Oleh Vincentius Dimas Sanubari, alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata dan Tim Sosmed Paroki St. Theresia Bongsari, Semarang.
Katolikana.com—Di Indonesia, perselisihan tentang agama telah terjadi berkali-kali. Adu umuk soal agama ini sama kerasnya dengan perbedaan pandangan politik, sekaligus fans Manchester United yang tak pernah terima atas kekalahan untuk kesekian kalinya.
Fakta perselisihan berbasis agama baru-baru ini kembali terjadi, yakni kisah pembubaran doa Rosario yang dialami oleh mahasiswa Katolik Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Senin (6/5/2024).
Mungkin kisah ini bagi umat Katolik merupakan peristiwa yang miris dan bikin hati jadi mangkel.
Namun, haruskah kita ikut tersulut dan mengutuk mereka yang melayangkan sajam ke tubuh mahasiswa yang sedang berdevosi kepada Bunda Maria?
Mari kita bersandar sejenak pada kisah Ignatius Loyola dan puisi Joko Pinurbo.
Kisah Ksatria Spanyol
Buku Walking with Inigo (2019) yang ditulis oleh Pater Gerald Coleman, SJ adalah salah satu buku yang membahas mengenai perjalanan iman seorang ksatria Spanyol, Ignatius Loyola.
Ketika menjadi ksatria yang tinggal di istana megah, Ignatius Loyola merupakan sosok yang gemar memenuhi keinginan “daging” daripada keinginan rohani, bahkan sikapnya cukup temperamental.
Ignatius Loyola juga tak akan ambil pusing untuk melukai orang lain yang menyenggolnya. Baginya, ketenaran melalui aksi-aksi berani yang diraih secara heroik dalam sebuah pertempuran adalah segala-galanya.
Namun ketenaran itu berujung hampa. Ignatius Loyola mengalami patah tulang pada bagian kaki dalam pertempuran melawan tentara Prancis di Kota Pamplona.
Kesakitan yang Ignatius Loyola tanggung merupakan bagian konsekuensi dan pengalaman pertamanya menghadapi kematian. Ia menuntut kepada dokter bagaimana caranya tulang tersebut harus dioperasi secara sempurna. Dia tak ingin berjalan pincang di hadapan wanita.
Musibah yang terjadi ternyata tak membuat Ignatius Loyola berefleksi. Dia malahan masih memikirkan ketenaran. Padahal operasi yang dilakukan berkali-kali itu membuatnya amat tersiksa. Namun, dia cukup kuat untuk menghadapi rasa sakit yang luar biasa itu.
Berubah Lewat Buku
Lambat laun, keadaan Ignatius Loyola mulai membaik. Namun dia masih belum dapat berdiri dan terpaksa harus berbaring di tempat tidur terus-terusan.
Saat dinyatakan sembuh, dia ingin sekali membaca buku fantasi profan yang biasanya disebut novel ksatria.
Namun, apa dia inginkan tidak bisa terpenuhi. Akhirnya, diberikan kepadanya sebuah buku Riwayat Hidup Kristus karya Ludolphus de Saxony (1300-1378), dan beberapa buku para santo.
Lewat buku Ludolphus itulah titik di mana ksatria bengis mulai luluh dan menghayati luka-luka Kristus yang tersalib.
Dia mulai belajar berdiskresi (pembedaan roh) dan memberikan ruang bagi Allah untuk berkarya dalam dirinya.
Dalam buku Riwayat Hidup Kristus, Ludolphus mengajak pembacanya untuk membayangkan berziarah ke Yerusalem. Hingga akhirnya, Ignatius Loyola pun juga tergerak untuk melakukan itu.
Sejak itu, apa yang dikejar oleh Ignatius Loyola tidak lagi kenikmatan duniawi dan perempuan impian. Dia mengikuti jejak para kudus dalam matiraga dan berziarah.
Bertemu Orang Moor
Akhirnya, Ignatius Loyola memutuskan untuk berziarah dan berpamitan pada orang-orang terkasih. Ia juga mengatakan akan bertemu lagi 13 tahun mendatang.
Sebelum ziarah ke Yerusalem, Ignatius Loyola memulai perjalanan dengan keledai ke Montserrat sejauh 550 kilometer, memakan waktu 20 hari. Selama perjalanan, dia merenungkan segala sesuatu yang telah terjadi atas dirinya.
