Narasi, Mendengar, dan Religiusitas

Memaknai narasi dalam perayaan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54

0 835

“Kita semua adalah pembuat kisah” (Dan Mc-Adams, 1985).

“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (Mt. 11.15).

 

Para penulis, baik penulis beberapa kitab dalam Perjanjian Lama maupun penulis empat Injil dalam Perjanjian Baru, menggunakan metode naratif untuk menyampaikan janji penyelamatan Allah dan pemenuhan janji oleh Yesus. Dalam Alkitab, pembaca menemukan berbagai kisah tentang janji Allah dan pemenuhannya.

Di berbagai tradisi kebudayaan lisan berlaku narasi lisan. Narasi tentang asal-usul manusia, tumbuhan, tempat dan sebagainya, mudah kita temukan dalam masyarakat. Narasi-narasi itu diteruskan secara lisan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Saat memasuki era kebudayaan tulis, berbagai narasi lisan dituliskan dengan tetap mempertahankan metode naratif.

Tradisi literer Gereja Katolik metode naratif sudah berabad-abad berlaku. Berbagai kisah tentang orang-orang kudus (santo-santa/beato-beata) merupakan salah satu bukti penerapan metode naratif. Bahkan dalam berbagai penulisan sejarah gereja pun menggunakan metode narasi. Dalam konteks Gereja Katolik Indonesia, berbagai media Katolik, khususnya majalah dan website media paroki, menggunakan pula metode naratif. Hal itu tampak pada beberapa rubrik, misalnya cerpen dan kesaksian.

***

Mengapa manusia selalu menggunakan metode naratif? Apa sesungguhnya kekuatan dan fungsi narasi sehingga dijadikan sebagai metode menyampaikan sesuatu? Apa hubungan narasi dengan religiusitas orang beriman?

Pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 tahun 2020, Paus Fransiskus mengangkat perkara narasi sebagai metode sekaligus sebagai kodrat manusia. Narasi – dalam rumusan kata aktif – bernarasi atau bercerita merupakan metode sekaligus kodrat manusia. Dalam pesan apostoliknya “Hidup menjadi Cerita – Menjahit Kembali yang Putus dan Terbelah”, Paus Fransiskus mengatakan secara eksplisit bahwa, “Manusia adalah makhluk pencerita. Sebagai makhluk pencerita, manusia dipengaruhi oleh beragam cerita yang membantunya memahami siapa dirinya sesungguhnya dan menjaga hidupnya.”

“Manusia,” ucap psikolog Dan P. Mc-Adams, “adalah makhluk pembuat kisah.” (Jonathan A. Smith, 2008). “Manusia,” lanjutnya, “menyusun sebuah kisah hidup yang utuh, mengenai berbagai pengalaman hidupnya yang terpencar-pencar.” Manakala menyusun dan mengampaian kisah hidupnya itu, manusia menyingkapkan hakekat dirinya. Menyitir Rene Descartes, (“Aku berkisah/mengisahkan, maka aku ada” (bdk. Martinho G. da Silva Gusmao, 2013). Narasi adalah jati diri manusia.

***

Narasi bisa berlangsung secara lisan, tertulis maupun melalui lukisan/foto. Bahkan, tulisan, lukisan, foto mampu menceritakan banyak hal. Narasi juga mewujud dalam gabungan dari semua itu. Meskipun narasi mewujud dalam berbagai cara, narasi memiliki kekuatan yang besar. Kekuatan narasi tampak dalam beberapa tiga fungsi pentingnya (Cypri Jehan Paju Dale, 2014).

Pertama, narasi sebagai upaya memulihkan diri, baik secara pribadi maupun kolektif. Melalui narasi, berbagai pengalaman dan kenangan negatif yang terjadi pada masa lalu dan masih bermukim dalam ingatan diungkapkan oleh narator. Pengungkapan memungkinkan terjadinya penyembuhan (trauma healing). Bahkan, tindakan menuturkan merupakan sebuah modus penyembuhan dan pelepasan (katarsis) atas berbagai pengalaman dan kenangan negatif.

Kedua, narasi sebagai penegasan diri (self determinasi). Melalui narasi, setiap orang baik sebagai pribadi maupun bersama, menegaskan identitasnya dan mengungkapkan berbagai nilai yang baik yang dianutnya. Nilai-nilai yang selama ini digunakan untuk menata hidupnya.

Ketiga, narasi membuka ruang bagi perwujudan dialog. Dengan bernarasi, setiap orang dapat saling berdialog dengan pihak-pihak lain. Dalam dialog, nilai yang dianut dan pesan yang termaktub dalam narasi, tersampaikan kepada para peserta dialog. Dengan demikian, situasi saling memahami diwujudkan oleh peserta dialog, baik sebagai narator maupun pendengar.

Narasi – baik lisan maupun tertulis – memerlukan pula kapasitas lain dalam diri manusia yakni kemampuan mendengar(kan). Menghadapi narasi tanpa memiliki kemampuan mendengar, seseorang sangat sulit memperoleh makna dari narasi. Mendengar merupakan kapasitas manusia. Sebagai kapasitas, manusia mendengar untuk memahami makna narasi (Fidelis Waruwu, 2010). Dengan demikian, narasi dan kemampuan mendengar merupakan dua hal yang saling terkait erat.

***

Dalam konteks kehidupan iman, fungsi dan kekuatan narasi serta kemampuan mendengar, dapat mengasah kepekaan batin dan menguatkan religiusitas. Ketika membaca kisah-kisah dalam Alkitab, kisah orang-orang kudus, sharing – misalnya dalam kegiatan Kerasulan Kitab Suci – memerlukan pula sikap mendengar. Sikap ini memungkinkan religiusitas terbentuk. Religiusitas itu menyangkut disposisi hati, pikiran, tubuh, dan tindakan yang diterangi iman akan Allah.

Religiusitas yang demikian merupakan hal penting, sehingga Yesus sungguh menghendaki agar Sabda-Nya didengar. Mendengar berarti memusatkan perhatian dan memahami hal-hal yang disabdakan oleh Yesus dan dinarasikan oleh para penulis Alkitab. Mendengar dan memahami narasi berarti juga mendengar dan memahami orang lain. Dalam kesediaan diri mendengar dan memahami narasi, tersingkap pula kerendahan-hati seseorang. Bukankah kita dipanggil oleh-Nya menjadi orang yang rendah hati?

Dosen Filsafat di Universitas Pelita Harapan, Tangerang

Leave A Reply

Your email address will not be published.