

Oleh Sebedeus Mote
Katolikana.com—“Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu” (Lukas 3:14).
Pesan ini menjadi titik tolak dari refleksi teologis atas fenomena korupsi di Indonesia, sebuah persoalan yang tidak hanya merusak sistem hukum dan ekonomi negara, tetapi juga mengguncang akar moral dan spiritual bangsa.
Korupsi, dalam arti paling sederhana, adalah pencurian uang rakyat yang dilakukan oleh mereka yang diberi mandat untuk melayani. Secara etimologis, istilah ini berasal dari kata Latin corruptus yang berarti “merusak secara menyeluruh” (Wignyosubroto, 2004).
Dalam perspektif spiritual, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum positif, tetapi juga kejahatan terhadap Tuhan, karena mengingkari keadilan dan merampas hak-hak orang miskin (Lembaga Alkitab Indonesia, 2005).
Fenomena ini mengingatkan kita pada nasihat Yohanes Pembaptis kepada para prajurit dan pemungut cukai yang hidup dari pemerasan: cukupkanlah diri dengan gaji yang ada, dan jangan menindas (Luk 3:13-14).
Akar Korupsi
Keserakahan adalah akar dari korupsi. Bahkan pejabat dengan gaji besar sekalipun tak luput dari godaan memperkaya diri secara tidak sah karena cinta pada uang telah mengalahkan nurani.
Korupsi adalah bentuk konkret dari kuasa mamon yang bekerja dalam hati manusia. Ia memisahkan manusia dari kasih, dari rasa cukup, dan dari tanggung jawab sosial.
Dalam kerangka Kitab Amsal, “Siapa membenci suap akan hidup” (Amsal 15:27), tetapi siapa mencintainya, menghancurkan rumah tangganya.
Dosa korupsi bukan hanya membinasakan pelakunya, tetapi turut menyeret keluarganya ke dalam kehancuran moral dan sosial.
Dalam Kitab Kisah Para Rasul, tindakan korup digambarkan sebagai perbuatan Iblis (Kis 13:10). Iblis menggoda manusia untuk menggantikan kepercayaan pada Allah dengan keserakahan yang tak berujung.
Dengan demikian, korupsi adalah bentuk egoisme radikal yang menolak Allah sebagai sumber hidup dan kebaikan.
Yesus sendiri mengecam keras kekayaan yang mengasingkan manusia dari kerajaan Allah. “Alangkah sukarnya orang kaya masuk ke dalam kerajaan Allah!” (Markus 10:23).
Kekayaan yang tidak dibagikan adalah tanda keterikatan pada mamon. Dalam perumpamaan orang kaya dan Lazarus (Lukas 16), dosa si kaya bukanlah karena ia mencuri, melainkan karena ia tidak peduli.
Praktik Korupsi di Indonesia
Dalam konteks Indonesia hari ini, praktik korupsi adalah tindakan struktural yang menghambat pembangunan dan memperpanjang penderitaan rakyat kecil.
Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur justru berakhir sebagai aset mewah segelintir elit. Hal ini menegaskan bahwa korupsi bukan hanya persoalan kriminalitas, tetapi juga dosa sosial.
Sebagai bangsa, kita perlu mengembangkan etika rasa cukup dan spiritualitas syukur. Uang memang penting sebagai sarana kehidupan, tetapi bukan tujuan. Orang yang tak bisa merasa cukup akan terus lapar meski bergelimang harta.
Dalam perspektif teologis, kecintaan berlebihan terhadap uang menjadikan manusia hamba mamon, dan bukan lagi hamba Tuhan (Wijngaards, 1994).
Jalan Keluar
Pertobatan adalah jalan keluar dari dosa korupsi. Seperti seruan Yohanes Pembaptis, pertobatan sejati menuntut buah nyata: perubahan perilaku, komitmen pada keadilan, dan keberpihakan pada kaum miskin.
Hidup cukup, hidup bersyukur, dan hidup dalam kejujuran bukan sekadar nilai moral, tetapi panggilan iman.
Dalam terang iman Kristiani, tugas kita adalah menjadi pengelola yang setia atas berkat duniawi, termasuk uang dan jabatan. Allah memberi bukan untuk ditimbun, melainkan untuk dibagikan demi kemuliaan-Nya dan kesejahteraan bersama.
Dalam dunia yang ditandai oleh ketimpangan dan kerakusan, menjadi pribadi yang hidup cukup adalah bentuk perlawanan spiritual terhadap dosa struktural.
Pertarungan Rohani
Korupsi bukan sekadar masalah hukum. Ia adalah masalah iman. Ketika uang menjadi tuan, Allah disingkirkan dari hati. Maka, pertarungan melawan korupsi adalah juga pertarungan rohani.
Melaluinya, kita diuji: apakah kita masih memiliki Tuhan sebagai pusat hidup, atau telah menggantinya dengan mamon?
Dengan menumbuhkan rasa cukup, menghayati syukur, dan hidup dalam kejujuran, kita menegakkan kerajaan Allah di tengah dunia yang rusak oleh cinta uang.
Semoga refleksi ini mendorong kita semua—khususnya para pemimpin bangsa—untuk kembali kepada panggilan sejati: melayani, bukan menguasai; membagikan, bukan menimbun; memuliakan Tuhan, bukan mamon. (*)
Penulis: Sebedeus Mote, Mahasiswa Pasca Sarjana STFT Fajar Timur dan Anggota Kebadabi Voices Abepura-Papua

Calon Imam Projo Keuskupan Timika, mahasiswa Pasca Sarjana di STFT Fajar Timur. Aktif menulis tentang Papua di berbagai media .