyo tahun ini memiliki semangat yang sama. Di tengah budaya politik yang semakin “ugal-ugalan,” Gereja perlu terus mengingatkan bangsa ini akan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi dasar kehidupan bernegara. Korupsi tidak boleh dibiarkan menjadi alat politik atau normalisasi dalam budaya masyarakat.

Natal sebagai Momentum Refleksi

Natal adalah perayaan kasih, damai, dan harapan. Di tengah tantangan besar yang dihadapi bangsa ini, pesan Natal dari Kardinal Suharyo menjadi pengingat bahwa kasih tidak berarti kompromi terhadap kejahatan. Gereja, seperti yang disampaikan oleh Kardinal Suharyo, harus terus bersikap keras terhadap ketidakadilan, tetapi dengan cara yang lembut dan penuh kasih.

Ketika Gereja berbicara, ia tidak hanya menjadi suara bagi umatnya, tetapi juga untuk bangsa. Natal kali ini menjadi momentum bagi semua pihak—termasuk Gereja—untuk merajut kembali komitmen terhadap keadilan, keberagaman, dan kebangsaan. Seperti yang dikatakan Uskup Soegijapranata, “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.”

Gereja tidak hanya merayakan Natal sebagai peristiwa liturgis, tetapi juga sebagai peringatan untuk terus menjadi garam dan terang dunia. Dalam konteks Indonesia, ini berarti berani berbicara melawan korupsi, menyuarakan keadilan, dan memperjuangkan keberagaman. Karena pada akhirnya, iman yang hidup adalah iman yang berdampak bagi dunia. (*)

Penulis: Susy Heryawan, bukan siapa-siapa.

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

2 Comments
  1. Yunita Kristanti says

    Terima kasih tulisan ini menjadi refleksi. Terang&garam.

    1. Susy says

      Terima kasih

Leave A Reply

Your email address will not be published.