
Katolikana.com—Kemiskinan adalah persoalan sosial yang kompleks dan telah menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk Gereja Katolik. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa Gereja juga sering mendapat kritik, salah satunya datang dari filsuf Karl Marx.
Dalam pandangannya, agama, termasuk Gereja Katolik, dianggap sebagai “opium rakyat”, alat yang digunakan untuk menenangkan kaum miskin dan membuat mereka pasrah terhadap keadaan tanpa adanya upaya perlawanan atau perubahan sosial. Marx berpendapat bahwa agama memberikan harapan palsu dengan janji keselamatan di akhirat, sementara ketidakadilan di dunia dibiarkan begitu saja.
Namun, apakah kritik ini benar adanya? Apakah Gereja Katolik benar-benar meninabobokan masyarakat miskin agar tetap miskin? Ataukah justru Gereja memiliki peran yang lebih kompleks dalam menangani kemiskinan dan ketidakadilan sosial?
Artikel ini akan mengupas lebih dalam bagaimana kritik Marx dapat dijadikan bahan refleksi bagi Gereja, serta bagaimana Gereja dapat membuktikan bahwa misinya bukan sekadar menawarkan ketenangan batin, tetapi juga bertindak sebagai agen perubahan sosial.
Kritik Karl Marx terhadap Agama dan Gereja Katolik
Karl Marx, sebagai bapak sosialisme dan komunisme, melihat agama sebagai alat yang digunakan oleh penguasa untuk mengontrol rakyat. Baginya, agama adalah opium rakyat—sejenis obat bius yang memberikan ketenangan sementara, tetapi tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Dalam konteks sosial, Marx mengkritik bagaimana agama sering kali lebih menekankan penerimaan terhadap penderitaan dunia ini dengan imbalan kehidupan bahagia di surga. Ia melihat bahwa ajaran ini membuat kaum miskin menerima nasibnya begitu saja, alih-alih berjuang untuk memperbaiki kondisi hidup mereka. Marx berargumen bahwa agama hanya memberikan ilusi kebahagiaan dan ketenangan, sementara struktur sosial yang menindas tetap dipertahankan.
Bagi Marx, Gereja Katolik adalah salah satu institusi yang memperkuat ketimpangan sosial. Ia menilai bahwa Gereja lebih berpihak pada kaum elite dan status quo daripada menjadi kekuatan revolusioner yang membela hak-hak kaum tertindas. Agama, dalam pandangannya, telah menjadi alat ideologi yang menutupi ketidakadilan sistemik dan menjauhkan masyarakat dari tindakan nyata untuk mengubah dunia menjadi lebih adil.
Namun, benarkah Gereja hanya berfungsi sebagai penenang atau penghibur bagi kaum miskin tanpa memberikan solusi konkret bagi persoalan sosial mereka?
Gereja Katolik dan Realitas Sosial
Sejarah membuktikan bahwa Gereja Katolik telah memainkan peran penting dalam membela keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Sejak abad ke-19, Gereja telah mengeluarkan berbagai dokumen dan ensiklik yang menegaskan komitmen terhadap kaum miskin dan tertindas.
Salah satu yang paling terkenal adalah Rerum Novarum (1891), ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII, yang menyoroti hak-hak pekerja, keadilan sosial, dan peran Gereja dalam memastikan kesejahteraan kaum buruh. Dokumen ini menegaskan bahwa Gereja tidak bisa diam terhadap eksploitasi dan ketidakadilan, tetapi harus mengambil tindakan nyata untuk membela hak-hak kaum lemah.
Selain itu, Paus Benediktus XVI dalam ensiklik Caritas in Veritate (2009) juga menekankan pentingnya cinta kasih dalam pembangunan sosial. Gereja didorong untuk tidak hanya menjadi saksi iman, tetapi juga menjadi pelaku dalam memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Gereja Katolik di berbagai belahan dunia telah membangun sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan berbagai lembaga sosial lainnya yang secara langsung membantu kaum miskin. Banyak program pemberdayaan ekonomi dan pelatihan keterampilan yang telah dilakukan oleh Gereja untuk mengangkat martabat kaum lemah.
Namun, meskipun ajaran Gereja secara teoretis mendukung keadilan sosial, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktiknya masih terdapat kesenjangan antara ajaran dan realitas di lapangan.
