Menghadirkan Wajah Gereja Katolik di Sekolah Negeri

Ibarat menjadi garam dan terang bagi sesama.

0 351

Oleh Aloysius Juan Farrel Lumentut, mahasiswa Jurusan Informatika di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) dan alumnus SMAN 2 Kota Mojokerto.

Katolikana.com—Sembilan belas tahun yang lalu, saya dihadirkan Tuhan ke dunia lewat kedua orang tua tercinta. Namun, kini saya menjalani kehidupan hanya bersama ibu dan kakak perempuan satu-satunya, karena ayahku telah meninggalkan kami untuk selamanya.

Kakak saya telah menikah dan ia bersama keluarga kecilnya menetap di Surabaya. Sekarang saya duduk menjadi mahasiswa semester 3 jurusan informatika di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).

Melalui tulisan ini, saya ingin membagikan cerita pengalaman saya semasa menempuh pendidikan di bangku SMA.

 

Dari Katolik ke Negeri

Sejak TK sampai SD, bahkan sampai SMP, orang tua selalu menyekolahkan saya di sekolah Katolik. Selain sebagai lembaga pendidikan yang bisa menjaga keberlangsungan iman saya, sekolah Katolik juga dikenal sangat disiplin. Dengan demikian, sekolah Katolik mampu membentuk karakter seseorang menjadi lebih baik.

Pendidikan formal terakhir di sekolah Katolik saya tempuh di SMP Katolik Santo Yusup Mojokerto. Sekolah tersebut berada di bawah naungan Yayasan Yohanes Gabriel dengan kantor pusatnya di Surabaya. SMP yang ada di Jalan Niaga itu merupakan satu-satunya SMP swasta Katolik yang ada di Kota Mojokerto yang berdiri sejak tanggal 1 Agustus tahun 1958. 

Tamat SMP, saya memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke SMA Negeri. Ada beberapa dasar pertimbangan untuk saya memilih SMA Negeri. Alasan pertama, saya ingin masuk dalam lingkungan sekolah baru yang situasinya berbeda dengan sekolah Katolik.

Kedua, ada kebijakan pemerintah mengenai zonasi yang menguntungkan saya. Kebetulan tempat tinggal kami menetap masuk dalam zonasi SMA Negeri 2. Terlintas dalam benak saya bahwa masuk ke sekolah negeri akan membuat saya lebih percaya diri. 

Singkat cerita, saya mendaftar dan diterima di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Setelah masuk dan resmi menjadi siswa SMA Negeri 2 Kota Mojokerto, saya bangga karena saya akhirnya bisa memberanikan diri masuk ke lingkungan ini.

 

Dilema Dipandang Berbeda

Akan tetapi, di sisi lain saya juga merasa sangat kesulitan dan stres dengan proses belajar di awal masuk sekolah. Saya merasa sangat tertinggal dalam banyak hal dan bahkan terbebani dengan tuntutan setiap guru.

Sangat dilematis memang ketika harus berhadapan dengan situasi di sekolah ini. Banyak sekali tantangan yang terkadang sangat memberatkan, bahkan tidak mampu saya selesaikan.

Tuntutan belajar yang sangat berat disertai dengan tekanan mental sering saya alami selama mengikuti proses belajar mengajar.

Selain itu, timbul kesan yang berbeda dengan perasaan saya sebelumnya. Bukan rasa percaya diri yang saya dapat, tetapi perasaan gugup dan canggung karena saya dituntut agar mampu berkomunikasi dengan banyak orang yang tidak saya kenal.

Terkadang ada hal tertentu yang membuat saya merasa kurang sreg. Ada perasaan ganjil saat masih ada siswa yang menyoroti dan memperhatikan setiap aktivitas kami, khususnya dalam kegiatan keagamaan, yang notabene berbeda dengan aktivitas yang dilakukan kebanyakan siswa lain.

Masih ada pula beberapa siswa yang menganggap bahwa perbedaan agama adalah suatu hal yang aneh. Hal-hal tersebut lah yang akhirnya muncul dalam benak bahwa kira-kira itulah nasib yang mesti diterima oleh kami yang minoritas.

Kadang ada pengalaman yang menggetirkan dan meremukkan batin. Tetapi ada juga pengalaman yang sangat menggugah dan mengundang decak kagum.

