Katolikana.com – Republik Kuba merupakan sebuah Republik Sosialis yang berada di kepulauan Karibia dengan penduduk mayoritas beragama Katolik (60,5%). Secara konstitusi, Republik Kuba menjamin kebebasan beragama bagi warganya. Namun, di tengah pandemi Covid-19 tersebar beberapa berita mengenai ketidakpuasan beberapa organisasi Katolik di Kuba.
Maka, pada artikel kali ini, saya akan coba membahas perkembangan dan relasi Republik Kuba dengan gereja Katolik, perjuangan rakyat Kuba di tengah pandemi Covid 19 dan juga pandangan gereja mengenai blokade ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba.
Gereja Katolik di Kuba
Agama Katolik pertama dikenal oleh rakyat Kuba bersamaan dengan masuknya kekuatan kolonial Spanyol ke Karibia pada 1492. Kolonisasi Spanyol terhadap Kuba mendorong mayoritas rakyat Kuba memeluk agama Katolik yang terus menjadi mayoritas sampai saat ini. Selain agama Katolik, terdapat berbagai nominasi Kristen lainnya yang berada di Kuba, dan juga beberapa agama tradisional Afrika yang dibawa oleh para budak Afrika yang dibawa oleh kekuatan kolonial untuk bekerja di ladang tebu Kuba.
Pada tahun 1960an sejak kemenangan revolusi Kuba melawan kekuatan diktator Batista yang di dukung oleh Amerika Serikat oleh Fidel Castro, Kuba memilih untuk membentuk sebuah republik baru di bawah kepemimpinan para komunis Kuba yang berhaluan Marxis-Leninis. Hal ini menyebabkan renggangnya hubungan antara gereja dan negara, yang diperburuk oleh perang dingin antara blok sosialis yang berpegangan pada konsep materialis dan blok kapitalis liberal.
Pada saat itu Spanyol yang berada pada blok “kanan” dianggap memiliki pengaruh besar pada kondisi domestik Kuba melalui pejabat gereja Katolik yang mayoritas berasal dari Spanyol. Hal ini menyebabkan kecurigaan antara otoritas Sosialis Kuba dan Gereja Katolik Kuba. Bersumber dari kecurigaan tersebut, anggota gereja Katolik dicurigai sehingga mendapatkan kesulitan saat mereka mau bergabung dengan organ organ partai maupun negara.
Namun, pada tahun 1991, setelah jatuhnya Uni Soviet dan selesainya perang dingin, Partai Komunis Kuba menggelar pada Kongres keempat setuju untuk menghilangkan semua interpretasi negatif peraturan partai terhadap anggota gereja di Kuba. Mereka menyatakan bahwa semua anggota gereja Katolik Kuba bebas untuk bergabung dengan partai Komunis Kuba, dan pada abad ke 21 banyak anggota partai komunis yang beragama Katolik.
Pada tahun 1992, Kuba juga menekankan pada konstitusi barunya bahwa semua umat beragama di Kuba memiliki hak yang sama dan tidak boleh didiskriminasi berdasarkan agamanya. Hal ini membuat umat Katolik Kuba berkembang secara umum dan Kuba bahkan menerima Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus untuk menggelar misa akbar di alun-alun revolusi Havana.
Fidel Castro, sebagai pemimpin revolusi Kuba dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Kuba, tumbuh di tengah keluarga yang menganut agama Katolik. Namun, Fidel bukan merupakan seorang Katolik aktif. Saat Bapa suci Yohanes Paulus II meninggal, Fidel untuk pertama kalinya dalam 46 tahun mengunjungi gereja Katolik Kuba untuk menghadiri misa kematian Santo Yohanes Paulus II.
Pada tahun 2019, Fidel menyatakan bahwa dia menganggap dirinya sebagai orang “Kristen” namun bukan secara relijius tapi secara visi sosial. Pada Tahun 2012, Paus Benediktus XVI mengunjungi Kuba bertemu dengan Fidel Castro, dan mengecam blokade ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba. Pada tahun 1970an Fidel mengatakan bahwa dialog antara Kuba dan AS dapat terjadi saat di mana seorang kulit hitam menjadi presiden AS, dan seorang Paus datang dari Amerika Latin. Hal ini akhirnya terjadi saat Barrack Obama menjadi presiden AS dan Paus Fransiskus terpilih menjadi Bapa Suci.
Pada tahun 2015, Paus Fransiskus juga mendatangi Kuba dan menggelar misa di ibukota Havana. Pada bulan Juli 2021, pada laman twitternya, Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel memuji hubungan antara gereja Katolik di bawah kepemimpinan Bapa suci Paus Fransikus dan negaranya Kuba. Presiden Diaz-Canel juga mengharapkan kesembuhan pada Bapa Suci yang sedang menjalani operasi.
