
Katolikana.com—Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar. Sejumlah mahasiswa dari luar kota datang ke Yogyakarta untuk belajar, salah satunya Anastasia Cecilia br Ginting (20).
Nanas adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).
Sebagai keturunan Batak Karo, Nanas dibesarkan di Kabanjahe, Sumatera Utara.
“Yogya dan Kabanjahe tentu banyak perbedaan yang membuat saya kaget seperti cuaca, makanan, dan yang paling beda ada di aksen. Karena kalau orang Medan kan bicaranya lebih cepat,” ucap Nanas.
Adanya perbedaan budaya antara Yogya dan Medan membuatnya kaget.
“Contohnya kalau orang Jawa itu sangat halus dan memakai penekanan kalau setiap bicara sedangkan orang Kabanjahe kan langsung gas aja. Selain itu, kalau dari segi makanan cenderung kering jadi susah buat aku diawal beradaptasi,” tegas Nanas.
Rindu Kampung Halaman
Tak bisa dimungkiri, Nanas sering merindukan suasana di Kabanjahe sebagai kampung halaman.
“Aku selalu merindukan suasana kampung karena itu tempat saya dilahirkan,” ucap Nanas.
Baginya kampung halaman adalah tempat paling banyak menyimpan kenangan dan memberikan suasana kenyamanan. Ada beberapa acara kegiatan yang dirindukan ketika berada di Yogyakarta.
“Di Kabanjahe banyak festival. Setiap tahun setiap desa mengadakan pesta kerja tahun. Saat itu tepat pada waktu panen padi. Jadi, uangnya dipakai untuk mengadakan pesta dua hari,” ceritanya.

Pertahankan Budaya
Menurut Nanas, salah satu hal yang dapat dipertahankan dan menunjukkan identitas sebagai orang Karo adalah aksen.
“Kalau aku mempertahankannya dengan tidak mengubah aksen saat berbicara,” tegas Nanas.
Nanas juga aktif mengunggah konten di akun media sosial mengenai perbedaan orang Batak Karo dengan budaya Yogyakarta.
“Aku sering membagikan cerita di akun media sosial, seperti memberikan informasi kalau di Karo itu begini tapi di Yogya begini semacam perbandingan,” papar Nanas.
Hal itu dilakukan untuk memperkenalkan budaya Batak Karo dan membagikan kisahnya selama hidup merantau.
“Sejauh ini pengikut aku selalu bilang konten itu informatif dan menarik,” ucap Nanas.
Nanas juga tergabung di salah satu komunitas Batak Karo bernama Jambur Purpur Sage (JPS) Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
“Di komunitas aku ikut Malam Keakraban (Makrab) dengan mengundang orangtua serta mahasiswa Batak Karo. Kegiatannya menari dan bercerita sesama orang satu suku. Kami juga sering mengcover lagu bisa cek di Instagram,” ucap Nanas.

Bangga Budaya Karo
Baginya mengunggah konten di media sosial atau bergabung di komunitas adalah hal baik, tapi rasa bangga akan kebudayaan menjadi hal terpenting.
“Aku bangga menjadi orang Karo sehingga aku harus mempertahankan kebudayaanku. Tidak ada tujuan untuk pamer atau mengagungkan budaya Karo. Tapi aku melakukan itu karena rasa bangga,” ujar Nanas.
Sebagai mahasiswa perantau, menahan rasa rindu pada kampung halaman adalah tantangan terbesar. Ketika rindu akan kampung halaman datang, ia hanya bisa mengingat dan berusaha menyamakan suasana walau tidak hadir secara langsung.
“Kalau aku rindu biasanya dengerin lagu sih. Lagu yang paling sering aku dengerin judulnya ‘Tanah Karo Simalem’ artinya, Tanah Karo yang asri. Ini jadi itu obat penghilang rasa kangen bahkan sampai merinding,” cerita Nanas antusias.
Memutar lagu favorit menjadi obat penawar rasa rindunya pada kampung halaman.
Nanas mengaku sering bingung terutama masalah jalan. “Di Yogya itu pakai istilah utara, selatan, barat dan timur. Jadinya aku bingung sampai sekarang, dan belum mengerti arah mata angin jadi aku hanya bengong aja kalau diberitahu,” pungkas Nanas. (*)
Kontributor: Heinrich Terra, mahasiswa UAJY.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.