Maka, saya tetap yakin bahwa lingkungan ini tidak seburuk yang saya pikirkan.

 

Berani Bersikap Terbuka

Banyak hal menyenangkan yang saya dapat di sekolah ini. Ketika semangat belajar saya sangat down, banyak sekali teman yang memberi motivasi sekaligus menyemangati.

Banyak juga yang penasaran dengan perbedaan agama diantara kami. Sikap ini saya jumpai setelah menjalin komunikasi dan relasi yang terbuka dengan teman yang berbeda keyakinan.

Senangnya, sikap yang serupa juga ditunjukkan oleh mereka dibuktikan dengan munculnya sikap toleransi terhadap perbedaan agama. Bahkan ada yang memiliki pandangan bahwa perbedaan agama bisa menjadi pengalaman dan sumber belajar yang berguna bagi mereka.

Pengalaman tersebut tentu menjadi momen yang berharga dalam diri saya dan akan terus saya kenang sebagai pelajaran berharga untuk hidup dalam semangat kebhinekaan.

 

Menjadi Pelayan Kebun Anggur

Ada satu pesan dari pembina Sie Kegiatan Kerohanian Kristen (SK3) di sekolah kami, Bapak John Lobo yang selu saya ingat. Pak John pernah mengatakan, “Kita bagaikan kawanan domba di tengah-tengah serigala.” Artinya, keberadaan iman kita selalu diuji di tengah banyak tantangan dan godaan yang ada di sekitar.

Oleh sebab itu, sebagai seorang Katolik, kita diharapkan menjadi seorang pengikut Yesus yang setia pada panggilan yakni selalu melayani. Melayani dapat dilaksanakan dalam berbagai kondisi dan situasi. 

Dalam hal ini, saya berusaha menjadi seorang pelayan dan pekerja kebun anggur Tuhan lewat bidang ekstrakurikuler yang saya sukai, yakni paduan suara. 

Pesan Pak John yang menguatkan saya dan selalu saya ingat adalah, “Keterlibatan kalian dalam berbagai kegiatan di sekolah ini merupakan ladang anggur, di mana kalian diberi kesempatan untuk mempersembahkan talenta terbaik yang diberikan Tuhan.” Maka, saya berusaha bekerja dan melayani Tuhan dan sesama lewat kegiatan tersebut.

Melalui paduan suara kami dilatih tentang teknik vokal yang benar, termasuk teknik pernafasan, artikulasi, dan dinamika. Fisik yang prima juga sangat dibutuhkan untuk bisa memaksimalkan suara yang dihasilkan. Sehingga sangat disarankan seorang anggota paduan suara harus rutin melakukan jenis olahraga aerobik, seperti jogging, lari, renang, maupun bersepeda. Sebab berbagai aktivitas tersebut sangat bagus untuk memperkuat organ pernafasan. 

Ternyata, apa yang saya lakukan di ekstrakurikuler paduan suara membuat keberadaan saya dan teman-teman yang beragama Katolik dapat diterima dengan baik. Bahkan terkadang kami diibaratkan seperti garam dan terang bagi sesama anggota paduan suara. Sebab, kami terkadang dijadikan tempat rujukan atau bertanya bagi teman-teman dalam hal membaca notasi dan hal-hal teknis lain yang berhubungan dengan paduan suara. 

Saya memaknai segala pengalaman tersebut, sebagai sebuah pelajaran. Melalui pembaptisan yang telah diterima, saya dituntut agar bisa mengekspresikan iman atau keyakinan di lingkungan sekolah. Banyak sekali yang dapat saya lakukan. Misalnya, mulai dari hal-hal yang sederhana seperti berani membuat tanda salib saat akan memulai/mengakhiri aktivitas sebagai tanda kemenangan Kristus.

Selain itu, saya juga mencoba meneladani sikap Tuhan Yesus, seperti bertindak bijaksana, tenang dan sabar, menempatkan sesama sebagai saudara yang memiliki martabat yang sama, bersikap jujur, hingga mampu bergaul dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan.

Melalui aktivitas sederhana itu saya berharap bisa menghadirkan wajah Yesus atau wajah Gereja Katolik kepada teman-teman yang berbeda keyakinan.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.