

Katolikana.com—Setiap orang dalam hidupnya akan dihadapkan pada berbagai pergumulan dan pengalaman yang tak terduga. Pengalaman-pengalaman inilah yang sering kali menjadi titik tolak bagi seseorang untuk mengalami transformasi diri ke arah yang lebih baik.
Melalui refleksi yang mendalam, seseorang dapat menemukan visi hidupnya dan merangkai langkah-langkah menuju masa depan yang lebih bermakna. Namun, perjalanan menuju pemurnian diri ini tidak selalu mudah. Dibutuhkan komitmen, ketekunan, dan kesadaran akan panggilan yang telah dipilih.
Dalam Gereja Katolik, panggilan hidup sering kali dikategorikan dalam dua pilihan utama, yaitu panggilan hidup dalam Imamat dan panggilan dalam Perkawinan.
Namun, ada pula mereka yang memilih hidup selibat sebagai awam, mempersembahkan hidup mereka sepenuhnya bagi Tuhan dan karya pelayanan.
Keputusan ini bukan sekadar pilihan duniawi, tetapi sebuah jawaban terhadap panggilan ilahi yang diyakini sebagai jalan menuju kebahagiaan dan kedekatan dengan Tuhan.
Perjalanan Panggilan Menuju Imamat
Dalam perjalanan panggilan menuju Imamat yang saya jalani saat ini, saya semakin menyadari bahwa menjadi seorang imam bukan sekadar profesi, tetapi sebuah panggilan suci yang menuntut kesetiaan dan kebijaksanaan dalam setiap langkahnya.
Imamat bagi saya adalah sarana untuk mencapai kekudusan dan mempersembahkan hidup saya bagi Tuhan dan sesama.
Seorang imam dituntut untuk memiliki kerohanian yang matang dan mendalam. Tanpa relasi yang erat dengan Tuhan, seorang imam akan kehilangan arah dan makna dalam pelayanannya.
Oleh karena itu, bagi saya, menjadi seorang imam berarti terus mengembangkan kehidupan doa, refleksi, serta kedekatan dengan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.
Namun, perjalanan ini tidak serta-merta menjadikan seseorang langsung matang dalam iman dan kepribadian. Diperlukan proses pembentukan yang panjang, yang dalam Gereja disebut sebagai formatio, yaitu tahapan-tahapan pembinaan yang membentuk pribadi calon imam agar sesuai dengan harapan Gereja.
Dalam perjalanan ini, setiap pribadi dipanggil untuk menjalani proses pembinaan dengan kesadaran penuh bahwa ini adalah bagian dari panggilannya.
Formatio dalam Imamat
Formatio dalam kehidupan calon imam memiliki peran yang sangat besar. Ini adalah proses di mana seseorang dibentuk, dibina, dan dididik untuk tidak hanya mengikuti kehendak pribadinya, tetapi juga mampu melepaskan ego dan keluar dari zona nyaman demi mengikuti kehendak Tuhan.
Proses ini membutuhkan keterbukaan hati, kesiapan untuk dibentuk, serta kemauan untuk menerima tantangan yang ada. Ketika seseorang memilih jalan Imamat, ia harus memahami bahwa ada konsekuensi dan tanggung jawab besar yang menyertainya. Kesadaran akan komitmen inilah yang menuntun saya untuk menjalani formatio dengan penuh kesadaran dan sukacita.
Saya meyakini bahwa panggilan menjadi seorang imam bukan sekadar peran fungsional dalam Gereja, tetapi sebuah perjalanan menuju kesucian hidup. Oleh karena itu, saya tidak melihat proses pembinaan ini sebagai beban, tetapi sebagai kesempatan untuk terus bertumbuh dalam iman dan kepribadian.
Semangat ini juga yang saya temukan dalam perjalanan hidup Santo Petrus, yang meskipun mengalami banyak tantangan, tetap setia mengikuti Yesus hingga akhir hidupnya. Kegagalannya dalam memahami kehendak Yesus tidak membuatnya berhenti, tetapi justru semakin menguatkan imannya untuk menjadi pemimpin para rasul.
