Pentingnya Motivasi Panggilan dalam Proses Formasi Calon Imam

Banyak calon imam yang mengaku bahwa dirinya sudah kehilangan motivasi untuk menjalani proses untuk memenuhi panggilan sebagai imam.

0 75

Katolikana.com — Ada salah satu fenomena memprihatinkan yang sering terjadi dalam lingkungan formasi pendidikan seorang calon imam. Fenomena tersebut ialah banyaknya calon imam yang memilih berhenti di tengah jalan untuk berproses sebagai imam.

Ketika ditanya tentang alasannya, banyak diantara mereka yang merespon dengan jawaban senada: Mengaku bahwa dirinya sudah kehilangan motivasi untuk menjalani proses untuk memenuhi panggilan sebagai imam.

Mirisnya, banyak diantaranya yang sejak awal bahkan mengaku tidak pernah menyadari apa motivasi dirinya selama menjalankan masa formasi. Padahal, hal yang paling esensial dalam memulai perjalanan sebagai calon imam adalah motivasi panggilan.

Tulisan ini akan menjelaskan seberapa pentingnya motivasi panggilan bagi proses formasi seorang calon imam.

 

Motivasi Panggilan adalah Landasan

Bagi calon imam, motivasi panggilan menjadi landasan yang mesti mendasari tindakan mereka sebelum menjawab panggilan Tuhan. Motivasi panggilan mesti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka.

Tujuannya tidak lain ialah supaya calon imam mampu memaknai panggilan Tuhan sebagai pilihan hidup yang harus dijalani dengan sepenuh hati. Adanya kesadaran tersebut dapat memunculkan semangat untuk menjadi pewarta sabda-Nya.

Sehingga menurut hemat saya, ada tiga hal utama yang perlu ditekankan dalam menumbuhkan motivasi panggilan dalam diri seorang calon imam.

Pertama, kerendahan hati dan ketaatan. Kerendahan hati merupakan suatu sikap penerimaan dari dalam diri terhadap segala sesuatu dari luar yang ikut mempengaruhi perkembangan diri.

Dalam konteks pembinaan calon imam, kerendahan hati calon imam secara sederhana dapat dilihat dari kesediaannya menerima setiap bimbingan dari para formator. Ketaatan berhubungan erat dengan kesediaan calon imam menaati aturan yang ada.

Kedua, pilihan menjadi imam mestilah diterima dan dihargai sebagai karunia. Pilihan hidup sebagai seorang imam harus dipahami sebagai sebuah pilihan mulia.

Agustinus Surianto, Pr, dalam karyanya Imam Diosesan mengatakan pilihan menjadi imam mengandung konsekuensi yang tidak ringan karena adanya unsur pengorbanan di sana​.

Pernyataan tersebut mungkin memunculkan sebuah pertanyaan lain: Apakah pilihan hidup lainnya lantas tidak bernilai mulia?

Tentunya bukan demikian. Hal yang ingin ditekankan di sini ialah calon imam, khususnya imam diosesan, hendaknya membangun kesadaran diri bahwa pilihan hidup yang sudah mereka ambil adalah sebuah karunia.

Dari situlah akan tumbuh motivasi dalam diri calon imam, sehingga mereka dapat dengan penuh penghayatan menjalani pilihan hidup ini.

Ketiga, calon imam harus memaknai kemiskinan dengan sukarela. Kemiskinan sukarela yang dimaksudkan di sini ialah calon imam harus siap menerima konsekuensi dari panggilan yang sudah dipilihnya itu.

Apabila seseorang mau menjadi imam, maka ia mesti bisa merelakan dirinya untuk hidup miskin. Idealnya, dia harus berani untuk mengambil cara hidup sesederhana mungkin, tanpa perlu menggantungkan diri dengan harta benda duniawi. 

Panggilan memang menuntut kita supaya meninggalkan segala sesuatu. Panggilan juga menuntut kita percaya bahwa kita tidak takut akan segala sesuatu. 

Dalam buku Kemiskinan Demi Kerajaan Allah terjemahan Philip Ola Daen, Pr, disebutkan bahwa ketika menjalani panggilan artinya calon imam harus siap sedia meninggalkan setiap keamanan dan concern yang bersifat duniawi​.

 

Motivasi yang Mengakar

Landasan motivasi panggilan tersebut tentunya mempunyai relevansi dengan proses formasi calon imam.