Tantangan Internal Gereja
Walaupun Gereja telah banyak melakukan upaya sosial, beberapa praktik di dalamnya masih memperkuat kesan bahwa ia lebih berfokus pada aspek spiritual daripada solusi konkret terhadap kemiskinan.
Pertama, persoalan biaya sakramen dan iuran Gereja. Di beberapa paroki, masih ditemukan kebijakan yang mewajibkan umat membayar iuran tertentu untuk mendapatkan layanan sakramen, seperti pernikahan dan baptisan. Jika seseorang belum melunasi iuran gereja, ada kemungkinan mereka ditolak menerima sakramen tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat kasih dan keterbukaan Gereja.
Kedua, khotbah yang bersifat pasif. Dalam beberapa kesempatan, khotbah di Gereja sering kali menekankan bahwa “berbahagialah orang miskin, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” Ajaran ini, jika tidak dipahami dengan baik, bisa menjadi alat pembenaran untuk menerima kemiskinan sebagai takdir yang tidak perlu diperjuangkan untuk diubah.
Ketiga, kasus kekerasan seksual dalam Gereja. Kasus-kasus pelecehan seksual oleh imam di berbagai belahan dunia telah mencoreng nama Gereja dan menunjukkan bahwa institusi ini tidak selalu berpihak pada mereka yang lemah. Skandal ini semakin memperkuat kritik Marx bahwa Gereja lebih sering melindungi kepentingan internalnya daripada membela mereka yang tertindas.
Keempat, minimnya aksi konkret dalam advokasi sosial. Gereja memang aktif dalam pelayanan sosial, tetapi masih ada banyak ruang untuk meningkatkan keterlibatan dalam kebijakan publik dan advokasi sosial. Gereja seharusnya lebih tegas dalam menentang kebijakan yang tidak adil, seperti eksploitasi tenaga kerja, korupsi, dan ketimpangan ekonomi.

Gereja Harus Bertransformasi
Menanggapi kritik Karl Marx, Gereja Katolik seharusnya tidak hanya berfokus pada pengajaran spiritual, tetapi juga menjadi motor penggerak perubahan sosial yang nyata. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.
Pertama, menguatkan teologi pembebasan. Teologi pembebasan menekankan keberpihakan kepada kaum miskin dan upaya aktif untuk mengubah struktur sosial yang tidak adil. Gereja perlu lebih berani dalam mendukung gerakan sosial yang memperjuangkan hak-hak kaum tertindas.
Kedua, menghapuskan kebijakan yang membebani umat miskin. Gereja harus meninjau ulang kebijakan iuran dan biaya sakramen agar tidak menjadi beban bagi umat yang kurang mampu. Sakramen seharusnya diberikan berdasarkan kasih karunia, bukan kemampuan finansial.
Ketiga, mengadvokasi kebijakan publik yang adil. Gereja harus lebih aktif dalam memperjuangkan kebijakan sosial yang adil, seperti akses pendidikan gratis, hak-hak buruh, dan perlindungan bagi kelompok rentan.
Keempat, menjadikan Gereja sebagai ruang aman bagi semua orang. Gereja harus memastikan bahwa ia adalah tempat yang aman bagi semua orang, terutama anak-anak dan kelompok rentan lainnya. Kasus kekerasan seksual harus ditindak dengan serius dan transparan.
Gereja Tidak Boleh Diam
Kritik Karl Marx terhadap Gereja Katolik seharusnya tidak hanya dilihat sebagai serangan, tetapi juga sebagai panggilan untuk refleksi dan perbaikan. Gereja memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk memastikan bahwa ajaran kasih Kristus benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata.
Gereja Katolik tidak boleh hanya menjadi tempat yang menawarkan ketenangan spiritual, tetapi juga harus menjadi kekuatan yang mengubah masyarakat. Dengan membuktikan bahwa ia benar-benar berpihak pada kaum miskin dan tertindas, Gereja dapat menunjukkan bahwa ia bukan sekadar opium rakyat, tetapi sebuah komunitas yang benar-benar menghadirkan kasih Tuhan di dunia.
Jika Gereja mampu menjawab tantangan ini, maka kritik Karl Marx akan kehilangan relevansinya, dan Gereja akan semakin diakui sebagai institusi yang benar-benar memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua. (*)
Penulis: Efanius Rimlon, Mahasiswa FTW Kentungan Yogyakarta

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.