Bijaksana dan Setia
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang imam tidak hanya bertugas untuk mentransfer ilmu atau memberikan pengajaran teologis, tetapi juga menjadi pembimbing yang bijaksana bagi umat. Oleh karena itu, kebijaksanaan dan kesetiaan menjadi dua aspek penting dalam perjalanan seorang imam.
Seorang imam harus mampu menilai setiap situasi dengan bijaksana, memahami kebutuhan umat, dan memberikan bimbingan yang sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Selain itu, ia juga harus tetap setia dalam panggilannya, tidak goyah oleh tantangan duniawi, dan selalu mengutamakan kehendak Tuhan di atas segalanya.
Saya percaya bahwa perjalanan ini adalah sebuah anugerah, dan saya berkomitmen untuk terus menjalani panggilan ini dengan sepenuh hati. Keputusan untuk menjadi seorang imam adalah keputusan yang harus dihayati dengan penuh cinta dan dedikasi, bukan karena paksaan atau tekanan dari pihak lain.
Aspek Pembinaan
Dalam perjalanan panggilan ini, saya terus berusaha menyeimbangkan empat aspek pembinaan yang menjadi dasar dalam pembentukan seorang imam, yaitu:
- Aspek Spiritual – Sebagai dasar utama dalam kehidupan seorang imam, aspek ini harus terus dikembangkan melalui doa, meditasi, dan refleksi pribadi yang mendalam.
- Aspek Manusiawi – Sebagai seorang pemimpin rohani, seorang imam harus memiliki karakter yang matang, empati, dan mampu membangun hubungan yang baik dengan sesama.
- Aspek Intelektual – Ilmu pengetahuan dalam bidang teologi, filsafat, dan sosial harus terus dikembangkan agar mampu memberikan bimbingan yang relevan bagi umat.
- Aspek Pastoral – Seorang imam harus memiliki pengalaman dalam pelayanan kepada umat, sehingga mampu memahami kebutuhan mereka dan memberikan solusi yang sesuai dengan ajaran Gereja.
Keempat aspek ini harus terus diupayakan agar tidak terjadi ketimpangan dalam perjalanan panggilan ini. Jika ada salah satu aspek yang diabaikan, maka akan sulit bagi seorang calon imam untuk mencapai kedewasaan dalam panggilannya.
Rahmat dan Tanggung Jawab
Pada akhirnya, panggilan hidup menjadi seorang imam adalah sebuah rahmat yang luar biasa, tetapi juga sebuah tanggung jawab yang besar. Panggilan ini hanya dapat dijalani dengan penuh sukacita jika lahir dari hati yang benar-benar terpanggil, bukan karena tekanan atau dorongan dari orang lain.
Sebagai seorang frater yang masih dalam tahap formatio, saya menyadari bahwa perjalanan ini tidak akan selalu mudah. Ada jatuh bangun, ada tantangan yang harus dihadapi, tetapi selama saya tetap mengandalkan Tuhan, saya yakin bahwa saya dapat menjalani panggilan ini dengan setia dan bijaksana.
Mengikuti Tuhan berarti terus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih mencintai, dan lebih melayani. Saya percaya bahwa jika saya tetap setia dalam panggilan ini, Tuhan akan terus membimbing saya menuju jalan yang benar, seperti yang telah Ia lakukan kepada para rasul-Nya.
Semoga setiap orang yang sedang menanggapi panggilan Tuhan, baik dalam kehidupan Imamat, Perkawinan, maupun dalam kehidupan selibat awam, dapat terus berjuang dengan penuh kebijaksanaan dan kesetiaan. Karena pada akhirnya, panggilan adalah tentang memberikan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan sesama, dengan hati yang tulus dan penuh kasih. (*)
Penulis: Fr. Bonaventura Ricky Yosan, Calon Imam Keuskupan Tanjungkarang, Seminari Tinggi St. Petrus, Pematangsiantar.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.