Ada calon imam yang menyadari jika motivasinya menjalani panggilan hanyalah sekadar untuk “mencuri ilmu”. Akan tetapi, akhirnya calon imam tersebut malah benar-benar menjadi imam.

Di sisi lain, ada pula calon imam yang sedari awal mempunyai motivasi kuat untuk menjadi imam. Ironisnya, justru kemudian ia memutuskan keluar dan meninggalkan panggilannya.

Namun dengan adanya dua contoh fenomena yang bertolak belakang itu, bukan berarti motivasi panggilan tidak memainkan peranan dalam pembinaan calon imam.

Sebaliknya, justru semua fenomena yang terjadi dalam pembinaan calon imam mendapat pengaruh yang besar dari motivasi panggilan. 

Calon imam bisa saja memilih keluar dari panggilannya karena ia tidak memiliki motivasi panggilan yang mengakar di dalam dirinya.

Konsekuensinya, semakin lama berproses, justru semakin ia kehilangan semangat dalam menjalani panggilan Tuhan.

Kesadaran untuk mencintai panggilan haruslah berawal dari motivasi panggilan yang telah mengakar sedemikian kuat dalam pribadi seorang calon imam.

Misalnya saja, saya mencontohkan bagi calon imam diosesan, motivasi panggilan yang mengakar tentu sangat berhubungan dengan sejauh mana ia bersedia mengikatkan dirinya di suatu diosis atau keuskupan.

Para calon imam diosesan harus turut ambil bagian dalam menghadirkan dan mewujud-nyatakan apa yang menjadi keprihatinan uskupnya. Umumnya, hal ini sudah dituangkan dalam visi-misi dan Arah Dasar di keuskupan masing-masing.

Mengapa demikian? Sebab nantinya setiap imam diosesan akan mengabdikan dirinya seumur hidup untuk melayani diosis alias keuskupannya. Maka, mereka harus menghayati panggilan imamatnya dalam kebersamaan sebagai pelayan bagi uskupnya​.

Semangat melayani ini lalu mesti dikuatkan dan diasah lagi dengan motivasi kepedulian akan pentingnya mewartakan kasih Kristus di tengah umat dengan beragam dinamikanya.

Sehingga dengan demikian, kemampuan dan kualitas pelayanan calon imam dapat tetap terjaga ketika di kemudian hari ia ditahbiskan menjadi seorang imam.

Adapun proses formasi calon imam bisa dikatakan sebagai proses “mematangkan” motivasi panggilan yang sudah ada sebagai bekal dari masing-masing calon imam.

Berbekal motivasi panggilan yang dimiliki calon imam, para formator lantas dapat menilai kesiapan calon imam dari berbagai aspek. Para formator juga dapat membantu mengarahkan calon imam mempersiapkan diri untuk mengabdi sebagai imam dengan penuh ketulusan hati.

 

Menghayati Kehidupan Rohani

Hemat saya, panggilan untuk menjadi imam itu sangat mulia dan sungguh agung. Keagungan itu tampak dalam kehidupan rohani, terutama pada ekaristi maha kudus. Ekaristi maha kudus adalah puncak dan pusat hidup setiap umat beriman. Tidak terkecuali bagi kehidupan para imam.

Maka dari itu dalam proses formasi, calon imam bakal senantiasa diajarkan untuk mengutamakan penghayatan kehidupan rohani. Hal ini penting sebagai penguat motivasi panggilan mereka untuk selalu setia pada jalan panggilan Tuhan.

Pada tahap formasi, calon imam ditempa untuk membentuk pribadi serta melatih diri dalam penghayatan hidup rohani yang baik. Agar penghayatan iman itu nantinya sungguh menjadi sakral untuk menggenapi panggilan mereka mengabdi kepada Yesus Kristus.

Dengan penghayatan rohani tersebut, calon imam diharapkan sanggup mendedikasikan diri sepenuhnya untuk mewartakan Injil Tuhan. Ia disiapkan sungguh-sungguh memiliki kapasitas yang layak untuk bisa merayakan sabda Kristus. Ia juga diharapkan dapat menggembalakan umat Allah setelah dirinya ditahbiskan menjadi imam kelak. (*)

 

Penulis: Konradus Si Juhadun, mahasiswa program sarjana Ilmu Filsafat di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Editor: Ageng Yudhapratama

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.