Katolikana.com — Romo, bagaimana peran umat Katolik dan Gereja Katolik dalam dunia politik? Ada yang mengatakan: Jangan pakai identitas Katolik jika berkomentar tentang politik. Apakah benar demikian?
Anonim
Pertanyaan terakhir tidak benar dan perlu diluruskan. Jawabannya ada dalam Katekismus Gereja Katolik, Hukum Gereja, dan juga dalam dokumen-dokumen Gereja.
Jika kita terlibat dalam politik, jangan sampai kita MENGHILANGKAN identitas kekatolikan kita. Justru karena kita “orang Katolik” maka kita memberikan kesaksian hidup sebagai umat Katolik yang terlibat dalam politik untuk membela kebenaran, mempromosikan kebaikan bersama dan HAM.
Umat Katolik mesti terlibat dalam politik secara benar, baik dan bijak. Gereja Katolik perlu menyampaikan penilaian moral dalam dunia politik.
Hal itu bisa kita baca dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 2246: “Dalam perutusan Gereja termasuk “menyampaikan penilaian moralnya, juga menyangkut hal-hal tata politik”.
Penilaian moral terhadap politik mesti diberikan “bila itu dituntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa dengan menggunakan semua dan hanya bantuan-bantuan, yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan semua orang, menanggapi zaman maupun situasi yang berbeda-beda” (KGK 2246; Gaudium et Spes art. 76, 5).
Pada 21 November 2002, Kongregasi untuk Doktrin Iman mengeluarkan satu dokumen tentang keterlibatan umat Katolik dalam politik. Dokumen itu berjudul: “Doctrinal note on Some Questions Regarding the Participation of Catholics in Political Life”.
Dalam dokumen ini, umat Katolik bukan hanya boleh berkomentar tentang politik, melainkan mesti terlibat aktif dalam dunia politik.
Keterlibatan dalam politik mesti ditunjukkan untuk memperjuangkan kebaikan bersama, kebebasan otonom untuk memilih sesuai hati nurani, mempromosikan & membela hak azasi manusia. Mempromosikan etika politik & etiket perilaku merupakan salah satu cara untuk memelihara kebaikan bersama.
Tentu saja kita perlu menyadari bahwa di antara umat Katolik ada yang memilih sebagai awam dan ada yang memilih sebagai klerikus. Para klerikus itu adalah kaum tertahbis: Diakon, Romo/Pastor, dan Uskup.
Gereja Katolik tentu mengatur keterlibatan para Klerikus dalam politik. Para klerikus DILARANG terlibat dalam partai politik (Parpol) dan struktur organisasi serikat buruh.
Dengan kata lain, para Klerikus tidak boleh menjadi anggota Parpol. Larangan keterlibatan klerikus dalam partai politik ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik (Hukum Gereja; KHK) Kanon 287 §2.
Kanon 287§2 menegaskan: “Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam pemerintahan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kebaikan umum”.
Para klerikus itu memiliki tanggung jawab untuk dengan tekun memupuk kedamaian dan kerukunan di antara sesama manusia (KHK Kanon 287 – §1). Dalam melaksanakan tanggung jawab ini para klerikus mesti independen, tidak terafiliasi dengan partai politik.
Dalam melaksanakan tanggung jawab ini akan terganggu, bahkan tidak bisa dilaksanakan jika para klerikus terlibat dan berpihak pada partai politik tertentu.
Larangan ini tentu saja tidak mutlak. Otoritas Gereja dapat memberi pengecualian jika keterlibatan itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kebaikan umum (bdk. KHK Kanon 287 §2).
Isi KHK Kanon 287 §2: “Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam pemerintahan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kebaikan umum”.
Dalam buku “New Commentary on the Code of Canon Law” (2000), otoritas gerejawi yan dimaksud adalah Ordinaris dari para klerikus (Uskup diosesan atau Provinsial jika klerikus itu anggota suatu Tarekat Religius).
Jika diperlukan, persetujuan keterlibatan dalam politik dapat berasal dari Konferensi para Uskup.
Namun, mesti kita tegaskan bahwa para klerikus perlu menyuarakan penilaian moral agar keterlibatan dalam politik dijalankan secara benar, baik dan bijak. Para klerikus dipanggil untuk memberikan kriteria-kriteria keterlbatan dalam politik agar terpelihara kebaikan bersama dan HAM. (*)
Pastor Postinus Gulö, OSC adalah Pengajar Hukum Gereja di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar); Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022).
Sumber: Utas Pastor Postinus Gulö, OSC di platform X.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.