Pandemi Covid-19 dan Blokade Ekonomi AS
Pada awal tahun 2020, Dunia menghadapi krisis Covid-19 dan hal ini juga berdampak besar bagi kehidupan warga Kuba. Di tengah blokade ekonomi AS, Kuba sering mengalami kekurangan berbagai obat-obatan walaupun negara menjamin gratis jasa kesehatan bagi seluruh warga Kuba. Di tengah krisis berbagai bahan tersebut, gereja juga berperan aktif untuk menolong warga Kuba untuk mendapatkan berbagai macam obat-obatan.
Pada awal krisis pandemi Covid-19, Kuba merupakan salah satu negara paling sukses menghadapi pandemi. Dengan tingkat infeksi yang sangat rendah, bahkan Kuba mengirim misi kemanusiaan ke berbagai negara seperti Tiongkok dan Italia. Namun, devisa luar negeri Kuba sangat bergantung pada turisme, dan karena covid-19 menghalangi turis untuk berpergian, ekonomi Kuba menghadapi sebuah krisis yang sangat besar.
Situasi tersebut menyebabkan kesulitan bagi rakyat Kuba yang juga telah menghadapi sanksi dan blokade ekonomi AS. Bukan hanya hal ini menyulitkan ekonomi rakyat Kuba, pemerintah Kuba juga tidak dapat mengirim uang melalui sistem perbankan SWIFT yang dikuasai AS untuk membeli berbagai peralatan medis seperti ventilator, jarum suntik dan obat-obatan yang penting untuk mengobati orang yang terpapar covid-19.
Pada pertengahan 2021, dua vaksin buatan domestik Kuba yakni Abdala dan Soberana membuahkan hasil yang sangat positif dengan efikasi di atas 90%. Pemerintah Kuba bahkan sudah berencana untuk mengekspor vaksin-vaksin tersebut untuk membantu negara-negara berkembang yang tidak dapat membeli vaksin dengan harga yang tidak terjangkau.
Kuba juga berencana untuk mencapai “herd immunity” sebelum bulan September menggunakan vaksin buatan lokal. Namun, pertengahan bulan Juni beberapa hari sebelum vaksin Soberana dan Abdala diberi ijin keamanan oleh pemerintah Kuba, terjadi lonjakan penyakit covid-19 dengan jumlah yang sangat tinggi terutama di daerah Matanzas. Dengan jumlah vaksinasi yang masih rendah pemerintah Kuba memutuskan untuk “lockdown” beberapa daerah yang rentan akan lonjakan penyakit covid-19.
Sayangnya, beberapa elemen dan organisasi masyarakat di Kuba menganggap kebijakan ini kurang tepat, dan terjadi beberapa demonstrasi yang berpotensi menyebarkan penyakit covid-19 ini. Organisasi Katolik seperti Christian Liberation Movement (MCL) juga turut ikut serta mengkritik pemerintah Kuba di tengah kekurangan pangan dan obat-obatan di Kuba. Organisasi ini juga menuntut akan adanya reformasi politik di Kuba.
Perlu diketahui bahwa di Kuba, rakyat tidak dapat memilih presiden secara langsung dan hanya dapat memilih anggota dewan. Pada pemilihan anggota dewan tersebut, tidak ada partai politik (termasuk Partai Komunis Kuba) yang boleh meng-endorse kandidat mereka. Beberapa orang kemudian mengkritik karena hal tersebut dianggap berbeda dengan praktik demokrasi liberal pada umumnya. Namun, MCL juga melawan “segala bentuk kekerasan” yang dilakukan oleh demonstran terhadap aparatur sipil negara dan juga sebaliknya. Pada sejarahnya, MCL juga mengkritisi blokade ekonomi AS yang menghancurkan ekonomi Kuba.
Secara geografis, Kuba berjarak hanya sekitar 50 mil dari Amerika Serikat. Secara ekonomi, Kuba sangat terpengaruh oleh aktivitas Amerika Serikat di region tersebut. Sejak kemenangan revolusi Kuba pada tahun 1962, Amerika Serikat telah melakukan berbagai cara untuk menjatuhkan pemerintah Kuba yang berpuncak pada invasi AS terhadap negara kepulauan berpenduduk 11 juta tersebut.
Gereja Katolik secara konsisten menolak konfrontasi dan mendukung pendekatan secara moral dan dialog antara Amerika Serikat dan Kuba. Sejak kedatangan Paus Yohanes Paulus II, Gereja terus menyuarakan agar segera terjadi perubahan kebijakan terhadap blokade ekonomi AS terhadap Kuba yang terus menyengsarakan rakyat Kuba. Pemerintah Kuba juga terus menyalahkan blokade ekonomi AS terhadap Kuba untuk kekurangan yang dialami oleh Kuba.
Lulusan Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan. Tertarik dengan isu hubungan internasional dan keadilan sosial.