Tutup 2023, PGI dan Kelompok Marginal Beri Refleksi Kritis untuk Indonesia

Indonesia masih diskriminatif kepada kelompok marginal. Mulai dari wajib dibaptis hingga wajib berjilbab.

0 60

Katolikana.com—Di penghujung 2023, berbagai elemen kelompok marginal memberikan refleksi akhir tahun secara kritis kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia. Refleksi itu disampaikan dalam acara yang diinisiasi oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada Kamis pagi, (28/12), bertempat di Grha Oikoumene, Jakarta.

Acara tersebut bertajuk “Peluncuran dan Diskusi Film Tuhan, Apakah Kau Serumit Itu? dan Refleksi Akhir Tahun 2023 dari Kelompok-Kelompok yang Terpinggirkan”.

Meski bertindak sebagai tuan rumah dalam acara ini, PGI tidak berbicara sendiri. PGI justru memberikan panggung bagi beragam kelompok marginal untuk memberikan refleksi kritis mereka bagi Indonesia menurut versi masing-masing.

Maka berbagai elemen kelompok marginal pun menyampaikan catatan mereka secara bergantian.

Aan, perwakilan kelompok ODHIV (orang dengan HIV), menyebutkan ODHIV masih merasa mereka menjadi sasaran stigmatisasi masyarakat. Stigmatisasi terus awet karena masyarakat Indonesia masih melihat HIV sebagai masalah moralitas, bukan semata masalah medis.

Masalah stigma ini berdampak besar bagi ODHIV. Misalnya, ODHIV memilih tidak menjalani pengobatan jika setiap sebulan sekali mereka harus izin ke kantor untuk mengambil obat ARV (antiretroviral) di puskesmas. ODHIV enggan jika intensitas izin tersebut membuat status mereka sebagai ODHIV ketahuan. Mereka takut jika status tersebut diketahui publik, pekerjaan mereka kelak terancam.

Padahal, saat ini sudah ada rekomendasi agar obat ARV bisa diambil tiap 3 bulan, agar ODHIV tidak harus terlalu sering izin dari tempat kerja mereka. Sayangnya, belum semua puskesmas di lapangan menerapkan rekomendasi tersebut.

Namun, kesulitan dalam pekerjaan bukanlah stigma paling ekstrem bagi ODHIV. “Paling ekstrem, ODHIV dilarang untuk naik haji. Menurut rekomendasi Kemenkes seperti itu,” sebut Aan.

Aan (ketiga dari kiri) saat memberikan paparan refleksi akhir tahun mewakili kelompok ODHIV. (Sumber: Yudha)

 

Dipaksa Dibaptis dan Berjilbab

Bagi penghayat kepercayaan, mereka menganggap situasi di sepanjang 2023 secara umum tidak berubah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kelompok penghayat kepercayaan tetap menjadi sasaran diskriminasi oleh kelompok mayoritas. Terutama dalam hak-hak dasar, seperti kependudukan, pendidikan, pekerjaan, pernikahan, dan pemakaman.

Banyak contoh konkret bagaimana penghayat kepercayaan mengalami diskriminasi oleh penganut enam agama yang dipeluk kebanyakan masyarakat Indonesia. Misalnya saja, di sebuah daerah di Jawa, penghayat kepercayaan yang meninggal dunia boleh dimakamkan di makam desa jika ia disalatkan terlebih dahulu. Sementara itu, anak penghayat kepercayaan di Sumba harus sudah dibaptis jika ingin menempuh jenjang pendidikan formal.

“Di Sumba, anak mau mendaftar sekolah itu harus menunjukkan surat baptis. Bukan cuma akta kelahiran. Jadi, pemuka Marapu, mereka punya lima anak, satu yang diminta tidak sekolah, diminta untuk menjadi penerus pemuka Marapu. Empat lainnya biarlah jadi Kristen/Katolik supaya bisa melanjutkan pendidikan. Akibatnya apa? Pemuka Marapu yang ada saat ini rata-rata tidak berpendidikan.”

Catatan yang mirip juga disampaikan oleh peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengenai tren aturan wajib berjilbab di sekolah. Bahkan menurut pantauan Andreas, aturan semacam ini sudah ditemukan di 24 dari 38 provinsi di Indonesia.

Mengutip Mendikbudristek Nadiem Makarim, ia menyebutkan tiga dosa besar dunia pendidikan Indonesia adalah perundungan (bullying), kekerasan seksual, dan intoleransi. Bagi Andreas, aturan wajib berjilbab ini sudah memenuhi unsur intoleransi dan perundungan. Korban aturan ini tidak boleh memiliki pandangan keagamaan yang berbeda. Selain itu, jika mereka sengaja melawan aturan ini, mereka dan keluarganya akan mengalami perundungan dari banyak pihak.

Korbannya pun tak hanya siswi muslim yang dipaksa berjilbab. Dalam beberapa kasus, siswi Kristen Protestan, Katolik, Hindu atau Buddha pun juga menjadi sasaran pemaksaan kewajiban berjilbab.

Bahkan, ada kejadian seorang siswi Kristen di Padang yang menolak berjilbab di sekolah lantas diancam untuk dikeluarkan dari sekolah. Ia teguh untuk melawan aturan diskriminatif ini dan akhirnya menang. Ia tidak jadi dikeluarkan dan tetap bisa melanjutkan pendidikan di sekolahnya tanpa harus berjilbab. Namun imbasnya, toko milik keluarganya diboikot oleh masyarakat. Keluarganya pun bangkrut dan ayahnya saat ini harus bekerja sebagai sopir angkot.

“Jilbabnya itu tidak bermasalah. Maksanya itu lo, itu yang bermasalah,” tegas Andreas.

 

Pro-Kehidupan, Bukan Pro-Kematian

Sementara itu, Kepala Biro Papua PGI, Pdt. Ronald Tapilatu, memberikan refleksinya terkait Papua. Menurutnya, masalah utama saat ini di Papua adalah siapapun yang angkat bicara mengenai Papua akan selalu ditodong dengan tuduhan: dia pro-Indonesia atau pro-KKB? Situasi ini membuat situasi rumit karena setiap orang saling menaruh rasa curiga.

Di tengah situasi rumit itu, Pdt. Ronald menolak memandang masalah Papua dengan cara dikotomis tersebut, pro-Indonesia atau pro-KKB. Ia gamblang mengatakan, “Kita harus pro-kehidupan. Jangan sampai kita memilih untuk pro-kematian.”

Untungnya, masyarakat Papua masih bisa menaruh kepercayaan mereka terhadap institusi gereja. Saat konflik pecah dan pemerintah terkendala untuk mengirimkan bantuan di Papua, gereja lah yang bergerak untuk memberikan bantuan kepada masyarakat di daerah rawan konflik di Papua.

Sekarang tercatat ada tiga keuskupan serta lima sinode yang secara aktif terus memantau keadaan di Papua. Mereka inilah yang berperan penting untuk menjadi jembatan penghubung agar kelompok minoritas orang asli Papua (OAP) tidak merasa makin terpinggirkan di tanahnya sendiri.

 

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.