Pada tahap ini, sebetulnya Ignatius Loyola masih belum mengenal niat hatinya secara khusus. Dia sebatas terobsesi apa yang dilakukan oleh orang kudus demi kesucian sejati.
Suatu waktu ketika berjalan, seorang Moor mendekati Ignatius Loyola. Mereka berjalan bersama dengan keledai masing-masing. Sembari berjalan, mereka mulai membicarakan Bunda Maria.
Orang Moor itu berkata bahwa Maria memang perawan sewaktu mengandung Yesus, tetapi dia tidak dapat percaya, apabila setelah melahirkan masih perawan.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah bagian terpenting.
Ignatius Loyola marah kepada orang Moor tersebut. Ditambah stigma sosial yang buruk pada orang Moor begitu kental di keluarga Loyola, oleh karena itu mereka diusir dari Spanyol.
Nada obrolan yang mulai berubah, membuat orang Moor bergegas meninggalkan Ignatius Loyola. Di momen ini, dia sebetulnya tidak sepenuhnya berubah, masih ada jiwa-jiwa bengis sewaktu menjadi ksatria.
Mengapa jiwa bengis? Karena Ignatius Loyola mempunyai niat membunuh orang Moor dengan belatinya. Jika mengacu dalam kode etik ksatria, seorang ksatria diperbolehkan membalas dendam apabila kehormatan putrinya dinodai. Baginya, Maria telah dihina.
Lantas apa yang dilakukan oleh Ignatius Loyola? Kini pikiran dan perasaannya campur aduk.
Kemarahan adalah bentuk emosi yang menjadi tantangan terbesarnya saat itu. Sebab, sewaktu mudanya, Ignatius Loyola pernah didorong secara paksa oleh sekelompok orang. Dalam sekejap, ia langsung mengeluarkan pedang dan mengejar yang mendorongnya.
Beruntungya ada seseorang di jalanan yang menahan amarahnya. Namun, apa yang terjadi kali ini, Ignatius Loyola tidak ada yang menahannya.
Berdiskresi
Ignatius Loyola akhirnya memilih untuk merenung. Dia mencoba berdiskresi hingga letih mencermati situasi batinnya sendiri.
Pada peristiwa ini, kemuliaan Allah tahap demi tahap menggantikan kemuliaan Ignatius Loyola yang tadinya sebatas terobsesi dengan kisah orang kudus. Ia berserah pada Allah dan membiarkan keledai yang ditungganginya memutuskan.
Kala itu Ignatius Loyola melihat dua simpang jalan, jika keledainya mengikuti jalur orang Moor, maka ia akan menusuknya dari belakang. Tetapi keledai itu memilih jalur yang berbeda.
Dari secuil kisah ini, kita sebagai umat Katolik diajak untuk merefleksikan, karena momen ini relevan dengan apa yang terjadi saat ini.
Mungkin kita merasakan emosi yang sama seperti Ignatius Loyola ketika mendengar kabar pembubaran doa Rosario, atau ketika melihat komentar negatif pada katekese digital.
Jadi apa yang Anda harapkan dari kondisi ini? Begitulah cara dunia bekerja. Tak selamanya langit biru, dan memperjuangkan iman tak harus dilantangkan.
Keheningan dan berserah kepada Allah adalah bahan bakar iman terbaik. Layaknya Ignatius Loyola yang terus berdiskresi dan melebarkan ruang hatinya untuk Allah berkarya di setiap perjalanannya.
Doa untuk Agama
Lewat peristiwa ini kita juga bisa berefleksi lewat beberapa puisi Philipus Joko Pinurbo (Jokpin). Meski wajahnya kini tak lagi terlihat, namun senyumnya tetap akan terukir dalam setiap karyanya dan membuat kita tersenyum lebar.
Salah satu karya puisi Jokpin yang menampar untuk realita sekarang adalah “Doa untuk Agama” yang tertuang dalam buku Kabar Sukacinta (2021):
“Semoga agama tidak membuat cinta yang lembut menjadi kaku. Semoga agama tidak membuat cinta yang cair menjadi beku. Semoga agama tidak membuat cinta yang manis menjadi bengis. Semoga agama percaya bahwa kita pantas memeluknya.”
Peristiwa ini semoga tidak menjadikan kita sebagai umat Katolik takut untuk berdoa melainkan lebih takut pada hukum Allah jika meninggalkan Gereja.
Semoga juga kita tidak beranggapan bahwa Katolik adalah kelompok minoritas yang menderita, namun biarkan itu dialami oleh Manchester United. (*)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.