
Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com — Peletakan batu pertama pembangunan gedung Gereja Santo Fransiskus Xaverius di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara pada awal Juni 2025 menjadi penanda penting kehadiran negara dalam mendukung kehidupan beragama yang inklusif dan toleran.
Namun, penyematan istilah “Basilika” pada gereja ini sejak awal menuai diskusi yang layak didalami secara teologis, historis, dan pastoral.
Dengan anggaran mendekati satu triliun rupiah dan rencana pembangunan yang sempat mundur dari jadwal, gereja ini disiapkan sebagai simbol kehadiran negara dalam menjamin kebebasan beragama.
Namun, penggunaan istilah “Basilika” menimbulkan pertanyaan penting: apakah sudah memperoleh pengakuan resmi dari Vatikan?
Katedral dan Basilika
Istilah “basilika” bukan sekadar penamaan, tetapi status gerejawi khusus yang hanya bisa diberikan oleh Paus sebagai Uskup Roma. Sejarah panjang, peran penting dalam liturgi Gereja universal, serta kontribusi spiritual yang luar biasa adalah beberapa kriteria gereja dapat dianugerahi status basilika minor ataupun mayor.
Dalam konteks hierarki gerejawi, justru lebih tepat menyebut gereja ini sebagai “katedral” karena akan menjadi pusat pelayanan uskup di Keuskupan IKN yang tengah dibentuk. Katedral adalah tempat takhta uskup (cathedra) berada, pusat kehidupan iman umat di wilayah keuskupan tersebut.
Pemilihan nama Santo Fransiskus Xaverius bukan tanpa makna. Ia adalah misionaris Jesuit yang dalam perjalanannya menginjakkan kaki di Ambon, Ternate, dan kawasan Nusantara lainnya pada abad ke-16. Dalam catatan sejarah, ia membaptis lebih dari seribu orang di Maluku dan menerjemahkan doa-doa dasar ke dalam bahasa Melayu.
Menurut Adolf Heuken, dalam buku Ensiklopedi Orang Kudus: dari A sampai Z terbitan Yayasan Cipta Loka Caraka (1995), Fransiskus Xaverius adalah sosok yang dekat dengan umat, belajar bahasa lokal, dan mengabarkan Injil dengan pendekatan inkulturatif.
Ia menjelajah dari Goa di India, Malaka, Ambon, hingga Tiongkok, dan wafat dalam pelayanannya pada usia 46 tahun. Semangat misioner dan cintanya pada jiwa manusia menjadikannya pelindung misi Katolik se-dunia, termasuk di Indonesia.
Panggilan Profetik
Pertanyaan Ignatius Loyola kepada Xaverius — “Apa gunanya memperoleh seluruh dunia, jika kehilangan jiwamu?” — terasa amat relevan dalam konteks sosial-politik Indonesia hari ini. Di saat kasus-kasus korupsi mengungkap aliran dana triliunan rupiah yang diselewengkan oleh segelintir elit, pembangunan gereja megah justru mengundang refleksi lebih dalam.
Apakah pembangunan tempat ibadah monumental ini mampu menjawab persoalan struktural seperti perizinan rumah ibadah yang seringkali dipersulit, atau tindakan intoleransi yang terus membayangi umat beragama di berbagai daerah?
Satu triliun rupiah untuk satu gedung bisa saja dianggap wajar dalam skala proyek negara. Namun, pertanyaannya adalah: apakah negara juga hadir dan mempermudah perizinan dan pendirian tempat ibadah umat lain di daerah-daerah terpencil? Apakah semangat toleransi ini menyentuh akar rumput, bukan hanya mengilap di etalase ibu kota negara?

Pancasila dan Toleransi
Pemerintah telah menyatakan pembangunan gereja ini sebagai bentuk komitmen terhadap semangat Pancasila dan toleransi. Namun, toleransi sejati tidak berhenti di simbol. Ia mesti hadir dalam kebijakan, regulasi, dan keberpihakan terhadap kelompok minoritas yang selama ini kerap terpinggirkan.
Negara tidak bisa hanya tampil agung di pusat, tetapi abai di pinggiran. Membangun satu katedral di ibu kota tak boleh dijadikan alasan untuk menutup mata atas puluhan rumah ibadah yang dipersulit bahkan ditolak di tempat lain.
Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara agama. Pancasila mengakui enam agama dan menjamin kebebasan beragama. Maka, pembangunan gereja yang megah harus diimbangi dengan kesetaraan dalam hak dan akses umat beragama lain.
Simbolisme harus ditopang oleh kerja nyata. Kita membutuhkan negara yang hadir tidak hanya untuk meresmikan, tapi juga membela; tidak hanya menempatkan batu pertama, tapi juga menyapa yang tertindas.
Katedral Fransiskus Xaverius di IKN seharusnya menjadi simbol persatuan, bukan sekadar kebanggaan. Namanya harus menjadi inspirasi agar Gereja dan negara bersama-sama menyuarakan panggilan profetik: membela yang lemah, menolak korupsi, melawan intoleransi, dan memelihara keberagaman yang adil dan damai.
Gereja ini bisa menjadi saksi iman dan wajah Indonesia yang sesungguhnya — jika dibangun bukan hanya dengan batu dan dana, tetapi juga dengan hati dan kesadaran. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Semoga umat Katolik dapat menjadi garam dan terang dunia dimana pun dan kapanpun ya Mas Susy.