
Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com—Belum genap sebulan sejak kasus persekusi umat Kristen di Sukabumi, Jawa Barat, publik kembali disuguhkan berita memilukan. Penolakan pembangunan rumah ibadat kembali terjadi, kali ini di Cilodong, Depok.
Nyatanya, pola dan penyelesaiannya selalu sama: basa-basi dan omong kosong. Apakah kita, sebagai bangsa, sudah sedemikian lupa bagaimana menjunjung Pancasila?
Restorative Justice yang Tumpul
Baru pekan lalu, saat anak-anak sedang retret di Sukabumi, mereka diusir dan diintimidasi. Polisi bergerak cepat, tujuh orang dijadikan tersangka. Namun lihat rekaman video itu: para pelaku tertawa, berpose salam jempol. Tidak ada raut bersalah. Tidak ada penyesalan.
Lucunya, sebelum polisi turun tangan, aparat berseragam pun ada di sana—menonton. Diam. Mematung. Mereka tidak merusak, ya, tapi mereka juga tidak mencegah. Hanya “mengawal”. Dari belasan pelaku, hanya tujuh yang naik status tersangka. Entah pertimbangan hukum atau hanya hitung-hitungan nasi bungkus di sel tahanan.
Dan yang lebih mencengangkan, pemilik vila justru menyumbangkan dana ganti rugi Rp100 juta dari Gubernur untuk membangun masjid. Publik menertawakan, sinis, lalu menulis: “Lain kali, bikin rusuh lagi. Dapat dana segar.”

Tampar Pipi Kanan, Berikan Pipi Kiri
Sabda Yesus tentang kasih yang melampaui balas dendam tidak untuk menoleransi kebodohan kolektif. Jika yang dihadapi adalah kaum bebal, cinta kasih bisa jadi justru mempermalukan kebenaran. Injil memanggil kita untuk mengampuni, tetapi hukum positif negara tidak mengenal kata “maaf” sebagai pembenar.
Restorative justice bukan berarti membiarkan kejahatan berulang. Sayangnya, KemenHAM justru menangguhkan penahanan para perusuh di Sukabumi. Bukannya menegakkan hukum, justru memberi legitimasi bahwa aksi main hakim sendiri bisa “dibantu” dan “dimaklumi”.
Lalu terulanglah hari ini di Cilodong, Depok. Penolakan rumah ibadat, intimidasi, dan paksaan kepada pihak minoritas untuk tunduk pada tafsir mayoritas. Apa pelajaran yang dipetik pelaku? Bahwa mereka benar. Buktinya, negara, aparat, bahkan kementerian tunduk pada tekanan mereka.
Negara ini berdasar Pancasila dan UUD 1945, bukan berdasar tafsir personal kelompok agama tertentu. Namun berulang kali, minoritas dibiarkan menghadapi intimidasi. Penyelesaiannya? Meterai, maaf, salam damai, dan foto bersama. Para pelaku pulang dengan senyum puas. Yang minoritas pulang dengan trauma dan luka harga diri.
Dan para pejabat cukup berkata, “Kami prihatin.”
Jujur saja, negara kita kehilangan nyali moral. Gubernur hanya berani “berharap tak terulang”. Padahal, jika mau tegas, ia bisa memberi ultimatum: pelaku penolakan akan dijebloskan ke penjara, membayar ganti rugi, dan menjalani kerja sosial setahun penuh. Tegas. Jelas. Namun kata “tegas” rupanya hanya untuk tilang motor tanpa spion atau razia sound horeg. Untuk urusan intoleransi? Ah, “ini masalah sensitif”.
Apakah ini yang dimaksud Paus Fransiskus sebagai politics of appearance, politik penampilan, tanpa keberanian moral untuk melindungi martabat manusia?
Yesus Membalik Meja Pedagang
Yesus memang mengajarkan kasih, tetapi ingatlah saat Ia masuk Bait Allah. Ia tidak menepuk bahu pedagang yang mengotori rumah ibadah, melainkan membalikkan meja mereka.
Mengusir mereka. Yesus marah bukan karena kebencian, tetapi demi menegakkan kekudusan dan keadilan. Mengapa gereja hari ini diam ketika rumah ibadat saudara kita ditolak dan dirusak? Mengapa suara kenabian begitu sunyi?
Bangsa ini sudah menginjak usia 80 tahun. Namun kita masih berkutat pada persoalan pendirian rumah ibadat. Masih terjebak dalam sikap anak-anak: memaksa semua sama, semua tunduk pada kehendak kelompok sendiri. Bukankah salah satu ciri kedewasaan adalah kemampuan hidup bersama dalam perbedaan?
Mari belajar mengutuk ketidakadilan dengan kasih, dan mengampuni tanpa meninggalkan penegakan hukum. Sebab kasih sejati tidak pernah membenarkan kejahatan. Kasih sejati menegur, mendidik, dan menuntun pelakunya pada pertobatan – bukan memaklumi dengan dalih toleransi kosong.
Negara, gereja, dan masyarakat sipil harus bersuara lantang. Bukan sekadar prihatin. Karena jika yang benar memilih diam, maka kebatilan akan menepuk dada dan menari di atas luka mereka yang dikorbankan. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.